By: Pdt. Andreas Loanka, M.Div
Pada umumnya orang tidak suka menderita. Namun, penderitaan itu selalu hadir tanpa disangka. Saat penderitaan itu menerpa, dalam hati timbul berbagai pertanyaan, ”Mengapa begini? Mengapa begitu?”.
Seseorang pernah bertanya,”Kalau benar Allah memelihara, mengapa kita menderita?” ”Di manakah Allah saat umat-Nya diterpa malapetaka?” ”Kalau Allah yang mahakasih adalah mahakuasa, mengapa bencana melanda dunia?”
Bertanya tidaklah salah, karena begitulah natur manusia. Makain banyak bertanya, makin banyak tahu. Semakin suka bertanya, semakin cepat bertumbuh. Hal mendasar yang perlu ditanyakan, ”Mengapa kita bertanya?” Apa motivasi dan asumsi di baliknya? Ada yang bertanya karena ragu, yang lain bertanya karena percaya. Kaum atheis dan skeptis bertanya untuk menyerang dan memojokkan. Tujuannya untuk menggugurkan iman orang-orang percaya. Kaum beriman bertanya untuk menjawab pergumulan dan meneguhkan kepercayaan.
Ada orang yang menggunakan penderitaan untuk membenturkan kasih dan kuasa Allah. Kalau Allah mahakasih tentu Dia tidak menghendaki manusia menderita. Kalau Allah itu mahakuasa tentu Dia mampu melakukan segala perkara untuk menghindarkan umat-Nya dari derita. Dengan adanya realita penderitaan, maka mereka berkata, ”Mungkin Allah tidak mahakasih, mungkin Dia tidak mahakuasa, mungkin pula tidak kedua-duanya.”
Pandangan tersebut tidaklah tepat, sebab hal itu merupakan kedaulatan Allah, mengabaikan peran dan pencobaan iblis, meniadakan keberdosaan dan keterbatasan manusia, serta menafikan kerusakan alam karena kejatuhan manusia dalam dosa dan kecerobohannya.
SUATU HAJARAN
Ada saatnya Allah mengizinkan umat-Nya menderita untuk membentuk atau mendisiplin mereka. Alkitab menyatakan, ”Janganlah melupakan nasihat Allah ini, yang diberikan kepadamu sebagai anak-anak-Nya: ’Anak-Ku, perhatikanlah baik-baik ajaran Tuhan, dan janganlah berkecil hati kalau Ia memarahimu. Sebab Tuhan menghajar setiap orang yang dikasihi-Nya, dan Ia mencambuk setiap orang yang diakui-Nya sebagai anak-Nya.’ Hendaklah kalian menerima cambukan dari Allah sebagai suatu hajaran dari seorang bapak. Sebab apakah pernah seorang anak tidak dihukum oleh bapaknya? Kalau kalian tidak turut dihukum seperti semua anaknya yang lain ini berarti kalian bukan anak sah, melainkan anak yang tidak sah.” (Ibr. 12:5-8, BIS).
Ada kalanya penderitaan datang dari si iblis untuk mencobai dan menjatuhkan manusia. Kisah Ayub adalah contoh yang gamblang tentang peranan iblis dalam penderitaan. Ayub adalah orang yang saleh, jujur, takut akan Allah, dan menjauhi kejahatan (Ayb. 1:1). Kesalehannya dipuji Allah (Ayb. 1:8), tetapi hal itu justru menyebabkan ketidaksenangan si jahat (Ayb. 1:9). Iblis hendak mencobai Ayub untuk menjatuhkan imannya (Ayb. 1:10-11; 2:4-5). Allah mengizinkannya sebagai ujian untuk menyatakan bahwa Ayub memang tahan uji (Ayb. 1:12; 2:6). Ayub menghadapi penderitaan yang berat. Seluruh hartanya habis dalam sehari. Pada hari yang sama semua anaknya mati. Selain itu, iblis juga menimpakan kepadanya sakit barah yang sangat berat (Ayb. 1:7). Meskipun penderitaannya dahsyat, Ayub masih bisa memuji Allah (Ayb. 1:21) serta mau menerima kenyataan dan tidak berbuat dosa dengan bibirnya (Ayb. 1:10). Allah berkenan kepada Ayub. Pada akhir cerita, Dia memulihkan keadaan Ayub dan memberkatinya berlipat ganda (Ayb. 42:7-17).
KESALAHAN SENDIRI
Penderitaan bisa pula disebabkan oleh karena keadaan, perbuatan orang lain, ataupun kesalahan sendiri. Oleh sebab itu kita perlu senantiasa mengintrospeksi diri. Kalau hal itu diakibatkan kesalahan sendiri, baiklah kita mengaku dosa dan dan memperbaharui diri di hadapan Allah. Kalau itu bukan karena kesalahan kita, baiklah kita menghadapinya dengan iman yang teguh kepada-Nya. Dikala sengsara melanda, hendaklah kita tetap sabar dan berpengharapan di dalam Tuhan.
Ada banyak penyebab derita, tetapi tidak ada hal yang terjadi di luar pengetahuan Allah. Adakalanya Dia mengizinkan umat-Nya menderita untuk membentuk mereka agar berbuah (Yoh. 15:1-2). Ada saatnya Dia menguji mereka agar bertumbuh makin kuat (Yak. 1:12). Namun, waspadalah kadang-kadang Dia pun menghajar anak-anak-Nya yang dikasihi (Ibr. 12:7-8).
Hendaklah kita tetap sabar dan berpengharapan dalam menjalani kehidupan, walaupun hidup adakalanya dilanda derita. Kita tahu bahwa Allah turut bekerja di dalam segala perkara, sehingga menghasilkan yang baik untuk orang-orang yang mengasihi Dia dan yang dipanggil-Nya sesuai dengan rencana-Nya (Rm. 8:28).
Seseorang pernah bertanya,”Kalau benar Allah memelihara, mengapa kita menderita?” ”Di manakah Allah saat umat-Nya diterpa malapetaka?” ”Kalau Allah yang mahakasih adalah mahakuasa, mengapa bencana melanda dunia?”
Bertanya tidaklah salah, karena begitulah natur manusia. Makain banyak bertanya, makin banyak tahu. Semakin suka bertanya, semakin cepat bertumbuh. Hal mendasar yang perlu ditanyakan, ”Mengapa kita bertanya?” Apa motivasi dan asumsi di baliknya? Ada yang bertanya karena ragu, yang lain bertanya karena percaya. Kaum atheis dan skeptis bertanya untuk menyerang dan memojokkan. Tujuannya untuk menggugurkan iman orang-orang percaya. Kaum beriman bertanya untuk menjawab pergumulan dan meneguhkan kepercayaan.
Ada orang yang menggunakan penderitaan untuk membenturkan kasih dan kuasa Allah. Kalau Allah mahakasih tentu Dia tidak menghendaki manusia menderita. Kalau Allah itu mahakuasa tentu Dia mampu melakukan segala perkara untuk menghindarkan umat-Nya dari derita. Dengan adanya realita penderitaan, maka mereka berkata, ”Mungkin Allah tidak mahakasih, mungkin Dia tidak mahakuasa, mungkin pula tidak kedua-duanya.”
Pandangan tersebut tidaklah tepat, sebab hal itu merupakan kedaulatan Allah, mengabaikan peran dan pencobaan iblis, meniadakan keberdosaan dan keterbatasan manusia, serta menafikan kerusakan alam karena kejatuhan manusia dalam dosa dan kecerobohannya.
SUATU HAJARAN
Ada saatnya Allah mengizinkan umat-Nya menderita untuk membentuk atau mendisiplin mereka. Alkitab menyatakan, ”Janganlah melupakan nasihat Allah ini, yang diberikan kepadamu sebagai anak-anak-Nya: ’Anak-Ku, perhatikanlah baik-baik ajaran Tuhan, dan janganlah berkecil hati kalau Ia memarahimu. Sebab Tuhan menghajar setiap orang yang dikasihi-Nya, dan Ia mencambuk setiap orang yang diakui-Nya sebagai anak-Nya.’ Hendaklah kalian menerima cambukan dari Allah sebagai suatu hajaran dari seorang bapak. Sebab apakah pernah seorang anak tidak dihukum oleh bapaknya? Kalau kalian tidak turut dihukum seperti semua anaknya yang lain ini berarti kalian bukan anak sah, melainkan anak yang tidak sah.” (Ibr. 12:5-8, BIS).
Ada kalanya penderitaan datang dari si iblis untuk mencobai dan menjatuhkan manusia. Kisah Ayub adalah contoh yang gamblang tentang peranan iblis dalam penderitaan. Ayub adalah orang yang saleh, jujur, takut akan Allah, dan menjauhi kejahatan (Ayb. 1:1). Kesalehannya dipuji Allah (Ayb. 1:8), tetapi hal itu justru menyebabkan ketidaksenangan si jahat (Ayb. 1:9). Iblis hendak mencobai Ayub untuk menjatuhkan imannya (Ayb. 1:10-11; 2:4-5). Allah mengizinkannya sebagai ujian untuk menyatakan bahwa Ayub memang tahan uji (Ayb. 1:12; 2:6). Ayub menghadapi penderitaan yang berat. Seluruh hartanya habis dalam sehari. Pada hari yang sama semua anaknya mati. Selain itu, iblis juga menimpakan kepadanya sakit barah yang sangat berat (Ayb. 1:7). Meskipun penderitaannya dahsyat, Ayub masih bisa memuji Allah (Ayb. 1:21) serta mau menerima kenyataan dan tidak berbuat dosa dengan bibirnya (Ayb. 1:10). Allah berkenan kepada Ayub. Pada akhir cerita, Dia memulihkan keadaan Ayub dan memberkatinya berlipat ganda (Ayb. 42:7-17).
KESALAHAN SENDIRI
Penderitaan bisa pula disebabkan oleh karena keadaan, perbuatan orang lain, ataupun kesalahan sendiri. Oleh sebab itu kita perlu senantiasa mengintrospeksi diri. Kalau hal itu diakibatkan kesalahan sendiri, baiklah kita mengaku dosa dan dan memperbaharui diri di hadapan Allah. Kalau itu bukan karena kesalahan kita, baiklah kita menghadapinya dengan iman yang teguh kepada-Nya. Dikala sengsara melanda, hendaklah kita tetap sabar dan berpengharapan di dalam Tuhan.
Ada banyak penyebab derita, tetapi tidak ada hal yang terjadi di luar pengetahuan Allah. Adakalanya Dia mengizinkan umat-Nya menderita untuk membentuk mereka agar berbuah (Yoh. 15:1-2). Ada saatnya Dia menguji mereka agar bertumbuh makin kuat (Yak. 1:12). Namun, waspadalah kadang-kadang Dia pun menghajar anak-anak-Nya yang dikasihi (Ibr. 12:7-8).
Hendaklah kita tetap sabar dan berpengharapan dalam menjalani kehidupan, walaupun hidup adakalanya dilanda derita. Kita tahu bahwa Allah turut bekerja di dalam segala perkara, sehingga menghasilkan yang baik untuk orang-orang yang mengasihi Dia dan yang dipanggil-Nya sesuai dengan rencana-Nya (Rm. 8:28).
Sumber: Majalah Bahana, September 2011