Minggu, 01 Juni 2014

Jeremy Lin: "Iman dalam Tuhan yang memulai semuanya."

Bukan hanya pecinta basket NBA tapi seluruh dunia olah raga telah mendengar tentang sensasi Jeremy Lin yang telah mendatangkan kejutan tak henti-hentinya sejak bermain dengan New York Knicks NBA. Lin bermain sangat hebat sebagai pemain baru.
Lin menjadi topik perbincangan bukan hanya karena permainannya yang tangguh dan sensasional tapi kerana merupakan pemain NBA pertama yang lulus dari Harvard dalam 57 tahun yang terakhir dan juga perjuangan beratnya untuk menanggalkan stereo-tipe sebagai seorang Asia-Amerika yang bermain di jenjang NBA. Associated Press menyebut Lin "kisah yang paling mengejutkan dalam NBA" dan popularitasnya telah mengundang banyak pihak untuk mewawancaranya termasuk David Letterman yang ditolaknya. Di tengah kesibukannya sekarang, Lin sempat menerima wawancara yang membatasi pertanyaan pada subyek spiritualitasnya.
Kata Lin dalam wawancara dengan MercuryNews.com, "Ini adalah platform yang telah diberikan, saya tidak mau memberikan gambaran yang palsu. Saya mau orang melihat siapa saya dan apa yang telah Allah perbuat di dalam hidup saya."
Sebelum direkrut untuk bermain dengan Knicks, Lin dianggap sebelah mata dan memulai karir NBAnya dengan buruk. Penolakan demi penolakan dialaminya.
Katanya, "Itu suatu perjuangan yang berat. Daging saya dengan kuat mendorong saya untuk mengeluh. Merengek. Mengeluh. Tapi sisi lain saya berpikir, 'Tuhan saya maha kuasa...' Itulah bagian yang menyedihkan. Saat saya melihat kembali, banyak kali saya meragukan Tuhan. Mengapa saya meragukan Tuhan? Namun, saya pikir itu adalah suatu proses pertumbuhan."
"Ada kalanya Anda berhadapan dengan gunung dan Anda memandang gunung itu sebagai lebih besar dari Allah sendiri," kata Lin yang berpegang pada iman Kristianinya sebagai pedoman hidupnya sejak kecil.
Bagi Lin, apa yang dijalaninya sekarang adalah suatu kisah iman, suatu perjuangan indah di mana dia yakin dia akan menang. Namun yang lebih penting, dia tetap akan baik-baik saja sekalipun dia tidak menang.
"Saya tidak bermain untuk membuktikan apa-apa kepada orang lain," kata Lin. "Hal itu mempengaruhi permainan dan sukacita saya dulu. Saya merasakan saya perlu membuktikan sesuatu. Tapi saya telah menyerahkan semuanya pada Tuhan. Saya tidak lagi berjuang dengan pendapat orang lain lagi."
Namun butuh perjuangan untuk tiba pada titik itu, doa-doa panjang dan studi Alkitab yang tak terhitung jumlahnya.Lin juga konseling ke pendetanya, Stephen Chen.
"Memang sangat sulit. Saya tidak menjanjikan apa-apa padanya," kata Chen. "Mempercayai apa yang Allah sedang lakukan adalah suatu pelajaran yang Jeremy terus belajar dan untuk tidak membiarkan hasil akhirnya menentukan sikap hatinya."
Lin memulai setiap pagi dengan devosi sebelum ke gym untuk berolahraga. Saat dia mulai khawatir and cemas, ia akan membisikkan satu ayat.
"Dan kami tahu apa bahwa dalam segala hal, Allah mengerjakan yang terbaik bagi mereka yang mengasihinya, yang telah dipanggil untuk tujuannya, " Roma 8.28
Teman-teman yang mengenalnya berkata bahwa dalam berhadapan dengan gaya hidup NBA, imannya merupakan kompas baginya.
"Di SMA, beberapa dari kami akan berpesta pada malam Sabtu setelah bermain. Jeremy malah akan mengajarkan Alkitab kepada anak-anak dan meluangkan waktu bersama keluarganya," kata teman teamnya, Brad Lehman. "Godaan-godaan itu bukan suatu persoalan bagi dia."
Berhadapan dengan suksesnya yang fenomenal sekarang, Lin mengakui pergumulan yang dihadapinya. Namun jauh di dalam hatinya, dia tahu apa yang sedang terjadi itu lebih besar dari dirinya.
"Terdapat begitu banyak godaan untuk berpegang pada karir sekarang," kata Lin. "Berusaha untuk mengatur dan menentukan setiap aspek.Tapi itu bukan cara saya sekarang. Saya sedang merenungkan bagaimana untuk lebih lagi mempercayai Tuhan. Bagaimana saya bisa lebih lagi menyerah padaNya? Bagaimana saya bisa lebih memuliakanNya.
"Memang ini suatu perjuangan. Tapi saya akan terus memperjuangkannya."
Dalam beberapa wawancara yang ditemui di YouTube, saat ditanya apa yang akan dilakukannya setelah karirnya dengan NBA, Lin berkata bahwa dia ingin menjadi seorang pendeta dan melakukan pekerjaan amal. Sekalipun dia bermain basket sekarang tapi dia bermain untuk memuliakan Tuhan, yang tetap merupakan prioritas nomor satunya.
Berikut adalah kutipan wawancaranya dengan Rick Quan tentang iman dan spiritualitasnya:
Tentang tantangan yang dihadapi sebelum tiba ke NBA
Lin: Sekali lagi, ada hikmat dan berkat di balik semua tantangan yang saya hadapi sebelumnya. Saya dapat melihat sidik jari dan tangan Allah di balik semua yang terjadi. Allah mengatur semuanya dan saya sangat bersyukur dan diberkati.
Tentang tekanan sebagai kaum minoritas di NBA.
Lin: Saya berada di bawah banyak tekanan sebelum saya menyadari bahwa saya bermain untuk Tuhan. Yang jelas, saya mau mewakili orang Asia-Amerika, Harvard atau semuanya itu, tapi pada akhirnya, panggilan dan tujuan saya adalah untuk memuliakan Tuhan dalam apa yang saya lakukan. Dan sekarang, panggilan saya adalah untuk bermain basket. Saya merasa sangat dimerdekakan, karena saya sekarang tidak bermain untuk audiens tapi untuk Tuhan. Saya tidak terbeban saat saya ingat untuk apa dan siapa saya bermain. Tuhan adalah prioritas pertama saya. Saya sadar akan itu dan itu adalah gol saya yang utama. Dia telah memberkati saya dengan kesempatan ini.
Tentang stereo-tipe bahwa atlet Kristen itu tidak tangguh.
Lin: Saya tidak pasti itu benar. Tapi saya pikir tidak. Sebagai atlet, kami kompetitif, dan memang Kekristenan mengajarkan kami untuk mengasihi, tapi saat kami main, kami main untuk menang. Kami punya tekad seperti orang lain, sekalipun motivasinya berbeda, itu tidak berarti kami tidak tangguh.
Apakah Anda berdoa sebelum setiap laga?
Lin: Ya, tentu saja. Sebelum, selama dan sesudah. Ini sudah suatu kebiasaan. Karena Tuhan membantu saya dalam segala sesuatu sepanjang hari. Terdapat begitu banyak contoh yang berbeda bagaimana saya membutuhkan kasih karunia Tuhan. Jadi saya menemukan diri saya banyak berdoa. Untuk memastikan pikiran dan hati saya benar. Saya percaya dan bergantung padaNya. Dan untuk melakukan itu, saya harus banyak berdoa. Kalau tidak, saya tidak dapat melakukannya.