Rabu, 18 September 2013

MUI Tegal Haramkan Sekolah Kristiani

 

MUI Tegal.jpg
GENDERANG perlawanan terhadap kekukuhan sekolah kristiani mempertahankan kekhasan sekolahnya mulai digelorakan. Tak main-main. Adalah Majelis Ulama Indonesia, kota Tegal yang menabuhnya. Pada akhir April silam, MUI kota Tegal mengeluarkan fatwa yang mengharampak orangtua atau keluarga muslim mendaftarkan anaknya di sekolah-sekolah yang dikelola yayasan non-Muslim. “Dalam Musda MUI Kota Tegal yang berlangsung akhir April 2013 tersebut, kita memang mengeluarkan fatwa seperti itu,” jelas Ketua MUI Kota Tegal Harun Abdul Manaf, Selasa (11/6).
Harun menyebutkan, keluarnya fatwa tersebut bukanlah tanpa alasan. Tapi dilandasi oleh keprihatinan atas perkembangan dunia pendidikan di Kota Tegal dan upaya menyelamatkan anak-anak dari keluarga muslim. Disebutkannya bahwa fatwa tersebut keluar distimulasi oleh beberapa kejadian yang menimpa dunia pendidikan di kota Tegal. “Antara lain penolakan dari sekolah non-Muslim untuk menerima guru muslim mengajar di sekolah itu,” katanya.

Tak sesuai agama siswa
Menurut Harun, peristiwa penolakan guru muslim dilakukan sekolah milik yayasan non-muslim cukup ternama, pada awal 2013. Kasus tersebut, kata dia, sebenarnya sudah dilaporkan MUI ke Kantor Kementerian Agama Kota Tegal, bahkan juga dilaporkan ke Kementerian Agama Pusat.
Menanggapi laporan itu, masih menurut Harun, pihak Kantor Kementerian Agama Kota Tegal sudah memberikan beberapa kali teguran ke sekolah bersangkutan. “Namun teguran-teguran tersebut, tetap diabaikan pihak sekolah,” katanya.
Menurut Harun, bukan hanya guru yang ditolak, tapi juga di sekolah tersebut tidak diajarkan pelajaran agama yang sesuai dengan agama siswa yang muslim. “Seluruh siswa di sekolah non-muslim itu, hanya mendapat pelajaran agama yang menjadi dasar keyakinan sekolah tersebut. Bahkan semua pelajar muslim yang sekolah di sekolah tersebut, diwajibkan untuk mengikuti kegiatan-kegiatan agama yang diselenggarakan sekolah tersebut,” katanya.
Itulah yang mendorong pihaknya untuk memberikan sikap tegasnya. Dalam pertemuan dengan Komisi I DPRD Kota Tegal di mana Harun juga duduk sebagai Wakil Ketua Komisi I, pihak sekolah non-muslim tersebut juga tidak mau memberikan pelajaran agama sesuai dengan keyakinan agama siswanya. Alasannya, ada surat dari Yayasan yang menyatakan seluruh siswa di sekolah non-muslim tersebut hanya akan diberikan pelajaran agama yang menjadi dasar pendirian sekolah. Dengan demikian, semua keluarga Muslim yang menyekolahkan anaknya ke sekolah tersebut, dianggap sudah memahami ketentuan ini.
Harun menyebutkan, MUI Kota Tegal sudah mengingatkan ketentuan tersebut menyalahi ketentuan yang sudah digariskan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengenai penyelenggaraan pendidikan di sekolah-sekolah. Dalam salah satu ketentuannya, penyelenggara sekolah wajib menyediakan atau memberikan pendidikan agama sesuai dengan keyakinan agama masing-masing siswa. Ketentuan ini, juga sudah diterapkan sekolah-sekolah muslim di Kota Tegal, seperti sekolah-sekolah milik yayasan pendidikan Muhammadiyah. Di sekolah itu, siswa yang non-Muslim diberikan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya. “Meski pun sudah diingatkan mengenai ketentuan itu, pihak sekolah non-Muslim ternyata tetap mengabaikan,” tuturnya.
Nah, berdasarkan kondisi tersebutlah, MUI Kota Tegal akhirnya mengeluarkan fatwa yang melarang anak-anak dari keluarga muslim untuk menyekolahkan anaknya di sekolah-sekolah milik yayasan non-muslim. “Dengan demikian, keluarnya fatwa MUI bukan karena kita tidak bisa bersikap toleran. Tapi memang ada latar belakangnya,” kata Harun menjelaskan.

Introspeksi
Dalam perspektif toleransi, Ketua Umum MPK Ir. David J. Tjandra, M.A menegaskan bahwa MPK menghargai hak mereka untuk melarang anak-anaknya untuk bersekolah di sekolah non muslim termasuk sekolah kristen. Namun di sisi lain, kita juga melihat masih adanya kecurigaan dan kekuatiran terhadap sekolah-sekolah non muslim sehingga pada dasarnya kehidupan kita ber-Pancasila masih sangat rentan.
“Padahal misi sekolah kristen tidak untuk menjadikan anak didiknya beragama kristen karena bukan agama yang menolong bangsa ini termasuk agama kristen,” katanya. Ia menambahkan bahwa misi sekolah kristen ikut mencerdaskan bangsa ini
dengan kekhasannya sebagai pendidikan kristen yang berdasarkan nilai-nilai kristiani. “Diharapkan, alumni sekolah-sekolah kristen apapun agamanya, hidupnya dipengaruhi nilai-nilai kristiani dan inilah yang diharapkan mampu menolong bangsa ini dengan menghadirkan shalom Allah melalui kehadiran setiap alumni sekolah-sekolah kristen,” tambahnya.
Ada atau tidak adanya fatwa ini, demikian David, sekolah-sekolah kristen tetap harus introspeksi terhadap dirinya sendiri apakah
mereka masih mempunyai keunikan pendidikan kristen yang membuatnya berbeda dari pendidikan lainnya? “Kalau kita masih punya daya tarik
serta keunikan dibanding pendidikan lainnya, maka orang tua akan melihat sendiri kemana mereka akan menyekolahkan anaknya, dimana mereka dapat mempercayakan anaknya untuk dididik,” tegasnya.
Kehadiran fatwa itu, menurut David, harus menjadi semacam “wake up call” bagi pendidikan kristen di Indonesia khususnya di Tegal: Masihkah pendidikan kristen menjadi prioritas bagi orang tua untuk menyekolahkan anak-anaknya?
Masihkah ada kelebihan dan keunikan pendidikan kristen dibanding pendidikan lainnya?”