Sabtu, 21 September 2013

Intoleransi Agama Di Paruh 2013

 

Intoleransi Agama di Paruh 2013.jpg
Sejak Januari hingga Juni 2013, telah terjadi 122 perisitiwa dan 160 tindakan intoleran. Siapa saja pelakunya?
BELUM lagi ada di penghujung tahun, jumlah kekerasan yang terjadi di Republik ini, seperti dicatat Setara Institute, lembaga yang koncern mempromosikan pluralisme, humanitarian, demokrasi dan hak asasi manusia ini sudah sebegitu banyaknya. “122 perisitiwa dengan 160 tindakan”, demikian hasil laporan Setara Institute terkait KebebasanBeragama dan Berkeyakinan pada semester awal di tahun 2013.
Memang benar, 122 peristiwa menunjukkan angka penurunan, jika dibandingkan dengan periode yang sama (Januari-Juli) di tahun sebelumnya dengan jumlah peristiwa yang terjadi ada 129. Namun angka itu masih jauh panggang dari api, dari harapan dan kelayakan disebut kemajuan signifikan. Jangankan dengan jumlahnya yang demikian besar, adanya kekerasan sendiri sudah menunjukkan raport merah bangsa ini dalam hal toleransi beragama.
Bekasi paling tinggi
Lagi-lagi provinsi Jawa Barat, seperti dirilis organisasi yang dipimpin oleh Hendardi, berhasil menjadi petahan dalam hal intoleransi dan pengekangan kebebasan umat beragama. Dalam laporan bertajuk “Report on Freedom of Religion and Belief in Mid-2013”, Setara Institute menyebutkan 61 kasus di semester awal tahun 2013 ini dilakukan oleh orang-orang yang ada di provinsi tetangga Ibu Kota Jakarta.
Kota Bekasi memberi sumbangsih besar penyumbang angka intoleransi, dengan masing-masing peristiwa: di Kabupaten Bekasi ada 4 dan 16 di Kota Bekasi. Seperti diketahui ada beberapa nama Gereja yang ada di Bekasi menjadi target penutupan, pembongkaran dan penyegelan. Penyegelan dan pembongkaran Gereja Huria Kristen Batak Protestan di Taman Sari, Setu, Bekasi, oleh Pemerintah Kabupaten Bekasi salah satunya.
Penyumbang angka besar selanjutnya adalah Kabupaten dan kota Tasikmalaya dengan 12 peristiwa. Di bawah itu menyebar di beberapa daerah, seperti Jawa Timur dengan 18 peristiwa, diikuti DKI Jakarta dengan 10 kasus, lalu Sulawesi Selatan (7), Aceh dan Nusa Tenggara Barat dengan masing-masing 4 kasus dan beberapa daerah lain.
FPI dan Aparat Negara
Front Pembela Islam (FPI) disebut menyumbang angka terbesar dalam kumpulan peristiwa kekerasan yang dilakukan oleh Aktor Non negara. Dengan 10 kasus yang terjadi, seperti dirilis dalam daftar yang dipublikasikan melalui laman online setara-institute.org, FPI menduduki peringkat tertinggi. Tidak hanya itu, masih ada ormas, forum dan sekelompok orang yang terhimpun dalam sebuah Gerakan yang turut menjadi aktor. Seperti, Forum Umat Islam (FUI), Forum Umat Islam Tamansari, FUUI, GAPAS, Gerakan Islam Reformasi, Majlis Taklim, FKUB, Kaum Adat, dan masih ada sejumlah ormas lainnya. Ini belum termasuk yang dilakukan oleh individu atau perseorangan dan Partai politik.
Parahnya, sekian banyak kekerasan yang terjadi ternyata tidak hanya dilakukan oleh masyarakat (Non Pemerintah/Negara), tapi aparat Pemerintah pun turut ambil bagian menjadi aktor pelakunya. Alih-alih melindungi umat beragama dalam menjalankan aktivitas iman dan kepercayaannya, dalam laporan itu, tersebut ada 70 tindakan bentuk “kontribusi” aparat dalam laku intoleran. Sisanya, sebanyak 90 tindakan dilakukan oleh masyarakat.
Dalam publikasi tersebut Polisi disebutkan memiliki peran dalam 23 peristiwa yang terjadi. Selanjutnya masih ada 20 Aktor Pemerintah lainnya yang turut andil dalam pelbagai kejadian. Tiga tertinggi diantaranya diduduki oleh Satuan Polisi Pamong Praja dengan 14 kasus; Kementrian Agama, Pemprov dan Pemkab dengan masing-masing 7 kasus; juga Tentara Nasional Indonesia (TNI) dengan 6 kasus.
Bentuk tindakan yang dilakukan oleh para oknum yang seharusnya mengayomi masyarakat namun sayang praksisnya tidak demikian, pun beragam. Mulai dari memata-matai, melakukan penyegelan, diskriminasi, pembatasan akses, pelarangan ibadah, penghentian pembangunan tempat ibadah, penelantaran, penahanan, perampasan, penganiayaan, hingga penyesatan. Hal serupa, seperti dituliskan Organisasi yang menjunjung tinggi nilai-nilai kesetaraan, pluralisme, dan demokrasi dalam lamannya ini, sebenarnya juga dilakukan oleh masyarakat, yang dikategorikan sebagai Aktor Non Negara. Tindakan-tindakan itu mengemuka dalam bentuk intoleransi, diskriminasi, pelemparan molotov,perusakan tempat Ibadah, penyegelan, penyerangan, serangkaian ancaman, pengusiran, penutupan, penyerangan, intimidasi, bahkan perusakan pemukiman dan pesantren.
Kelompok minoritas
Di samping memetakan para pelaku dan aktornya, Setara Institute juga melakukan pemetaan terhadap para korban. Dan sudah dapat diduga tentunya, kembali kelompok minoritas menjadi kelompok korban terbesar. Itupun kalau ingin menggunakan dikotomi minoritas-mayoritas untuk menyebut mereka. Karena an-sich setiap warga negara sama di hadapan hukum. Dan pemerintah pun seharusnya memperlakukan warganya equal satu dengan lainnya.
Jemaat Ahmadiyah adalah korban yang paling dikekang kebebasannya. Dalam mengespresikan iman pun mereka kerap dianiaya, hal ini nampak dalam 46 kasus yang terjadi. Seperti dicatat Setara Institut, kelompok lain yang juga tak kalah seringnya mendapat intimidasi dan perlakuan intoleran adalah kelompok kristen protestan dengan jumlah peristiwa sebanyak 25. Urutan selanjutnya ada Penganut Syiah, Umat Islam, Individu, Jemaat Katolik, dan lainnya.
Dari data yang dihimpun Setara Institute ini rasanya semakin sulit mengamini slogan yang kerap didengung-dengungkan tentang bangsa ini. Indonesia adalah bangsa yang murah senyum, masyarakatnya hidup toleran, anti kekerasan dan lain sebagainya. Memang benar orang tidak boleh lantas “menggebyah uyah”, istilah orang Jawa untuk menggeneralisasi. Namun pastilah sulit dipungkiri jika nila setitik menghancurkan susu sebelanga. Setidak potret buram kekerasan, meskipun ada satu kasuspun sudah mampu merusak citra Indonesia yang santun.