Senin, 04 Maret 2013

Puncak Sukacita


 

Puncak Sukacita
Oleh Dede Godjali, STh
“Biarlah lidahku melekat pada langit-langitku, jika aku tidak mengingat engkau, jika aku tidak jadikan Yerusalem puncak sukacitaku.” (Mzr.137:6)

PENAWANAN ke negeri Babel selama tujuh puluh tahun menjauhkan umat Israel dari Yerusalem, kota yang kudus itu. Pemazmur, mewakili sebagian umat yang ditawan, berbagi kesan dengan segala insan di berbagai tempat dan zaman. Dikatakan: ”Di tepi sungai-sungai Babel, di sanalah kita duduk sambil menangis, apabila kita mengingat Sion.” (Mzr.137:1). Mungkin saja ada umat Israel yang bermukim di tepian sungai Efrat, secara materi dan jasmani hidup berkecukupan (bahkan mungkin berkelimpahan). Di Kalimantan banyak pemukiman didirikan dipinggir sungai; dari sisi transportasi memudahkan dan dari segi bisnis juga menguntungkan.
Sekian puluh tahun tinggal di Babel umat Tuhan masih mengingat Sion, yaitu Yerusalem (II Sam.5:7). Air sungai di Babel tidak dapat mengatasi dahaga akan kota Daud, dimana dulu Salomo membangun Bait Allah. Jasmani dipuaskan namun kehidupan rohani tetap haus, kering kerontang. Dunia saat ini, bak Babel pada zaman dulu, tidak mampu memberikan kepuasan bagi rohani umat-Nya. Hanya Allah saja dan kota kudusnya, yaitu Yerusalem baru (sorga) yang dapat memberikan kelegaan sejati. Seperti gembiranya umat Israel yang pulang kembali ke tanah perjanjian, maka akan ada sukacita yang luar biasa waktu umat ciptaan diizinkan bertemu dan bersatu dengan Sang Pencipta.
Pemazmur menambahkan: ”Pada pohon-pohon gandarusa di tempat itu kita menggantung kecapi kita.” (Mzr.137:2). Kecapi, alat musik yang dulu pernah digunakan oleh Daud sambil menggembalakan ternak ayahnya, tidak lagi dimainkan oleh umat Israel. Penderitaan dan kesedihan melingkupi hati mereka, tak ada hati untuk bernyanyi. Yakobus dalam suratnya menyatakan:”Kalau ada seorang di antara kamu yang menderita, baiklah ia berdoa! Kalau ada seorang yang bergembira, baiklah ia menyanyi!”(Yak.5:13).
Menyanyikan pujian tidak semata-mata memakai mulut dan suara yang merdu; lebih utama mempergunakan hati. Penulis kitab Tawarikh mencatat: ”Jumlah mereka bersama-sama saudara-saudara mereka yang telah dilatih bernyanyi untuk TUHAN – mereka sekalian adalah ahli seni – ada dua ratus delapan puluh delapan orang.” (I Taw.25:7). Paduan suara dibentuk dan dijalankan dengan disiplin yang memadai; latihan dijalankan dengan kesungguhan (dan hal itu tidak mengurangi kegembiraan saat latihan).
Mereka, dua ratus delapan puluh delapan orang, latihan menyanyi untuk Tuhan; mereka memiliki motivasi yang benar. Dengan demikian tidak sukar untuk mengatur orang yang relatif banyak itu. Umat Tuhan di berbagai tempat menyanyi bagi Allah dengan hati; tanpa hati lebih baik cuti dari memuji. Itulah yang dilakukan oleh umat : menggantung kecapi, karena dukahati.
Pemazmur sebelumnya menyatakan: ”Jika aku melupakan engkau, hai Yerusalem, biarlah menjadi kering tangan kananku!” (Mzr.137:5). Pada saat sebagian umat senantiasa mengenang Yerusalem, ada juga umat Israel yang melupakannya, tidak lagi mengingatnya. Paulus dalam sebuah suratnya menyatakan: ”yaitu orang-orang yang tidak percaya, yang pikirannya telah dibutakan oleh ilah zaman ini, sehingga mereka tidak melihat cahaya Injil tentang kemuliaan Kristus, yang adalah gambaran Allah.”(II Kor.4:4).
Ketika korupsi dilakukan bersama-sama (”berjamaah”), tidak ada lagi rasa malu di antara mereka. Tidak ada lagi spirit untuk saling menasihati, untuk meninggalkan perbuatan yang salah di hadapan Tuhan. Mungkin yang muncul adalah saling mendorong, saling mendukung untuk melakukan kejahatan. Ilah zaman ini (seperti: kekayaan, jabatan, nama) telah membuat umat melupakan dan mengabaikan Yerusalem baru. Mata rohani mereka telah menjadi buta untuk melihat dunia yang akan datang; yang berfungsi hanya mata jasmani. Kehidupan materi sangat menggoda, hal lahiriah menjadi segala-galanya bagi mereka.
Seorang teman menyatakan ”jalan tengah”: Yang materi mau, yang rohani juga kepingin. Dikatakannya, di negeri jiran ada menara kembar Petronas. Jadi manusia beriman juga bisa memiliki ”puncak kembar” dalam kehidupannya. Namun bila kita kembali kepada pernyataan pemazmur:aku akan jadikan Yerusalem sebagai puncak sukacitaku! Bagi pemazmur tidak ada jalan tengah; baginya hanya ada satu puncak tertinggi, tidak ada dua puncak yang sama tinggi. Umat Allah di segala zaman menghadapi realita yang sama: apakah ada dua puncak, atau hanya ada satu puncak tertinggi. Kita boleh memilih.**