Koran Tempo edisi 14 Agustus 2006 menurunkan sebuah tulisan menarik. Mengutip sejumlah sumber -termasuk majalah TIME sebagai rujukan utama, koran itu mengabarkan pesan penting dan menyejukkan. Yakni, kisah seorang muslim bernama Wajeeh Nuseibeh yang menjaga Gereja Makam Kudus di Yerusalem. (Mungkin yang dimaksud ‘makam’ di sini adalah penyederhanaan istilah untuk menyebut tempat itu sebagai lokasi penyaliban Yesus dan tempat kebangkitan Isa Almasih -Penulis)

Lelaki berusia 55 tahun, itu menjadi juru kunci secara turun-temurun. Kata koran itu, moyang Nuseibeh adalah orang Arab, prajurit Khalifah Umar bin Khaththab yang ditugasi menjaga gereja itu semasa khalifah yang terkenal arif bijaksana itu menguasai Yerusalem pada 638 masehi. Uniknya, Nuseibeh dan generasi-generasi sebelumnya juga bertindak sebagai ‘wasit’, sebab gereja itu diperebutkan oleh tujuh sekte dalam Kristen.
Namun, kendati bertikai memperebutkan gereja, tujuh sekte itu ‘kompak’ dalam menggaji Wajeeh Nuseibeh rata-rata sekitar Rp 45 ribu per bulan sehingga pendapatan resminya menjadi sebesar Rp 315 ribu dalam sebulan. Meski berpendapatan resmi cukup kecil, namun Nuseibeh bisa memperoleh pendapatan lebih besar, karena ia berhak memperoleh tambahan dari tip atau honornya sebagai pemandu bagi wisatawan/pengunjung gereja itu. Ladang zaitun yang luas milik keluarganya -yang menjadi sandaran hidup mereka, sudah musnah akibat perang, ketika Israel menjajah Yordania pada 1967.

Nuseibeh mengaku memperoleh kepercayaan dari orang-orang Kristen dari sekter yeng berbeda itu, yang sudah berabad-abad dihinggapi kecurigaan dan kebencian antarsesama. “Kaum Kristen menilai aku netral,” katanya. Ia pun tegas menjawab ketika ada orang yang mempertanyakan ‘kadar’ ke-Islam-annya gara-gara menjadi juru kunci makam suci umat Kristiani itu. “Kami tidak fanatik. Kami menghormati kaum Kristen,” ujar Nuseibeh.
Sikap Nuseibeh adalah teladan yang sangat baik. Tak hanya untuk umat Islam atau Kristen, tapi seluruh umat manusia di muka bumi, bahkan mereka yang tidak beragama sekalipun. Dunia mesti dirawat, pesan damai harus selalu disemaikan seperti halnya kita bernafas.
Ketika saya tunjukkan tulisan di Koran Tempo, itu kepada seorang kiai di Surakarta, sang kiai yang juga aktivis kerukunan umat beriman itu justru menyodorkan contoh kerjasama Islam-Kristen lainnya. “Markas Bunda Theresa di Calcutta itu juga wakaf keluarga muslim, lho,” ujarnya.
Saya tersipu. Ternyata yang saya ketahui barulah salah satu contoh saja yang semula kuanggap berita besar. Tapi, saya tetap berusaha menenangkan diri, sambil menghibur hati sekadar untuk memanipulasi fakta cubluk ing pangertosan. “Coba kalau berita-berita semacam itu dipublikasikan secara massif, tentu aku tak bakal jadi korban ketidaktahuan,” gumamku, anglelipur ati.
Saya jadi teringat masa-masa pascakerusuhan Mei 1998 di Surakarta, ketika mengajak seorang kiai mengunjungi GKI Sangkrah, ngobrol ngalor-ngidul dengan beberapa remaja di gereja itu. Eh, ternyata responnya luar biasa. Beberapa hari berselang, sang kiai diminta tampil di mimbar gereja di hadapan jemaat seusai kebaktian. Sungguh peristiwa menyejukkan dan membahagiakan, sebab kebanyakan jemaat gereja itu adalah keturunan Tionghoa yang baru saja dianiaya, entah oleh kekuasaan apa. Rumah-rumah mereka dibakar, toko-toko mereka juga dijarah lalu dimusnahkan.