Jumat, 05 Agustus 2011

Seperti Kami Juga Mengampuni


Seperti Kami Juga Mengampuni
Pada doa Bapa Kami, Yesus mengajarkan, ”Ampunilah kami akan kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami.” Dalam terjemahan bahasa Inggris, terdapat dua varian besar. Pada varian pertama, bagian tersebut diterjemahkan dengan, ”Seperti kami mengampuni orang yang bersalah kepada kami” (= as we forgive our debtors”). Sedang varian kedua berbunyi, ”Seperti kami juga sudah mengampuni orang yang bersalah kepada kami” (= ”as we also have forgiven our debtors").

Tak ada perbedaan mendasar antara keduanya. Mereka sama-sama hendak menekankan bahwa ada hubungan yang tak terpisahkan antara ”diampuni” dan ”mengampuni”. Karena itu, anjuran saya adalah inti pengertian inilah yang harus lebih kita perhatikan. Jangan mengasyikkan diri dalam perdebatan mendetil mengenai hal-hal yang relatif remeh, dan yang tidak punya kaitan langsung dengan kehidupan kita.


Etika Kristen memang selalu menekankan hubungan antar manusia yang seimbang, yang adil (= fair) dan yang timbal balik. Anda ingin dihormati orang lain? Hormatilah orang lain! Anda minta dilayani? Jadilah pelayan! Begitu pula bila Anda mengharapkan pengampunan. Tiket yang mesti Anda bayar adalah, tiket kesediaan untuk mengampuni.

Hukum timbal-balik ini berlaku bagi semua orang dari semua tingkatan. Bagi yang berkedudukan ”tinggi” maupun yang ”rendah”. Yang lebih ”tinggi” hanya dapat menuntut ketaatan dan kesetiaan yang di ”bawah”, apabila ia juga menunjukkan rasa hormat serta perhatian kepada yang ”rendah”. Keadilan Kristen tidak menghapuskan perbedaan, tetapi sangat menentang penindasan dan kesewenang-wenangan. Menuntut pengampunan tapi emoh mengampuni, adalah kesemena-menaan.

Persoalan yang lain adalah bagaimana seyogyanya menafsirkan kata ”seperti”, dalam ”seperti kami juga mengampuni…”. Apakah kata tersebut lebih baik dimengerti dalam arti ”proporsi”? Yaitu bahwa Tuhan akan mengampuni kita, ”sebanding” atau ”setara” atau ”dalam proporsi yang sama” dengan kesediaan kita mengampuni orang lain?

Jadi kalau kita bersedia mengampuni, tapi dengan menengok-nengok ”siapa”-nya (”Oke, saya bersedia memaafkan, asal jangan si Badar! Sudah terlalu sering ia menyakiti hati”), atau dengan menimbang-nimbang ”apa” nya (”Kesalahannya sudah keterlaluan, bagaimana mungkin saya maafkan?!); maka Tuhan pun akan bersikap begitu terhadap kita.

Ataukah, kata itu seyogyanya kita artikan sebagai ”sama dengan” atau ”sejajar dengan” atau ”analog dengan”? Sehingga doa kita menjadi, ”Ampunilah kami, dengan cara yang sama seperti cara kami mengampuni orang lain”?

Artinya, kalau kita—seperti yang sering kita lakukan—mengampuni dengan setengah hati, atau dengan tidak tuntas, karena tetap menyimpan kesalahan-kesalahan orang lain itu dalam hati maupun ingatan kita, maka pengampunan dengan kualitas seperti itu pula yang maksimal dapat kita harapkan dari Tuhan. Yaitu ”pengampunan formal” (= mulut memaafkan, tapi hati tetap panas menanti saat pembalasan). Atau ”pengampunan sementara” (= sekarang memaafkan, tapi siap untuk mengungkit-ungkitnya kembali kemudian). Kesalahan-kesalahan orang cuma disimpan di ”gudang”, tidak dibuang jauh-jauh ke ”pelimbahan”.

Mengenai adanya dua versi penafsiran ini pun, saya anjurkan agar kita tidak terjebak pada hal-hal yang ”jelimet”, dengan risiko kehilangan pandangan kepada hal-hal yang lebih pokok, lebih besar, dan lebih mendasar. Dalam hubungan ini, versi Lukas—lebih dari versi Matius—dapat menolong kita melepaskan diri dari ambiguitas.

Menurut penuturan Lukas, doa kita berbunyi, ”Ampunilah kami akan dosa kami, sebab kami pun mengampuni setiap orang yang bersalah kepada kami” (Lukas 11:4). Kita tidak berhak memohon pengampunan kepada Tuhan, sebelum kita mengampuni orang lain. Karenanya, doa ini sekaligus juga harus merupakan laporan dan pertanggungjawaban kepada Tuhan. ”Lapor! Perintah mengampuni sudah dilaksanakan! Sekarang, mohon pengampunan. Laporan selesai!”

Bagian ini kita mengerti lebih mendalam, dengan membacanya dalam terang beberapa ayat Alkitab yang lain. Misalnya, Matius 6:14-15, yang memuat perkataan Yesus, ”Karena jikalau kamu mengampuni kesalahan orang, Bapamu yang di sorga akan mengampuni kamu juga. Tetapi jikalau kamu tidak mengampuni orang, Bapamu juga tidak akan mengampuni kesalahanmu.”

Apa artinya? Artinya ialah, ada saling keterkaitan yang amat erat antara ”pengampunan manusia” dan ”pengampunan Allah”. Ada hubungan ”sebab-akibat” antara ”kesediaan kita mengampuni” dan ”kesediaan-Nya mengampuni”. Orang-orang yang tidak pengampun, adalah orang-orang yang dengan sengaja menutup pintu pengampunan bagi dirinya sendiri. Mengerikan sekali, bukan?

Karena begitu mudahnya minta pengampunan, tetapi begitu sulitnya mengampuni, maka kata Chrysostomus, banyak orang dengan sengaja memotong dan membuang bagian kedua doa ini. Aneh kedengarannya, bukan? Tapi marilah kita meneliti kembali doa-doa kita. Apakah dengan sadar atau tidak sadar, kita tidak melakukan hal yang sama? Hanya mau pengampunan-Nya, tanpa mau mengampuni?

Bila Anda lakukan ini, Anda sungguh melakukan kealahan besar! Sebab Perjanjian Baru begitu sarat dengan penekanan, bahwa ada inter-relasi yang tak terputuskan antara ”pengampunan manusia” dan ”pengampunan Allah”. Bahwa hanya mereka yang murah hati, akan memperoleh kemurahan Allah (Matius 5:7). Atau bahwa ”Penghakiman yang tak berbelas-kasihan akan berlaku atas orang yang tidak berbelas-kasihan” (Yakobus 2:13).

Bila persyaratan untuk masuk ke SMU adalah memiliki ijazah SLTP, maka persyaratan yang tak dapat ditawar-tawar untuk menerima pengampunan, adalah memiliki roh pengampunan. Beberapa ribu tahun yang lalu, Gregorius dari Nyssa telah mengatakan, bahwa ini tidak mungkin lain. Mengapa? Sebab dua hal yang secara hakiki bertolak-belakang, tak mungkin berdampingan dengan serasi.

”Mustahillah seorang fasik berakrab-akrab dengan seorang saleh, atau pikiran yang kotor bercampur dengan pikiran yang bersih. Karena itu mustahil pula dendam bersanding dengan pengampunan, dan seorang yang pikirannya dibakar benci menghampiri takhta Allah yang maha suci”. Dengan perkataan lain, ada tembok pembatas yang mutlak antara Allah dan orang yang tidak pengampun. Tidak mau mengampuni berarti menolak pengampunan-Nya.

Martin Luther menghubungkan sikap tidak pengampun dengan kata-kata pemazmur mengenai orang fasik, ”Biarlah doanya menjadi dosa” (Mazmur 109:7). Mengapa? Sebab berdoa dengan mulut memuji-muji Tuhan, tapi dengan hati yang sesak oleh amarah yang tertahan, dan rasa dendam yang tak terlampiaskan, adalah dosa.

William Barclay bercerita tentang pengalaman Robert Louis Stevenson, yang mempunyai kebiasaan melakukan ibadah keluarga setiap hari, di mana doa Bapa Kami diucapkan bersama-sama. Pada suatu ketika, di tengah-tengah doa, Robert berdiri dan bergegas meninggalkan ruangan. Istrinya, menyangka suaminya sakit mendadak, segera bangkit menyusulnya. ”Ada apa? Sakitkah engkau?”, tanya sang istri. ”Tidak”, jawab Robert, ”Aku cuma merasa tidak pantas berdoa dengan doa Bapa Kami, khususnya hari ini. Aku belum bisa memaafkan Sam.”

Bila kita seserius dia, wah, saya khawatir apakah ada di antara kita yang ”pantas” dan ”memenuhi syarat” untuk menaikkan doa Bapa Kami? Tapi pantas atau tidak pantas, kita tak punya pilihan lain.
Konon, pada suatu ketika Jenderal Oglethorpe dengan ketegasan militernya berkata kepada John Wesley, ”Aku tidak pernah mengampuni! Tidak akan!”. John Wesley menjawab, ”Bila demikian, Jenderal, saya cuma berharap Anda juga tidak pernah berdosa!” Tepat dan telak betul jawaban ini, bukan?

Berbicara dengan bahasa dagang, mengampuni dapat dianalogikan dengan memberi "persekot” atau "uang muka". Anda membayar sekarang, untuk memperoleh hasilnya kemudian. Anda harus mengampuninya sekarang, sebab siapa tahu Anda membutuhkan pengampunannya kemudian. Sedang tidak mau mengampuni? Ia dapat dianalogikan dengan membuang sampah ke dalam got. Kemudian gigit jari karena harus memungut banjir, ketika musim penghujan datang.

Apa yang dikatakan oleh Gregorius dari Nyssa berikut ini, mungkin terdengar agak keterlaluan. Namun ia toh berhasil memperlihatkan keistimewaan doa yang tengah kita bahas ini. Doa yang sepintas lalu kelihatan ”tidak ada apa-apanya” ini, kata Gregorius, adalah satu-satunya doa, di mana melaluinya, ”kita mengundang Allah untuk meniru/mencontoh kita!”

”Ampunilah kami, seperti kami mengampuni.” Allah meniru kita? Astaga, benarkah yang dikatakan Gregorius itu? Tentu tidak seluruhnya benar. Sebab dalam hal pengampunani—bahkan dalam segala hali—kitalah yang mesti mencontoh dan meniru Allah. ”Hendaklah kamu saling mengampuni, sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kamu” (Efesus 4:32). Tapi yang paling penting dan paling benar dari semuanya adalah, bahwa Allah hanya berkenan mengampuni orang-orang yang pengampun!
Monday, 12 April 2010 10:03
Pada doa Bapa Kami, Yesus mengajarkan, ”Ampunilah kami akan kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami.” Dalam terjemahan bahasa Inggris, terdapat dua varian besar. Pada varian pertama, bagian tersebut diterjemahkan dengan, ”Seperti kami mengampuni orang yang bersalah kepada kami” (= ”as we forgive our debtors”). Sedang varian kedua berbunyi, ”Seperti kami juga sudah mengampuni orang yang bersalah kepada kami” (= ”as we also have forgiven our debtors").

Tak ada perbedaan mendasar antara keduanya. Mereka sama-sama hendak menekankan bahwa ada hubungan yang tak terpisahkan antara ”diampuni” dan ”mengampuni”. Karena itu, anjuran saya adalah inti pengertian inilah yang harus lebih kita perhatikan. Jangan mengasyikkan diri dalam perdebatan mendetil mengenai hal-hal yang relatif remeh, dan yang tidak punya kaitan langsung dengan kehidupan kita.

Etika Kristen memang selalu menekankan hubungan antar manusia yang seimbang, yang adil (= fair) dan yang timbal balik. Anda ingin dihormati orang lain? Hormatilah orang lain! Anda minta dilayani? Jadilah pelayan! Begitu pula bila Anda mengharapkan pengampunan. Tiket yang mesti Anda bayar adalah, tiket kesediaan untuk mengampuni.

Hukum timbal-balik ini berlaku bagi semua orang dari semua tingkatan. Bagi yang berkedudukan ”tinggi” maupun yang ”rendah”. Yang lebih ”tinggi” hanya dapat menuntut ketaatan dan kesetiaan yang di ”bawah”, apabila ia juga menunjukkan rasa hormat serta perhatian kepada yang ”rendah”. Keadilan Kristen tidak menghapuskan perbedaan, tetapi sangat menentang penindasan dan kesewenang-wenangan. Menuntut pengampunan tapi emoh mengampuni, adalah kesemena-menaan.

Persoalan yang lain adalah bagaimana seyogyanya menafsirkan kata ”seperti”, dalam ”seperti kami juga mengampuni…”. Apakah kata tersebut lebih baik dimengerti dalam arti ”proporsi”? Yaitu bahwa Tuhan akan mengampuni kita, ”sebanding” atau ”setara” atau ”dalam proporsi yang sama” dengan kesediaan kita mengampuni orang lain?

Jadi kalau kita bersedia mengampuni, tapi dengan menengok-nengok ”siapa”-nya (”Oke, saya bersedia memaafkan, asal jangan si Badar! Sudah terlalu sering ia menyakiti hati”), atau dengan menimbang-nimbang ”apa” nya (”Kesalahannya sudah keterlaluan, bagaimana mungkin saya maafkan?!); maka Tuhan pun akan bersikap begitu terhadap kita.

Ataukah, kata itu seyogyanya kita artikan sebagai ”sama dengan” atau ”sejajar dengan” atau ”analog dengan”? Sehingga doa kita menjadi, ”Ampunilah kami, dengan cara yang sama seperti cara kami mengampuni orang lain”?

Artinya, kalau kita—seperti yang sering kita lakukan—mengampuni dengan setengah hati, atau dengan tidak tuntas, karena tetap menyimpan kesalahan-kesalahan orang lain itu dalam hati maupun ingatan kita, maka pengampunan dengan kualitas seperti itu pula yang maksimal dapat kita harapkan dari Tuhan. Yaitu ”pengampunan formal” (= mulut memaafkan, tapi hati tetap panas menanti saat pembalasan). Atau ”pengampunan sementara” (= sekarang memaafkan, tapi siap untuk mengungkit-ungkitnya kembali kemudian). Kesalahan-kesalahan orang cuma disimpan di ”gudang”, tidak dibuang jauh-jauh ke ”pelimbahan”.

Mengenai adanya dua versi penafsiran ini pun, saya anjurkan agar kita tidak terjebak pada hal-hal yang ”jelimet”, dengan risiko kehilangan pandangan kepada hal-hal yang lebih pokok, lebih besar, dan lebih mendasar. Dalam hubungan ini, versi Lukas—lebih dari versi Matius—dapat menolong kita melepaskan diri dari ambiguitas.

Menurut penuturan Lukas, doa kita berbunyi, ”Ampunilah kami akan dosa kami, sebab kami pun mengampuni setiap orang yang bersalah kepada kami” (Lukas 11:4). Kita tidak berhak memohon pengampunan kepada Tuhan, sebelum kita mengampuni orang lain. Karenanya, doa ini sekaligus juga harus merupakan laporan dan pertanggungjawaban kepada Tuhan. ”Lapor! Perintah mengampuni sudah dilaksanakan! Sekarang, mohon pengampunan. Laporan selesai!”

Bagian ini kita mengerti lebih mendalam, dengan membacanya dalam terang beberapa ayat Alkitab yang lain. Misalnya, Matius 6:14-15, yang memuat perkataan Yesus, ”Karena jikalau kamu mengampuni kesalahan orang, Bapamu yang di sorga akan mengampuni kamu juga. Tetapi jikalau kamu tidak mengampuni orang, Bapamu juga tidak akan mengampuni kesalahanmu.”

Apa artinya? Artinya ialah, ada saling keterkaitan yang amat erat antara ”pengampunan manusia” dan ”pengampunan Allah”. Ada hubungan ”sebab-akibat” antara ”kesediaan kita mengampuni” dan ”kesediaan-Nya mengampuni”. Orang-orang yang tidak pengampun, adalah orang-orang yang dengan sengaja menutup pintu pengampunan bagi dirinya sendiri. Mengerikan sekali, bukan?

Karena begitu mudahnya minta pengampunan, tetapi begitu sulitnya mengampuni, maka kata Chrysostomus, banyak orang dengan sengaja memotong dan membuang bagian kedua doa ini. Aneh kedengarannya, bukan? Tapi marilah kita meneliti kembali doa-doa kita. Apakah dengan sadar atau tidak sadar, kita tidak melakukan hal yang sama? Hanya mau pengampunan-Nya, tanpa mau mengampuni?

Bila Anda lakukan ini, Anda sungguh melakukan kealahan besar! Sebab Perjanjian Baru begitu sarat dengan penekanan, bahwa ada inter-relasi yang tak terputuskan antara ”pengampunan manusia” dan ”pengampunan Allah”. Bahwa hanya mereka yang murah hati, akan memperoleh kemurahan Allah (Matius 5:7). Atau bahwa ”Penghakiman yang tak berbelas-kasihan akan berlaku atas orang yang tidak berbelas-kasihan” (Yakobus 2:13).

Bila persyaratan untuk masuk ke SMU adalah memiliki ijazah SLTP, maka persyaratan yang tak dapat ditawar-tawar untuk menerima pengampunan, adalah memiliki roh pengampunan. Beberapa ribu tahun yang lalu, Gregorius dari Nyssa telah mengatakan, bahwa ini tidak mungkin lain. Mengapa? Sebab dua hal yang secara hakiki bertolak-belakang, tak mungkin berdampingan dengan serasi.

”Mustahillah seorang fasik berakrab-akrab dengan seorang saleh, atau pikiran yang kotor bercampur dengan pikiran yang bersih. Karena itu mustahil pula dendam bersanding dengan pengampunan, dan seorang yang pikirannya dibakar benci menghampiri takhta Allah yang maha suci”. Dengan perkataan lain, ada tembok pembatas yang mutlak antara Allah dan orang yang tidak pengampun. Tidak mau mengampuni berarti menolak pengampunan-Nya.

Martin Luther menghubungkan sikap tidak pengampun dengan kata-kata pemazmur mengenai orang fasik, ”Biarlah doanya menjadi dosa” (Mazmur 109:7). Mengapa? Sebab berdoa dengan mulut memuji-muji Tuhan, tapi dengan hati yang sesak oleh amarah yang tertahan, dan rasa dendam yang tak terlampiaskan, adalah dosa.

William Barclay bercerita tentang pengalaman Robert Louis Stevenson, yang mempunyai kebiasaan melakukan ibadah keluarga setiap hari, di mana doa Bapa Kami diucapkan bersama-sama. Pada suatu ketika, di tengah-tengah doa, Robert berdiri dan bergegas meninggalkan ruangan. Istrinya, menyangka suaminya sakit mendadak, segera bangkit menyusulnya. ”Ada apa? Sakitkah engkau?”, tanya sang istri. ”Tidak”, jawab Robert, ”Aku cuma merasa tidak pantas berdoa dengan doa Bapa Kami, khususnya hari ini. Aku belum bisa memaafkan Sam.”

Bila kita seserius dia, wah, saya khawatir apakah ada di antara kita yang ”pantas” dan ”memenuhi syarat” untuk menaikkan doa Bapa Kami? Tapi pantas atau tidak pantas, kita tak punya pilihan lain.
Konon, pada suatu ketika Jenderal Oglethorpe dengan ketegasan militernya berkata kepada John Wesley, ”Aku tidak pernah mengampuni! Tidak akan!”. John Wesley menjawab, ”Bila demikian, Jenderal, saya cuma berharap Anda juga tidak pernah berdosa!” Tepat dan telak betul jawaban ini, bukan?

Berbicara dengan bahasa dagang, mengampuni dapat dianalogikan dengan memberi "persekot” atau "uang muka". Anda membayar sekarang, untuk memperoleh hasilnya kemudian. Anda harus mengampuninya sekarang, sebab siapa tahu Anda membutuhkan pengampunannya kemudian. Sedang tidak mau mengampuni? Ia dapat dianalogikan dengan membuang sampah ke dalam got. Kemudian gigit jari karena harus memungut banjir, ketika musim penghujan datang.

Apa yang dikatakan oleh Gregorius dari Nyssa berikut ini, mungkin terdengar agak keterlaluan. Namun ia toh berhasil memperlihatkan keistimewaan doa yang tengah kita bahas ini. Doa yang sepintas lalu kelihatan ”tidak ada apa-apanya” ini, kata Gregorius, adalah satu-satunya doa, di mana melaluinya, ”kita mengundang Allah untuk meniru/mencontoh kita!”

”Ampunilah kami, seperti kami mengampuni.” Allah meniru kita? Astaga, benarkah yang dikatakan Gregorius itu? Tentu tidak seluruhnya benar. Sebab dalam hal pengampunani—bahkan dalam segala hali—kitalah yang mesti mencontoh dan meniru Allah. ”Hendaklah kamu saling mengampuni, sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kamu” (Efesus 4:32). Tapi yang paling penting dan paling benar dari semuanya adalah, bahwa Allah hanya berkenan mengampuni orang-orang yang pengampun!
Seperti Kami Juga Mengampuni
Monday, 12 April 2010 10:03
Pada doa Bapa Kami, Yesus mengajarkan, ”Ampunilah kami akan kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami.” Dalam terjemahan bahasa Inggris, terdapat dua varian besar. Pada varian pertama, bagian tersebut diterjemahkan dengan, ”Seperti kami mengampuni orang yang bersalah kepada kami” (= ”as we forgive our debtors”). Sedang varian kedua berbunyi, ”Seperti kami juga sudah mengampuni orang yang bersalah kepada kami” (= ”as we also have forgiven our debtors").

Tak ada perbedaan mendasar antara keduanya. Mereka sama-sama hendak menekankan bahwa ada hubungan yang tak terpisahkan antara ”diampuni” dan ”mengampuni”. Karena itu, anjuran saya adalah inti pengertian inilah yang harus lebih kita perhatikan. Jangan mengasyikkan diri dalam perdebatan mendetil mengenai hal-hal yang relatif remeh, dan yang tidak punya kaitan langsung dengan kehidupan kita.

Etika Kristen memang selalu menekankan hubungan antar manusia yang seimbang, yang adil (= fair) dan yang timbal balik. Anda ingin dihormati orang lain? Hormatilah orang lain! Anda minta dilayani? Jadilah pelayan! Begitu pula bila Anda mengharapkan pengampunan. Tiket yang mesti Anda bayar adalah, tiket kesediaan untuk mengampuni.

Hukum timbal-balik ini berlaku bagi semua orang dari semua tingkatan. Bagi yang berkedudukan ”tinggi” maupun yang ”rendah”. Yang lebih ”tinggi” hanya dapat menuntut ketaatan dan kesetiaan yang di ”bawah”, apabila ia juga menunjukkan rasa hormat serta perhatian kepada yang ”rendah”. Keadilan Kristen tidak menghapuskan perbedaan, tetapi sangat menentang penindasan dan kesewenang-wenangan. Menuntut pengampunan tapi emoh mengampuni, adalah kesemena-menaan.

Persoalan yang lain adalah bagaimana seyogyanya menafsirkan kata ”seperti”, dalam ”seperti kami juga mengampuni…”. Apakah kata tersebut lebih baik dimengerti dalam arti ”proporsi”? Yaitu bahwa Tuhan akan mengampuni kita, ”sebanding” atau ”setara” atau ”dalam proporsi yang sama” dengan kesediaan kita mengampuni orang lain?

Jadi kalau kita bersedia mengampuni, tapi dengan menengok-nengok ”siapa”-nya (”Oke, saya bersedia memaafkan, asal jangan si Badar! Sudah terlalu sering ia menyakiti hati”), atau dengan menimbang-nimbang ”apa” nya (”Kesalahannya sudah keterlaluan, bagaimana mungkin saya maafkan?!); maka Tuhan pun akan bersikap begitu terhadap kita.

Ataukah, kata itu seyogyanya kita artikan sebagai ”sama dengan” atau ”sejajar dengan” atau ”analog dengan”? Sehingga doa kita menjadi, ”Ampunilah kami, dengan cara yang sama seperti cara kami mengampuni orang lain”?

Artinya, kalau kita—seperti yang sering kita lakukan—mengampuni dengan setengah hati, atau dengan tidak tuntas, karena tetap menyimpan kesalahan-kesalahan orang lain itu dalam hati maupun ingatan kita, maka pengampunan dengan kualitas seperti itu pula yang maksimal dapat kita harapkan dari Tuhan. Yaitu ”pengampunan formal” (= mulut memaafkan, tapi hati tetap panas menanti saat pembalasan). Atau ”pengampunan sementara” (= sekarang memaafkan, tapi siap untuk mengungkit-ungkitnya kembali kemudian). Kesalahan-kesalahan orang cuma disimpan di ”gudang”, tidak dibuang jauh-jauh ke ”pelimbahan”.

Mengenai adanya dua versi penafsiran ini pun, saya anjurkan agar kita tidak terjebak pada hal-hal yang ”jelimet”, dengan risiko kehilangan pandangan kepada hal-hal yang lebih pokok, lebih besar, dan lebih mendasar. Dalam hubungan ini, versi Lukas—lebih dari versi Matius—dapat menolong kita melepaskan diri dari ambiguitas.

Menurut penuturan Lukas, doa kita berbunyi, ”Ampunilah kami akan dosa kami, sebab kami pun mengampuni setiap orang yang bersalah kepada kami” (Lukas 11:4). Kita tidak berhak memohon pengampunan kepada Tuhan, sebelum kita mengampuni orang lain. Karenanya, doa ini sekaligus juga harus merupakan laporan dan pertanggungjawaban kepada Tuhan. ”Lapor! Perintah mengampuni sudah dilaksanakan! Sekarang, mohon pengampunan. Laporan selesai!”

Bagian ini kita mengerti lebih mendalam, dengan membacanya dalam terang beberapa ayat Alkitab yang lain. Misalnya, Matius 6:14-15, yang memuat perkataan Yesus, ”Karena jikalau kamu mengampuni kesalahan orang, Bapamu yang di sorga akan mengampuni kamu juga. Tetapi jikalau kamu tidak mengampuni orang, Bapamu juga tidak akan mengampuni kesalahanmu.”

Apa artinya? Artinya ialah, ada saling keterkaitan yang amat erat antara ”pengampunan manusia” dan ”pengampunan Allah”. Ada hubungan ”sebab-akibat” antara ”kesediaan kita mengampuni” dan ”kesediaan-Nya mengampuni”. Orang-orang yang tidak pengampun, adalah orang-orang yang dengan sengaja menutup pintu pengampunan bagi dirinya sendiri. Mengerikan sekali, bukan?

Karena begitu mudahnya minta pengampunan, tetapi begitu sulitnya mengampuni, maka kata Chrysostomus, banyak orang dengan sengaja memotong dan membuang bagian kedua doa ini. Aneh kedengarannya, bukan? Tapi marilah kita meneliti kembali doa-doa kita. Apakah dengan sadar atau tidak sadar, kita tidak melakukan hal yang sama? Hanya mau pengampunan-Nya, tanpa mau mengampuni?

Bila Anda lakukan ini, Anda sungguh melakukan kealahan besar! Sebab Perjanjian Baru begitu sarat dengan penekanan, bahwa ada inter-relasi yang tak terputuskan antara ”pengampunan manusia” dan ”pengampunan Allah”. Bahwa hanya mereka yang murah hati, akan memperoleh kemurahan Allah (Matius 5:7). Atau bahwa ”Penghakiman yang tak berbelas-kasihan akan berlaku atas orang yang tidak berbelas-kasihan” (Yakobus 2:13).

Bila persyaratan untuk masuk ke SMU adalah memiliki ijazah SLTP, maka persyaratan yang tak dapat ditawar-tawar untuk menerima pengampunan, adalah memiliki roh pengampunan. Beberapa ribu tahun yang lalu, Gregorius dari Nyssa telah mengatakan, bahwa ini tidak mungkin lain. Mengapa? Sebab dua hal yang secara hakiki bertolak-belakang, tak mungkin berdampingan dengan serasi.

”Mustahillah seorang fasik berakrab-akrab dengan seorang saleh, atau pikiran yang kotor bercampur dengan pikiran yang bersih. Karena itu mustahil pula dendam bersanding dengan pengampunan, dan seorang yang pikirannya dibakar benci menghampiri takhta Allah yang maha suci”. Dengan perkataan lain, ada tembok pembatas yang mutlak antara Allah dan orang yang tidak pengampun. Tidak mau mengampuni berarti menolak pengampunan-Nya.

Martin Luther menghubungkan sikap tidak pengampun dengan kata-kata pemazmur mengenai orang fasik, ”Biarlah doanya menjadi dosa” (Mazmur 109:7). Mengapa? Sebab berdoa dengan mulut memuji-muji Tuhan, tapi dengan hati yang sesak oleh amarah yang tertahan, dan rasa dendam yang tak terlampiaskan, adalah dosa.

William Barclay bercerita tentang pengalaman Robert Louis Stevenson, yang mempunyai kebiasaan melakukan ibadah keluarga setiap hari, di mana doa Bapa Kami diucapkan bersama-sama. Pada suatu ketika, di tengah-tengah doa, Robert berdiri dan bergegas meninggalkan ruangan. Istrinya, menyangka suaminya sakit mendadak, segera bangkit menyusulnya. ”Ada apa? Sakitkah engkau?”, tanya sang istri. ”Tidak”, jawab Robert, ”Aku cuma merasa tidak pantas berdoa dengan doa Bapa Kami, khususnya hari ini. Aku belum bisa memaafkan Sam.”

Bila kita seserius dia, wah, saya khawatir apakah ada di antara kita yang ”pantas” dan ”memenuhi syarat” untuk menaikkan doa Bapa Kami? Tapi pantas atau tidak pantas, kita tak punya pilihan lain.
Konon, pada suatu ketika Jenderal Oglethorpe dengan ketegasan militernya berkata kepada John Wesley, ”Aku tidak pernah mengampuni! Tidak akan!”. John Wesley menjawab, ”Bila demikian, Jenderal, saya cuma berharap Anda juga tidak pernah berdosa!” Tepat dan telak betul jawaban ini, bukan?

Berbicara dengan bahasa dagang, mengampuni dapat dianalogikan dengan memberi "persekot” atau "uang muka". Anda membayar sekarang, untuk memperoleh hasilnya kemudian. Anda harus mengampuninya sekarang, sebab siapa tahu Anda membutuhkan pengampunannya kemudian. Sedang tidak mau mengampuni? Ia dapat dianalogikan dengan membuang sampah ke dalam got. Kemudian gigit jari karena harus memungut banjir, ketika musim penghujan datang.

Apa yang dikatakan oleh Gregorius dari Nyssa berikut ini, mungkin terdengar agak keterlaluan. Namun ia toh berhasil memperlihatkan keistimewaan doa yang tengah kita bahas ini. Doa yang sepintas lalu kelihatan ”tidak ada apa-apanya” ini, kata Gregorius, adalah satu-satunya doa, di mana melaluinya, ”kita mengundang Allah untuk meniru/mencontoh kita!”

”Ampunilah kami, seperti kami mengampuni.” Allah meniru kita? Astaga, benarkah yang dikatakan Gregorius itu? Tentu tidak seluruhnya benar. Sebab dalam hal pengampunani—bahkan dalam segala hali—kitalah yang mesti mencontoh dan meniru Allah. ”Hendaklah kamu saling mengampuni, sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kamu” (Efesus 4:32). Tapi yang paling penting dan paling benar dari semuanya adalah, bahwa Allah hanya berkenan mengampuni orang-orang yang pengampun!