Kehidupan Imam Eli dan keluarganya adalah salah satu contoh yang sangat realistis dan tepat dalam setiap zaman, termasuk pada zaman dimana kita hidup sekarang ini. Eli adalah seorang hamba Tuhan, Imam yang melayani di Bait Suci Tuhan.
Sebenarnya setiap orang Kristen adalah hamba Tuhan (Roma 6:22), namun dalam topik kali ini, yang dimaksud hamba Tuhan adalah seseorang yang secara khusus terpanggil sebagai full (part) timer dalam bidang pelayanan kerohanian didalam suatu lembaga pelayanan gereja atau parachurch (misalkan pendeta atau penginjil).
Seringkali secara umum jemaat memandang hamba Tuhan sebagai suatu contoh atau pola teladan kehidupan yang ideal, yang sempurna, baik dalam kehidupan secara pribadi, dalam pelayanan dan termasuk pula dalam keluarganya.
Bila suatu saat, oleh salah satu badan intelejen tercanggih yang ada diantara jemaat, terbongkar suatu rahasia, bahwa ada seorang hamba Tuhan yang mempunyai kejelekan, kelemahan, kekurangan apalagi dosa-dosa tertentu, baik yang dilakukan secara pribadi, atau dari pihak keluarganya, maka hamba Tuhan ini akan seperti babi yang dicincang, diadili, dan dihakimi oleh jemaat-jemaatnya sebelum ia dipanggang.
Namun ada pula reaksi lain dari sebagian jemaat yang hatinya terlalu lembut. Mereka tidak sanggup secara kanibal memanggang habis hamba Tuhan tersebut, namun sempat mengalami kekecewaan (stress) yang sangat mendalam, dan imannya rontok gara-gara perbuatan hamba Tuhan yang pernah dibanggakannya itu. Ia tidak lagi mau kegereja, berdoa dan melayani. Jadi boleh dikata, secara matematik, imam adalah FUNGSI dari PERBUATAN hamba Tuhan? Lagi-lagi hamba Tuhan yang dipersalahkan. Kasihan memang menjadi hamba Tuhan itu. Ia dianggap bukan seperti manusia lagi, tetapi seperti manusia luar angkasa, yang harus mempunyai kelainan-kelainan dibandingkan dengan manusia di bumi ini.
TOPENG-TOPENG YANG DISUKAI
Pengadilan yang sangat “menakutkan” hamba-hamba Tuhan ini, salah satu akibatnya, dapat membuat mereka hidup serba munafik dan menutup-nutupi keberadaan dirinya yang sebenarnya. Ia tidak mau kelehamahannya diketahui oleh jemaatnya, ia ingin supaya jemaatnya selalu memandang dirinya sebagai orang yang tidak punya kekurangan, kelemahan dan dosa-dosa. Makin jemaatnya kagum padanya, makin senang hatinya.
Dan ternyata jemaatnya juga senang “ditipu” jemaat sangat senang bila ada hamba Tuhan yang suci 100%, selalu sempurna, selalu menyenangkan hati mereka, selalu tidak punya kesalahan, kekurangan dan lain sebaginya. Hamba Tuhan yang seperti itulah yang selalu dipuji-puji dan diagungkan.
Sayang, banyak hamba Tuhan yang terjebak dalam dunia sandiwara ini, dan banyak pula jemaat yang menikmati sandiwara yang dituntutnya sendiri. Jemaat “menciptakan” hamba Tuhan yang sempurna, hebat dan tanpa cacat menurut selera yang mereka inginkan; dan hamba Tuhan juga me”make-up” wajahnya menurut selera yang jemaatnya inginkan.
Kasihan memang bagi hamba Tuhan yang tidak pandai ber“make-up” Ia selalu diejek, dicela dan dibenci karena “wajahnya” yang jelek.
Ada jemaat yang berkata, bagi yang mau menjadi hamba Tuhanya tau sendiri konsekwensinya, ia harus bisa menjadi lebih dari manusia biasa !! Ha, apa betul ya dan apa bisa ya?
MEMANDANG HAMBA TUHAN DALAM ALKITAB
Herannya ternyata Alkitab berkata lain tentang hal ini. Alkitab tidak pernah me“make-up” hamba Tuhan, dan Alkitab tidak pernah memperkenalkan hamba Tuhan seperti makhluk luar angka yang mempunyai “keanehan-keanehan” yang tidak dimiliki oleh manusia biasa.
Alkitab tidak pernah menyatakan ada manusia luar biasa didunia ini. Elia ternyata juga mempunyai dosa dan kelemahan (Yakobus 5:17a), Musa mempunyai dosa dan kelemahan, Yosua mempunyai dosa dan kelemahan. Meskipun Alkitab tidak mengungkapkan dosa-dosa dan kelemahan dari Henokh ataupun Yusuf anak Yakub, namun bukan berarti Henokh maupun Yusuf tidak mempunyai dosa dan kelemahan.
Tuhan Yesus pernah berkata, bahwa tidak ada seorangpun yang baik (Lukas 18:19), didalam kitab Roma 3:10-12,23 dikatakan, bahwa tidak ada seorangpun yang benar, semua sudah berbuat kejahatan, dalam kitab Yesaya 64:6 nabi Yesaya pun mengakui, bahwa perbuatan baik manusia itu seperti kain yang kotor dihadapan Allah.
Dengan perkataan lain Alkitab menegaskan, bahwa tidak ada seorangpun didunia ini yang tidak punya dosa, yang tidak punya kelemahan, kekurangan, keterbatasan, dan perbuatan-perbuatan tercela, termasuk hamba Tuhan!!. Karena itu Alkitab menegaskan, tidak ada seorangpun yang dapat diselamatkan karena perbuatannya (Efesus 2:8-9) !!.
Jadi kalau ada jemaat yang melihat ada hamba Tuhan yang tanpa cacat, cela, tanpa ada dosa dan kelemahan apapun, yang dinilai sangat hebat luar biasa, seperti SIX MILLION DOLLAR MAN atau WONDER WOMAN, maka ada dua kemungkinan yang terjadi: pertama jemaat itu belum sungguh-sungguh mengenal siapa sebenarnya hamba Tuhan itu, kedua hamba Tuhan itu sangat pandai bersandiwara, menciptakan kesalahan palsu sehingga jemaat itu tertipu.
Ada jemaat yang beri komentar, kalau begitu kita jangan terlalu dalam mengenal siapa hamba Tuhan itu sebenarnya, nanti kita akan kecewa kalau mengetahui kelemahan dan dosanya. Sikap seperti ini juga tidak dapat dibenarkan, sebab perbuatan semacam ini sama dengan usaha menipu diri sendiri dan tidak berani menghadapi realita.
Bila kita tetap mau memandang raja Daud, Musa, Elia, Abraham, sebagai hamba-hamba Tuhan, meskipun kita juga diberitahu akan kelemahan, kekurangan dan bahkan dosa-dosa mereka, mengapa, kita tidak dapat memandang hamba-hamba Tuhan pada zaman sekarang ini masa seperti kita memandang hamba-hamba Tuhan yang diperkenalkan Alkitab? Atau apakah penilaian kita sudah tidak lagi berpatokan pada apa yang Alkitab beritakan dan ajarkan, dan kita mau memandang hamba-hamba Tuhan zaman sekarang harus melebihi kriteria hamba-hamba Tuhan yang disaksikan oleh Alkitab?
TAK KENAL, MAKA TAK SAYANG, MAKIN MENGENAL MAKIN MEMBENCI ?
Ada seorang pemuda yang menceritakan, bahwa ia sekarang tidak lagi mengasihi istrinya setelah ketahuan, bahwa istrinya ternyata adalah seorang yang pernah berzinah pada masa remajanya. Katanya, dahulu pada waktu masih berpacaran, ia sangat mengasihi calon istrinya. Dalam kasus seperti ini kita perlu bertanya, apakah kasih yang seperti ini dapat disebut sebagai kasih yang benar? Kalau kita mau lebih teliti, sebenarnya pemuda ini dari dahulu TIDAK PERNAH mengasihi pacarnya yang sekarang telah menjadi istrinya. Ia ‘mengasihi” dalam ketidaktahuan dan dalam pengenalan yang meraba-raba, atau sekedar emosi belaka. Ia tidak sungguh-sungguh mengenal siapa yang dikasihinya.
Orang yang mengasihi seseorang tanpa dasar pengenalan yang benar dan waktu yang cukup, maka kasih itu belum teruji dan perlu dipertanyakan kesungguhannya.
Demikian pula dengan orang yang begitu menghormati hamba Tuhan, dan sangat mengaguminya, padahal ia belum tahu dengan benar siapa hamba Tuhan itu dan bagaimana kehidupan sehari-harinya, maka kekaguman itu hanya merupakan kekaguman semu atau kekaguman yang kekanak-kanakan, yang hanya berdasarkan penilaian lahiriah saja. Kekaguman itu akan dengan mudah lenyap, bila pengetahuan kita ditambah dengan informasi-informasi yang tidak memenuhi kriteria kekaguman tersebut.
SIKAP YANG TEPAT
Akitab mengajarkan pada kita, bahwa kita harus saling menghormati, mengasihi, dan khususnya kepada hamba-hamba Tuhan (I Tesalonika 5:12-13, I Timotius 5:17), bukan karena mereka tidak pernah berbuat dosa, namun karena kita ini adalah sesama anak-anak Tuhan, sesama murid-murid Kristus yang harus saling menopang dan menguatkan (Yohanes 13:34-35)
Ilustrasi tubuh yang diberikan oleh rasul Paulus dalam kitab Korintus menunjukkan adanya saling ketergantungan mutlak dari setiap anggota tubuh. Tidak ada anggota tubuh yang merasa dirinya paling hebat, paling tinggi dan tidak membutuhkan anggota yang lain. Tidak ada anggota tubuh yang bersukacita bila ada anggota lainnya yang sedang menderita atau jatuh dalam kelemahannya (I Korintus 12:21-26).
Hamba Tuhan tidak mungkin dapat membangun jemaat seorang diri saja. Ia membutuhkan partner kerja, ia membutuhkan support (dukungan), ia membutuhkan anggota-anggota tubuh Kristus yang lain.
HAMBA TUHAN DAN KELUARGANYA
Sebenarnya peran membina keluarga yang harmonis, baik itu oleh hamba Tuhan maupun jemaat umum mempunyai bobot yang sama beratnya yaitu sebagai seorang Kristen, sebagai murid Kristus, yang harus memberikan teladan terbaik dalam setiap perbuatannya.
Mari kita melihat kehidupan imam Eli. Meskipun Eli adalah seorang hamba Tuhan ternyata keluarganya berantakan. Alkitab menegaskan, bahwa kesalahan Eli adalah membiarkan anak-anaknya berbuat hal yang tidak benar dipandang Tuhan, dan bahkan lebih daripada itu, Eli ikut menikmati hasil perbuatan yang benar dari anak-anaknya. Eli tidak memperhatikan peringatan-peringatan yang sudah disampaikan kepadanya dengan serius, dan ia lebih menghormati anak-anaknya daripada Tuhan (I Samuel 2:29).
Ini merupakan peringatan bagi semua orang, bahwa kehidupan hamba Tuhan dan keluarganya bukan merupakan jaminan pasti serba sukses, lancar, tanpa kesulitan dan cacat cela. Mendidik anak dan membina hubungan yang harmonis dalam keluarga adalah tantangan yang sama berat dan sulitnya bagi setiap anak Tuhan!.
Alkitab dengan terbuka juga menunjukkan banyaknya “kegagalan” dalam memelihara hubungan yang harmonis dari anak Tuhan yang baik-baik, seperti anak Samuel (I Samuel 8:3), keluarga Abraham, keluarga Ishak, keluarga Yakub, keluarga Daud, keluarga Salomo, dan seterusnya.
Dari contoh-contoh diatas, kita seharusnya tidak lagi saling menuding dan menghakimi, tapi waspadalah!. Kegagalan dalam keluarga yang sedang kita soroti dapat juga terjadi dalam keluarga kita kelak. Kesalahan imam Eli juga dapat kita lakukan sendiri bila kita lengah.
Bila kita menyadari prinsip satu tubuh, maka kegagalan dari salah satu anggota tubuh, adalah bagian dari kegagalan kita juga, kegagalan kita dalam membangun sesama anggota tubuh Kristus. Kejatuhan salah seorang anggota tubuh Kristus adalah merupakan salah satu akibat dari bentuk ketidak pedulian kita pada saudara kita seiman.
Seharusnya bila kesatuan tubuh itu nyata, maka kejatuhan tubuh yang lain dapat dihindarkan dengan menjalin kesehatian, saling mendoakan, menguatkan, mengingatkan, menegur, menasehati, memberi saran-saran, mencarikan jalan keluar, mengatasi segala godaan dengan tindakan pencegahan-pencegahan.
PENUTUP
Orang yang dibenarkan Allah bukanlah orang yang mampu untuk tidak berbuat dosa sama sekali dalam kehidupannya, namun orang yang mau ditegur, dan mau menyadari akan dosa-dosanya, serta mengakuinya dihadapan Tuhan dengan penyesalan, dan akhirnya bertekad untuk terus menerus belajar memperbaiki kehidupannya hari demi hari makin sesuai dengan kehendak Tuhan.
Tuhan Yesus bukan mengasihi orang yang sempurna dan benar, melainkan orang berdosa yang menyadari dan menyesali akan dosanya, serta mau datang kepada Tuhan dan belajar terus menerus untuk meperbaiki kehidupannya.
Yang tidak disenangi oleh Tuhan justru adalah orang yang berpura-pura, orang yang selalu merasa dirinya benar dan membenarkan dirinya sendiri, tidak mau mengakui segala kekurangan dan kelemahannya, orang yang membanggakan perbuatannya yang “saleh”, yang selalu membandingkan dirinya lebih baik dari orang lain (Lukas 18:9-14, bnd Markus 2:17).
Keluarga Eli dan hamba Tuhan yang lain dalam Alkitab menjadi peringatan bagi kita semua, supaya kita tidak mengulangi kesalahan yang sama dan supaya kita tidak gampang-gampang menghakimi semua orang dengan seenaknya. Orang Farisi dan ahli Taurat adalah figur yang dipaparkan Alkitab kepada kita sebagai tipe orang yang selalu merasa dirinya paling benar dan menganggap orang lain lebih jelek dari dirinya.
Bila suatu saat kita melihat kelemahan dan kejatuhan seseorang, jangan cepat-cepat tertawa sebelum kita sadar, bahwa suatu saat kita juga bisa jatuh bila mengalami godaan yang sama dengan sikon yang sama pula (bnd I Korintus 10:12, Matius 7:3).
Sebenarnya tidak ada satupun diantara kita yang layak dihadapan Allah. Kita semua sama-sama jeleknya. Tuhan mengajarkan kita supaya mengasihi sesama kita bukan karena orang telah berbuat baik kepada kita atau telah memuaskan hati (keinginan dan konsep) kita (Lukas 6:23).
Tuhan beserta kita sekalian. Amin.
Pdt. Ir Andi Halim, S.Th