Kekudusan merupakan salah satu atribut Allah. Ada banyak bagian dalam Alkitab yang menekankan kekudusan Allah. Salah satunya terdapat dalam Yesaya 6:1-7. Dalam bagian itu nabi Yesaya melihat Allah duduk di atas takhta-Nya dan para Serafim berseru: “Kudus, kudus, kuduslah TUHAN semesta alam, seluruh bumi penuh kemuliaan-Nya!” (Yes 6:3)
Melihat kekudusan Allah yang sedemikian dahsyat, nabi Yesaya pun berkata: “Celakalah aku! aku binasa! Sebab aku ini seorang yang najis bibir, dan aku tinggal di tengah-tengah bangsa yang najis bibir, namun mataku telah melihat Sang Raja, yakni TUHAN semesta alam.” (Yes 6:5) Itulah respon yang akan diberikan oleh setiap orang yang telah melihat kekudusan Allah. Dia akan menyadari keberdosaan dan ketidaklayakannya di hadapan Allah. Dia akan sujud tersungkur di hadapan Allah yang mahakudus dan mengakui segala dosa yang telah diperbuatnya.
Apakah yang dimaksud dengan “kudus”? Kudus berarti bersih, suci, dan bebas dari segala bentuk pencemaran. Allah itu kudus. Artinya, Allah itu bersih dari segala bentuk kejahatan. Dia sungguh-sungguh suci dan sama sekali tak tercemar oleh dosa.
Segala hukum dan ritual yang diperintahkan Allah dalam Perjanjian Lama menyatakan kekudusan-Nya. Misalnya, larangan supaya umat Israel tidak mendekat ketika Allah menyatakan diri-Nya di gunung Sinai, ritual pembasuhan dan persembahan korban yang diperlukan untuk mendekat kepada Allah, pembagian Bait Allah menjadi beberapa ruangan (pelataran, ruang kudus, dan ruang mahakudus), dan pembagian umat Israel menjadi beberapa tingkatan (umat, kaum Lewi, para imam, dan Imam Besar) sesuai dengan hak yang diberikan Allah untuk mendekat kepada-Nya. Semua itu menyatakan kekudusan Allah yang tak terkira. Perintah Allah kepada Musa dalam Keluaran 3:5 juga menyatakan kekudusan-Nya:
Janganlah datang dekat-dekat: tanggalkanlah kasutmu dari kakimu, sebab tempat, di mana engkau berdiri itu, adalah tanah yang kudus.
Beberapa hukuman yang Allah berikan dalam Perjanjian Lama juga menyatakan kekudusan-Nya. Misalnya, hukuman atas Nadab dan Abihu yang mempersembahkan api asing ke hadapan Allah (Im 10:1-7) dan hukuman atas Uza yang secara teledor telah memegang tabut Allah (2 Sam 6:1-7). Semua hukuman itu menyatakan bahwa kekudusan Allah merupakan sesuatu yang sangat serius dan wajib dihormati.
Kekudusan Allah dinyatakan dengan berbagai cara, antara lain:
Pertama, kekudusan Allah dinyatakan dengan kebencian-Nya terhadap dosa. Dalam doanya nabi Habakuk berkata:
Bukankah Engkau, ya TUHAN, dari dahulu Allahku, Yang Mahakudus? …. Mata-Mu terlalu suci untuk melihat kejahatan dan Engkau tidak dapat memandang kelaliman. …. (Habakuk 1:12-13)
Kebencian Allah terhadap dosa juga dinyatakan dalam Amsal 6:16-19:
Enam perkara ini yang dibenci TUHAN, bahkan, tujuh perkara yang menjadi kekejian bagi hati-Nya: mata sombong, lidah dusta, tangan yang menumpahkan darah orang yang tidak bersalah, hati yang membuat rencana-rencana yang jahat, kaki yang segera lari menuju kejahatan, seorang saksi dusta yang menyembur-nyemburkan kebohongan dan yang menimbulkan pertengkaran saudara.
Kedua, kekudusan Allah dinyatakan dengan tidak adanya kejahatan dalam diri-Nya. Allah tidak hanya membenci dosa dan kejahatan, Dia juga tidak pernah melakukannya.
Oleh sebab itu, kamu orang-orang yang berakal budi, dengarkanlah aku: Jauhlah dari pada Allah untuk melakukan kefasikan, dan dari pada Yang Mahakuasa untuk berbuat curang. …. Sungguh, Allah tidak berlaku curang, Yang Mahakuasa tidak membengkokkan keadilan. (Ayub 34:10, 12)
Ketiga, kekudusan Allah dinyatakan dengan penghukuman-Nya atas segala bentuk dosa dan kejahatan. Ayub 34:11 menyatakan:
Malah Ia mengganjar manusia sesuai perbuatannya, dan membuat setiap orang mengalami sesuai kelakuannya.
Keempat, kekudusan Allah dinyatakan dengan adanya pemisahan antara manusia berdosa dengan Allah. Dalam Yesaya 59:2 dikatakan:
Tetapi yang merupakan pemisah antara kamu dan Allahmu ialah segala kejahatanmu, dan yang membuat Dia menyembunyikan diri terhadap kamu, sehingga Ia tidak mendengar, ialah segala dosamu.
Kelima, kekudusan Allah dinyatakan dengan tuntutan-Nya akan korban pendamaian yang sempurna bagi pemulihan hubungan antara diri-Nya dengan manusia berdosa. Tanpa korban pendamaian itu tak ada seorang manusia pun yang dapat mendekat kepada-Nya. Untuk alasan dan tujuan inilah Yesus Kristus datang dan mati di atas kayu salib menjadi korban pendamaian di hadapan Allah, sehingga kita yang ada dalam Kristus dapat mendekat dan bersekutu dengan Allah.
Tetapi sekarang di dalam Kristus Yesus kamu, yang dahulu “jauh”, sudah menjadi “dekat” oleh darah Kristus. (Efesus 2:13)
Keenam, kekudusan Allah juga dinyatakan dengan kesukaan dan kasih-Nya kepada mereka yang mengejar kebenaran.
Jalan orang fasik adalah kekejian bagi TUHAN, tetapi siapa mengejar kebenaran, dikasihi-Nya. (Amsal 15:9)Kuduslah kamu bagi-Ku, sebab Aku ini, TUHAN, kudus dan Aku telah memisahkan kamu dari bangsa-bangsa lain, supaya kamu menjadi milik-Ku. (Imamat 20:26)
Demikianlah, kekudusan Allah nyata dalam tuntutan kebenaran yang diberikan-Nya dan dalam tindakan penghakiman yang dikerjakan-Nya. Karena Allah itu kudus, maka tak ada kejahatan, tak ada kecurangan, dan tak ada ketidakadilan dalam diri-Nya. Karena Allah itu kudus, maka Dia membenci dan mengganjar segala bentuk dosa dan kejahatan dengan hukuman yang setimpal. Bila kita sungguh-sungguh mengenal sifat Allah ini, tentu kita tak akan berani berbuat dosa seenaknya. Kita akan berjuang sedemikian rupa untuk hidup kudus di hadapan-Nya. Kita akan datang kepada-Nya dengan sikap hormat dan takut akan Allah.
Kekudusan-Nya memisahkan diri-Nya dari manusia berdosa. Akan tetapi, puji syukur kepada Allah, Yesus telah datang dan mati menjadi korban pendamaian bagi kita yang percaya kepada-Nya, sehingga sekarang kita dapat mendekat kepada Allah dengan penuh keberanian (bd. Ibr 10:19). Marilah kita mengucap syukur atas anugerah-Nya itu. Jangan pernah menyia-nyiakan anugerah yang telah Dia berikan kepada kita. Sebaliknya, marilah kita mengerjakannya dengan senantiasa mengejar kebenaran.
Akhirnya, marilah kita mencerminkan sifat-sifat Allah. Allah itu kudus. Karena itu, kita yang adalah umat-Nya juga harus hidup dalam kekudusan. Dengan demikian nama Allah semakin dipermuliakan melalui kehidupan kita.