Keadaan Bangsa Ini
Pdt. Burtono Bulin, S.Th.,MM.,MA
“Dengarlah ini, kamu yang menginjak-injak orang miskin, dan yang membinasakan orang sengsara di negeri ini.” Demikianlah nast dalam Amos 8:4. Amos banyak berbicara tentang kepincangan-kepincangan kehidupan social politik Israel. KEADAAN Israel Utara pada tahun 750 sebelum Kristus, ternyata tidak jauh berbeda dengan kondisi bangsa Indonesia pada masa kini. Semua ini membuktikan bahwa generasi tertentu itu selalu lebih baik dari pada generasi yang lain, atau bangsa tertentu itu selalu lebih bersih dari pada bangsa-bangsa lain.Oleh sebab itu, tidak tepatlah sikap pesimistis sementara orang, yang berkata bahwa hidup di zaman ”normal” atau dizaman ”orba” itu, toh masih lebih baik daripada hidup di zaman ini. Orang yang hanya teringat dan terikat pada kenangan manis di masa silamnya. Tidak! Tidak pernah ada zaman yang seluruhnya lebih baik atau lebih buruk daripada zaman-zaman yang lain. Setiap zaman mempunyai kesulitan-kesulitan dan sukses-sukses tersendiri. Tidak ada zaman yang keseluruhannya ”normal” atau seluruhnya ”abnormal”. Karena itu, juga tidak tepat untuk mengatakan, bahwa hidup ”disana” itu lebih enak daripada hidup ”di sini”. Setiap bangsa itu mempunyai persoalan dan kesulitan-kesulitannya sendiri-sendiri. Bentuknya barangkali berbeda, tetapi hakekatnya sebenarnya adalah sama saja.
Tetapi juga tidak benar kalau seorang hidup terlalu optimistis. Karena profesor telah duduk dalam kabinet. Karena keadilan dan hukum telah dislogankan, maka semuanya pasti akan lancar dan beres. Lalu kita tinggal duduk menanti zaman kemakmuran itu tersaji di depan mata kita.
Tidak, tak seorangpun dapat menjadi tukang sulap untuk mendatangkan kemakmuran dalam sekejap. Tak satu resep pun yang dapat seketika mengubah mental korup yang sudah membudaya di negeri tercinta ini. Tidak ada sebuah peraturan atau undang-undang yang dapat dalam sesaat membuat keadilan menjadi kekasih semua orang.
Kesulitan itu ada di mana-mana. Ada di Amerika, ada di Indonesia. Ada di zaman Kennedy, ada pula di zaman Susilo Bambang Yudoyono. Sikap optimis yang berlebihan, hanya akan membuat kita terbuai mimpi-mimpi palsu di siang bolong. Membuat kita amat kecewa, ketika kita sadar, bahwa kenyataan begitu berbeda dengan mimpi-mimpi kita.
Sikap Kristen yang benar, adalah sikap yang kritis dan realistis. Yaitu, kita tidak menjadi terlampau cepat puas atas sukses-sukses, dan lekas-lekas berpesta sementara musuh masih mengumpulkan kekuatan untuk kembali menyerang. Sikap kritis berarti sikap yang selalu waspada dan mawas diri. Yang ketika sebuah sukses kita capai, kita hanya boleh berhenti sebentar untuk menengok ke belakang sambil bertanya: apa yang salah untuk diperbaiki, apa yang baik untuk dikembangkan? Lalu segera melanjutkan perjalanan, meraih sukses-sukses selanjutnya.
Dan sikap realistis. Artinya, tidak terlampau mudah berputus asa, ketika kita berjumpa dengan kenyataan, bahwa hidup ini ternyata bukan sebuah jalan raya yang lebar, licin, mudah, dan indah. Tetapi, sebuah lorong sempit dan sulit, yang setiap jengkalnya menuntut perhatian dan usaha yang tidak sedikit.
Kita harus sanggup mengatakan: memang demikianlah hidup ini. Di sini dan di mana-mana. Sekarang ini, dan kapan pun juga. Betapa pun sulitnya, itulah satu-satunya hidup yang diberikan kepada kita. Ia harus kita hadapi.
Dalam sikap yang kritis dan realistis, bagaimanakah hidup di zaman Amos? Pendeknya, ada ketidakadilan sosial. Dimana orang miskin diinjak-injak dan orang-orang sengsara dibinasakan. Di mana orang kaya makin menjadi kaya, dan orang miskin makin menjadi miskin.
Keadaan bangsa kita hampir sama, yaitu ketika sekolah-sekolah dibuka bukan untuk orang yang mau belajar, tetapi hanya untuk orang yang mampu membayar. Ketika banyak orang banyak terkapar di ruang tunggu rumah sakit menunggu mati, dan beberapa orang hanya sakit mata pergi ke luar negeri. Ketika di desa-desa tertentu orang sulit berjumpa dengan nasi, tetapi di rumah-rumah mewah pun anjing makan daging sekilo setiap hari. Ya, ketika begitu banyak orang di negeri ini, yang sejak lahir sampai mati, menjadi objek pemerasan pejabat-pejabat yang selera dan kantongnya tak pernah terpuaskan.
Dengarlah saudara-saudara apa yang dikatakan Amos tentang para penindas. Apa yang dilakukannya, dan apa yang dipikirkannya setiap hari! Alangkah cocoknya itu dengan pengalaman banyak di antara kita di negeri tercinta ini.
Hidup mereka hanyalah diisi dengan menanti kesempatan untuk mencari untung. Bilakah lalu bulan baru, supaya kita boleh menjual gandum? Bilakah lalu hari Sabat, supaya kita boleh menawarkan terigu? Mereka bukan orang-orang yang tidak beragama. Mereka menghormati hari-hari raya dan hari-hari ibadat. Mereka menghormatinya, hanya agar tidak dikatakan murtad. Tetapi, sesungguhnya mereka membencinya karena hari ini dihitung sebagai rugi. Mereka ingin hari-hari itu cepat-cepat berlalu supaya mereka segera dapat kembali mengeruk untung. Satu jam sehari dalam seminggu berlagak suci. Tujuh kali 24 jam seminggu sisanya diisi dengan berbuat keji. Satu jam menyembah Tuhan, 23 jam menyembah uang. Itulah mereka.
Hidup mereka hanyalah dianggap sebagai kesempatan untuk berbuat curang. ”supaya kita boleh menawarkan terigu berbuat curang dengan neraca palsu. Supaya kita membeli orang lemah karena uang, dan orang miskin karena sepasang kasut. Dan menjual terigu rongsokan”.
Para penindas itu adalah orang yang sudah buta rohani. Kepandaiannya dipakai untuk menipu. Kekuatannya dipakai untuk menakut-nakuti. Kekuasaannya dipakai untuk menindas. Orang yang hanya peduli tentang dirinya sendiri. Menjadi parasit bagi sesamanya.
Untuk para penindas ini, Allah berkata: Bahwasanya Aku tidak akan melupakan untuk seterusnya perbuatanmu! Bahwa sementara ini, Allah membiarkannya, itu adalah karena kemahasabaran-Nya. Bahwa, sementara ini Allah memberi waktu, ini bukanlah kesempatan untuk kamu berbuat semata-mata. Ini adalah kesempatan untuk bertobat dan mengubah sikap. Tetapi, kalau kamu tak mau mempergunakan kesempatan ini pun baik, Aku tak dapat menunggu untuk selama-lamanya. Ada saatnya Aku akan datang, sehingga kamu yang besar dan tinggi seperti sungai Nil, akan berguncang dan surut seperti sungai Mesir. Ketika itu, menyesalpun sudah terlambat.
Untuk para penindas, Allah berkata: bahwasanya Kau tidak akan melupakan untuk seterusnya penderitaanmu! Bahwa semantara ini, Aku membiarkanmu, itu adalah karena Aku mempunyai rencana tertentu. Bahwa sementara ini, Aku seolah-olah berdiam diri tidak menolongmu, itu adalah karena Aku akan menetapkan waktu-Ku sendiri. Karena itu, bertahanlah! Kesempatan ini adalah untuk menunjukkan bukti, betapa kesetiaanmu kepada-Ku masih lebih besar dari pada cintamu kepada diri sendiri. Tentu semua ini tidak ringan. Itu pun Aku akui, tetapi tidak juga terlampau berat. Aku tidak pernah memberi kepada seseorang beban yang tak kuat ia pikul. Pikullah semua dengan ketaatanmu dan kesetiaanmu kepada-Ku. Bertekun dan berjalanlah terus! Karena Aku sudah bersumpah demi kebanggaan Yakub: berkat akan mengalir, dan keadilan bergulung-gulung seperti air!
Untuk kita yang ada di negeri tercinta ini, Allah berkata: bahwa Aku tidak akan melupakan untuk seterusnya perbuatan mereka! Karena itu berdirilah dan duduklah di pihak mereka yang tertindas. Temanilah mereka dalam kesunyiannya. Hiburkanlah dalam kesedihannya. Kuatkanlah dalam kelemahannya. Tumbuhkanlah selalu harapan di tengah keputusasaanya. Karena zaman penindasan ini tak akan berlangsung selama-lamanya.Katakanlah kepada para penindas itu apa pun pangkatnya dan siapapun orangnya: bahwa mereka telah menyalahgunakan kuasa dan kemampuan mereka. Untuk itu tidak ada kesalahan yang berlalu tanpa hukuman. Insyafkanlah mereka, betapun mereka tak mendengarkanmu!
HIDUP mereka hanyalah diisi dengan menanti kesempatan untuk mencari untung. Bilakah lalu bulan baru, supaya kita boleh menjual gandum? Bilakah lalu hari Sabat, supaya kita boleh menawarkan terigu? Mereka bukan orang-orang yang tidak beragama. Mereka menghormati hari-hari raya dan hari-hari ibadat. Mereka menghormatinya, hanya agar tidak dikatakan murtad. Tetapi, sesungguhnya mereka membencinya karena hari ini dihitung sebagai rugi. Mereka ingin hari-hari itu cepat-cepat berlalu supaya mereka segera dapat kembali mengeruk untung. Satu jam sehari dalam seminggu berlagak suci. Tujuh kali 24 jam seminggu sisanya diisi dengan berbuat keji. Satu jam menyembah Tuhan, 23 jam menyembah uang. Itulah mereka.
Hidup mereka hanyalah dianggap sebagai kesempatan untuk berbuat curang. ”Supaya kita boleh menawarkan terigu berbuat curang dengan neraca palsu. Supaya kita membeli orang lemah karena uang, dan orang miskin karena sepasang kasut. Dan menjual terigu rongsokan.”Para penindas itu adalah orang yang sudah buta rohani. Kepandaiannya dipakai untuk menipu. Kekuatannya dipakai untuk menakut-nakuti. Kekuasaannya dipakai untuk menindas. Orang yang hanya peduli tentang dirinya sendiri. Menjadi parasit bagi sesamanya.
Untuk para penindas ini, Allah berkata: Bahwasanya Aku tidak akan melupakan untuk seterusnya perbuatanmu! Bahwa sementara ini, Allah membiarkannya, itu adalah karena kemahasabaran-Nya. Bahwa, sementara ini Allah memberi waktu, ini bukanlah kesempatan untuk kamu berbuat semata-mata. Ini adalah kesempatan untuk bertobat dan mengubah sikap. Tetapi, kalau kamu tak mau mempergunakan kesempatan ini pun baik, Aku tak dapat menunggu untuk selama-lamanya. Ada saatnya Aku akan datang, sehingga kamu yang besar dan tinggi seperti sungai Nil, akan berguncang dan surut seperti sungai Mesir. Ketika itu, menyesalpun sudah terlambat.
Dirgahayu Republik Indonesia