Di malam Natal tahun 1948, salju turun terus-menerus, berputar, dan bergerak di sekeliling truk pembuangan sampah saya yang sudah tua saat saya menyetir menuju Gunung West Virginia. Salju sudah turun berjam-jam dan kedalamannya telah mencapai 20 hingga 25 cm. Tugas saya saat itu adalah mengantarkan batu bara untuk para penambang yang tinggal di perkampungan batu bara. Saya selesai lebih cepat dari waktu yang seharusnya dan sedang dalam perjalanan pulang.
Saat saya berjalan ke arah rumah, ayah tiri saya melambaikan tangan. Ia memberitahukan saya ada seorang ibu dengan tiga anaknya yang tinggal kira-kira 10 kilometer ke arah pegunungan. Suami ibu tersebut meninggal beberapa bulan yang lalu -- meninggalkan istri dan anaknya dalam keadaan melarat. Sesuai kebiasaan penduduk setempat yang saling menjaga satu sama lain, para penambang telah mengumpulkan beberapa kotak makanan kering, pakaian, dan hadiah-hadiah yang mereka minta agar saya antarkan bersama batu bara dalam jumlah besar untuk keluarga tersebut.
Percayalah, saya sebenarnya tidak ingin pergi. Terus terang saja, saya sudah bekerja keras sepanjang hari ini, sedangkan sekarang malam Natal dan saya ingin pulang untuk berkumpul bersama keluarga saya. Tetapi begitulah -- karena sekarang malam Natal, saatnya untuk memberi dan berbuat baik. Dengan pemikiran seperti itu, saya memutar truk dan menyetir menuju alat pengisi batu bara untuk mengisi truk. Saat kembali, jok depan serta seluruh sudut dan celah truk, saya penuhi dengan kotak-kotak. Akhirnya saya siap berangkat.
Di bukit West Virginia, masyarakat setempat membangun rumah di lokasi-lokasi yang cukup sulit dijangkau. Nah, rumah ibu ini sungguh sulit dijangkau. Saya harus menelusuri jalanan yang tak pernah didatangi departeman perhubungan, bahkan penunjuk arah pun tidak ada. Saya menyetir menuju bukit seperti telah mendapat penunjuk arah dan berbalik keluar dari jalan menuju lembah yang bernama Lick Fork. "Jalanan" itu sebebarnya sungai kecil yang diselimuti salju. Ketika saya melihatnya, saya mulai ragu-ragu apakah bisa melalui jalan tersebut. Meskipun demikian, saya memasukkan persneling gigi satu dan melaju.
Ketika saya sampai 1,6 kilometer lebih jauh dari tempat yang seharusnya saya putari untuk menuju gunung -- rumah ibu tersebut -- semangat saya runtuh. Di depan saya, jalan kecil yang berkelok yang menghubungkan sisi gunung telah terputus. Saya masih belum bisa melihat di mana rumah ibu itu. Saya memundurkan mobil dan berbalik ke arah sebelumnya. Setelah memerhatikan situasi, saya menyadari tidak ada jalan lain bagi saya untuk membawa truk seberat 2 ton melalui jalur ini.
"Apa yang harus saya lakukan?" pikir saya. Mungkin lebih baik saya menaruh batu bara di sini dan meminta keluarga ibu itu datang ke sini mengambil makanan dan pakainan ini. Jadi saya keluar dan berjalan menyusuri jalan kecil tersebut. Hari menjelang malam, suhu terus menurun, dan salju melayang menimbuni jalanan.
Lebar jalan kecil itu kira-kira 2 meter, di sisi jalan ranting-ranting ditutupi salju dan dipenuhi dahan dan kayu pohon. Akhirnya saya bisa melihat dengan jelas di mana letak rumah yang dicari -- pondok kecil dengan dinding yang tipis dan retak. Saya berteriak memanggil ibu itu agar keluar dari rumah, menjelaskan mengapa saya ada di sana, dan menanyakan apakah ia tahu cara untuk membawa makanan dan batu bara. Ia menunjukkan ke arah sebuah kereta dorong buatan beroda satu.
Di sinilah saya, kaki saya terbenam di salju setinggi 25 cm dengan sebuah truk yang sudah harus saya kosongkan muatannya sebelum hari gelap, di jalan kecil yang tidak bisa dilewati, dan sebuah kereta dorong beroda satu. Satu-satunya solusi yang bisa saya lakukan adalah memutar truk, memundurkannya sedemikian rupa agar saya bisa menurunkan batu bara dan kotak-kotak hadiah keluar.
Saat saya kembali ke dalam truk, saya terus bertanya-tanya, "Tuhan, apa yang sedang saya lakukan di sini?"
Saya menyalakan mesin, memutar truk tua saya, dan menyetir mundur. Truk tua saya mundur perlahan menyusuri jalan kecil tadi. Saya terus berkata pada diri sendiri, "Aku akan terus berjalan sampai benar-benar tidak bisa bergerak lagi."
Namun, truk saya seperti memiliki pemikiran sendiri. Tiba-tiba saat saya duduk di tengah kegelapan dengan nyala lampu belakang di tengah salju, terlihat pondok kecil. Saya tercengang. Truk tua saya sama sekali tidak tergelincir satu sentimeter pun atau terperosok ke dalam salju. Dan, berdiri di depan beranda, di hadapan empat orang paling bahagia yang pernah saya lihat.
Saya memindahkan semua kotak dan mengeluarkan batu bara, menyekop batu bara sebanyak yang bisa ke beranda pondok yang melengkung. Setelah saya selesai, ibu tersebut menggenggam erat tangan saya sambil terus-menerus mengucapkan terima kasih.
Setelah mengucapkan kata-kata perpisahan, saya masuk ke dalam truk dan berjalan kembali. Kegelapan mungkin menguasai saya. Namun, setelah mencapai jalan besar, saya menghentikan truk dan melihat ke belakang, ke arah jalan kecil tadi. "Tidak mungkin," ujar saya kepada diri sendiri, "saya bisa memutar balik truk ini menuju gunung, melalui salju tebal, di tengah kegelapan, tanpa bantuan seorang pun."
Saya dibesarkan oleh orang tua saya untuk selalu memuji Tuhan. Saya juga percaya dengan kelahiran Anak Allah. Dan di malam Natal itu, di bukit West Virginia, saya tahu saya telah menjadi alat Allah untuk memberi arti Natal yang sebenarnya.
Diambil dan disunting seperlunya dari:
Judul buku | : | Guideposts bagi Jiwa: Kisah-Kisah Iman Natal |
Judul asli buku | : | Guideposts for The Spirit: Christmas Stories of Faith |
Penulis | : | H. N. Cook |
Penerjemah | : | Mary N. Rondonuwu |
Penerbit | : | Gospel Press, Batam 2006 |
Halaman | : | 294 -- 299 |