Kamis, 28 Agustus 2014

Iman dan keraguan

Berikut adalah tanya jawab dengan Philip Yancey tentang persoalan iman dan keraguan dalam kehidupan seorang Kristen.
Anda berbicara secara terbuka tentang keraguan Anda, sedangkan banyak orang Kristen cenderung untuk tidak membicarakannya.
Keraguan adalah sesuatu yang dialami oleh hampir setiap orang di titik-titik tertentu dalam hidupnya, namun hal ini merupakan sesuatu yang tidak selalunya ditangani dengan baik oleh gereja. Saya penganjur keraguan, karena itulah alasan mengapa saya pada awalnya menjadi seorang Kristen. Saya mulai meragukan beberapa hal gila yang diajarkan oleh gereja tempat saya bertumbuh! (Saya harus katakan bahwa gereja saya pada waktu itu, gereja yang paling tidak sehat!)
Saya juga terkesan bahwa Alkitab mencantumkan banyak contoh-contoh keraguan. Yang jelas, Allah lebih menolerir keraguan ketimbang kebanyakan gereja. Saya mau mendorong mereka yang ragu, dan juga mendorong gereja untuk menjadi tempat yang menghargai kejujuran dan bukannya menghukumnya.
Banyak orang yang coba untuk beriman, tapi akhirnya menjadi kecewa dengan Allah. Apa yang Anda katakan kepada orang-orang yang begini?
Saya akan berkata, saya punya buku yang tepat bagi Anda, buku yang saya tulis, "Kekecewaan dengan Allah!" Hanya bercanda.
Pertama, saya akan memberitahu mereka bahwa mereka mempunyai kesamaan dengan banyak orang. Saat saya berbicara kepada siswa-siswa di perguruan tinggi, saya menantang mereka untuk mencari satu argumen menentang Allah di dalam tulisan para agnostik dari waktu dulu (Bertrand Russel, Voltaire, David Hume) atau yang lebih baru (Richard Dawkins, Christopher Hitchens, Sam Harris) yang tidak ditemukan di dalam Mazmur, Ayub, Habakuk dan Ratapan.
Saya sangat menghormati seorang Allah yang bukan saja memberikan kepada kita kebebasan untuk menolak dia, tapi juga mencantumkan argumen yang bisa kita pakai untuk menolak dia di dalam Kitab Suci. Sebenarnya, Allah itu kelihatannya bisa menolerir keraguan.
Apakah ada bahaya tidak menghadapi keraguan kita?



Waktu kecil, saya bergabung dengan gereja yang tidak punya ruang untuk rasa ingin tahu. Jika Anda meragukan atau mempersoalkan sesuatu, Anda berbuat dosa. Saya belajar untuk menyesuaikan diri. Sementara itu, keraguan yang di hati, pertanyaan yang di hati, tidak terjawab secara memuaskan. Bahaya gereja sedemikian - dan memang terdapat banyak gereja yang begini - yang berkata, "Jangan meragukan, percaya saja," akibatnya Anda tidak menuntaskan keraguan. Keraguan yang tak dituntaskan ini cenderung untuk muncul dalam bentuk yang sangat mematikan.



Sifat ingin tahu dan bertanya adalah bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan beriman. Saat ada kepastian, tidak ada ruang untuk iman. Saya mendorong orang untuk tidak memupuk keraguannya sendirian, tapi carilah orang yang merupakan "teman untuk sama-sama meragukan" yang aman, dan juga untuk meragukan keraguan mereka sebagaimana mereka meragukan iman mereka. Namun sangat tidak membantu untuk sekadar menyangkal keraguan atau merasa bersalah karenanya. Bukankah banyak orang yang telah mengikuti jalur ini dan telah berhasil keluar darinya malah dengan iman yang kuat.



Anda berbicara tentang orang yang berada di dalan "perbatasan-perbatasan antara percaya atau tidak" - siapakah mereka?



Orang yang mempunyai firasat yang kuat bahwa terdapat sesuatu yang nyata tentang hal spiritual, tapi yang masih belum menemukan hal itu direalisasikan dengan berhasil di dalam lingkungan gereja. Mereka dengan perasaan curiga mengitari gereja bertanya-tanya, "Apakah ada Allah? Bagaimana saya bisa tahu? Apa yang akan menjadi dampaknya di dalam kehidupan saya?"





Dan Anda menulis sebuah buku, "Buku Pedoman menuju Iman bagi seorang Skeptis?"



Saya bertemu dengan banyak orang Kristen yang bergereja yang akan menemukan kesulitan untuk mengungkapkan mengapa mereka percaya. Mungkin iman telah menjadi sebagian dari pertumbuhan mereka, atau mungkin mereka menemukan bahwa gereja itu suatu tempat yang menyegarkan untuk dikunjungi pada akhir pekan. Tapi jika diminta untuk menjelaskan iman mereka kepada seorang Muslim, atau seorang ateis, mereka tidak tahu apa yang harus dikatakan. Sebenarnya, saya sendiri juga terpikir: "Apa yang akan saya katakan?" Pertanyaan ini yang mendorong saya menulis buku ini, bukan untuk menyakinkan orang lain tapi untuk menyuarakan hal ini dengan harapan saya sendiri tiba pada pengertian akan iman saya sendiri. Apakah iman religus masuk akal di dunia teleskop angkasa Hubble dan Internet? Apakah kita sudah mengetahui dasar-dasar kehidupan atau masih ada bahan penting yang luput dari perhatian kita? C.S Lewis menulis sebuah buku yang menakjubkan berjudul Mere Christianity, dan saya telah pergi lebih jauh dengan, Even More Mere Christianity.



Jurang besar yang memisahkan kepercayaan dan ketidak-percayaan pada dasarnya terletak pada suatu pertanyaan yang sederhana: Apakah yang ada hanya dunia yang kasat mata itu? Mereka yang tidak pasti akan jawabannya hidup di daerah perbatasan. Mereka bertanya-tanya apakah iman pada dunia yang tidak kelihatan itu hanya suatu khayalan? Apakah iman telah menipu kita sampai kita melihat pada suatu dunia yang tidak eksis, atau apakah iman kitalah yang telah menyingkapkan keberadaan suatu dunia yang tanpanya kita tidak dapat melihatnya.



Apakah masuk akal untuk orang berada di daerah perbatasan antara percaya atau tidak?



Saya tidak pasti apakah orang yang hidup di perbatasan ini meluangkan banyak waktu merenungkan apakah posisi mereka itu masuk akal. Mereka hidup di daerah perbatasan antara percaya dan tidak karena mereka merasakan suatu realitas spiritual namun tidak merasa nyaman untuk komit pada suatu struktur religius.



Ada juga yang telah dilukai oleh gereja - saya banyak mendengar dari orang demikian - dan ada yang menemukan hidup bergereja suatu pengalaman yang aneh, hampir seperti suatu sub-budaya yang berbeda. Sejujurnya, saya bersimpati dengan orang-orang ini, karena ada kalanya saya juga menemukan diri saya di dalam keadaan yang sama. Bagaimanapun, saya mendorong orang untuk keluar dari daerah perbatasan ini. Iman yang sejati tidak dapat diterapkan terpisah dari orang lain. Kita membutuhkan suatu komunitas dan tradisi.



Terdapat begitu banyak agama lain, banyak yang menegaskan inspirasi ilahi, mengapa orang harus serius menanggapi klaim Kekristenan bahwa Yesus adalah satu-satunya jalan kepada Allah?



Satu-satunya cara untuk dengan serius menanggapi klaim ini adalah untuk meneliti orang yang berhasil melakukannya: Yesus. Orang seperti apakah dia? Apakah dia seorang egois? Delusi? Dapat dipercaya? Ada sesuatu tentang Yesus yang membuat orang meninggalkan pekerjaan dan keluarga mereka untuk mengikuti dia berkeliling di tanah Palestina. Sesuatu tentang dia yang membuat sepertiga dari umat manusia di planet ini berikrar setia kepadanya. Saya telah melihat pada banyak bukti dan menyimpulkan bahwa Yesus adalah siapa yang dia katakan, ungkapan manusia dari Allah yang tidak kelihatan. Saya ingat akan suatu kalimat dari Uskup Anglikan Michael Ramsey: "Di dalam Allah tidak ada ketidak-serupaan dengan Kristus sama sekali." Itu adalah cara abstrak untuk berkata, jika Anda ingin mengetahui seperti apa Allah itu, pandanglah pada Yesus. Kombinasi kualitas - kegalakan namun belas kasihan, keyakinan yang mutlak, namun kerendahan hati, kecerdasan namun kesederhanaan - saya tidak menemukan di manusia yang lain. Bagi saya, Yesus adalah penunjuk jalan yang dapat dipercaya.



Apa peran perasaan di dalam iman?



Suatu peran yang besar. Saya melihat iman bukan sebagai suatu persetujuan intelektual pada serangkaian konsep, tapi sebagai suatu relasi dengan Allah yang hidup. Perasaan secara mendalam mempengaruhi setiap hubungan. Contohnya, saya sudah bernikah selama 4 dekade. Sebutkan perasan apa saja, baik atau buruk, dan saya kemungkinan sudah merasakannya dalam hubungan dengan istri saya. Namun, komitmen pada pernikahan mengikat saya pada dia tanpa mengira apa perasaan saya setiap momen. Saya mengakui ada waktunya saya bertindak seolah-olah saya mengasihi dia padahal perasaan mungkin tidak demikian. Itu sesuatu yang lazim di dalam setiap hubungan jangka panjang.



Anda hanya perlu membaca kitab Mazmur untuk melihat pola hubungan yang sama dengan Allah. Mazmur dulunya membingungkan saya karena sepertinya penuh pertentangan, baca Mazmur 22 (Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan aku?") dan Mazmur 23 (Tuhan adalah gembalaku"). Sangat bertentangan! Sekarang saya melihat koleksi puisi itu sebagai ungkapan yang tepat akan perasaan yang berubah-ubah di dalam suatu hubungan iman.



Mengapa tidak banyak orang Kristen yang dengan jujur dan terbuka berbicara mengenai keraguan?



Orang Kristen cenderung menjadi propagandis. Kita mau menampilkan yang terbaik, menginspirasi. Dan kita juga cenderung untuk mengabaikan Perjanjian Lama, yang mengandung banyak pertanyaan (dan orang yang bertanya). PL membuktikan bahwa Allah menghargai orang yang bertanya. Ingat, Ayub yang marah-marah akhirnya muncul sebagai pahlawan di dalam buku itu, bukan teman-temannya teolognya yang berusaha membenarkan Tuhan.



Saya menangani persoalan yang dipikirkan orang tapi tidak diungkapkan. Gereja ada kalanya menghukum orang yang mengakui kelemahan dan kegagalan mereka, dan masyarakat kita condong menolak penderitaan. Jadi, orang Kristen terbiasa untuk bersembunyi di balik tirai tipis keceriaan, padahal mereka secara tersembunyi sakit dan ragu. Mungkin buku saya dapat menyediakan kelegaan bagi mereka untuk melihat seseorang yang benar-benar mengungkapkan rasa sakit dan keraguan secara tertulis.



Lima belas tahun yang C.S Lewis lewati sebagai seorang ateis memberikan pengertian dan belas kasihan bagi mereka yang menemukan kesulitan untuk beriman. Saya tidak menghabiskan 15 tahun sebagai seorang ateis, tapi saya memang melewati periode penolakan. Saya juga berempati dengan orang yang tidak mudah beriman. Saya harus mengambil setiap kepercayaan saya dan membedahnya untuk melihat apakah saya dapat menerimanya. Saya senang menangani pertanyaan, dan menulis memberi kepada saya kesempatan itu.



Bagaimana Anda merasakan Roh Kudus berkerja lewat Anda saat Anda menulis?



Perjanjian Baru memakai kata 'Konselor" bagi Roh Kudus di suatu tempat dan "Penghibur" di tempat lain. Kedua kata itu memberikan suatu petunjuk. Seorang konselor yang baik tidak memberikan perintah atau bahkan memberikan nasehat yang langsung. Malahan, seorang konselor yang bijak akan berhasil membuat orang yang dikonseling itu meresponi.



Hampir tidak pernah saya duduk di meja saya, berdoa dan mendapatkan suatu penglihatan tentang apa kata atau pemikiran yang harus saya tulis. Bagaimanapun, seringkali saya tahu minggu depan saya harus menyampaikan sesuatu atau menulis suatu artikel, dan dengan cara yang diam-diam, saya akan memerhatikan hal-hal yang tidak akan saya perhatikan biasanya, atau melihat sesuatu yang akan membantu saya. Apakah mungkin Roh yang sedang bekerja di sini? Roh berkerja tanpa terlihat dan tanpa diperhatikan. Dan selalu saja Roh bekerja dengan cara yang sesuai dengan seseorang. Seorang penghibur juga melakukan itu.



Menurut Anda, mengapa begitu banya orang Kristen yang meghindar untuk dengan serius meneliti iman mereka, tapi lebih memilih untuk menerima saja ajaran Gereja tanpa banyak tanya?



Kemalasan mungkin suatu alasan. Rasa takut juga. Banyak orang Kristen yang takut untuk melihat dengan terlalu dekat pada iman mereka. Seperti Petrus, mereka takut untuk melangkah keluar dari perahu. Dan ada gereja yang mendorong mentalitas, "Biar gereja yang berpikir bagi Anda" sebagai semacam bentuk kontrol. Itu selalu merbahaya. Saya membaca kemarin bahwa 153 kali seseorang itu datang kepada Yesus di Kitab Suci dengan suatu pertanyaan, dan 147 kali, dia menjawab dengan pertanyaan yang lain. Satu model yang cukup bagus, bukankah demikian?



Apa yang membuat Anda bertahan dalam iman Kristiani padahal berasal dari latar belakang gereja yang tidak sehat?



Pertanyaan yang bagus. Mengapa kita semua bertahan? Kita merasakan suatu kelaparan bagi makna, suatu realisasi bahwa hidup ini harus mempunyai suatu arti pada akhirnya, dan bahwa jika Allah ada, maka respon yang alamiah adalah untuk menjalin kontak dengannya. Sebagai seorang journalis, saya menemukan jalan saya kembali pada iman karena orang yang paling berdampak bagi saya bukanlah "bintang-bintang", orang yang selalu tampil di dalam koran atau majalah, tapi malahan "pelayan-pelayan" yang berkerja di balik layar, yang berkorban demi memenuhi kebutuhan orang lain. Saat saya mengenal beberapa dari orang-orang ini, hampir di dalam setiap kasus, iman Kristianilah yang merupakan pendorong bagi tindakan mereka.



Survei di Inggris menunjukkan bahwa empat dari lima orang berkata bahwa gereja itu membuat orang menjauhi Kekristenan dan bukannya membuat orang tertarik. Apakah hal ini mengagetkan Anda?



Saya juga telah melihat hasil dari survei tersebut, yang mencerminkan pola yang saya lihat dari surat-surat yang saya terima dari Inggris. Bagi banyak orang, gereja terbukti menjadi penghalang jalan untuk mengenal Allah, yang salah menggambarkan atau menyimpangkan Allah. Contohnya, di dalam Injil, orang yang bermoral dan benar merasa terancam karena Yesus, padahal orang-orang yang terpinggir dan ditolak masyarakatlah yang mendekat pada dia.



Gereja telah membalikkan pola ini. Mengapa? Dan apa yang dapat kita lakukan? Saya berada di pihak gereja, bukan musuhnya, tapi saya berusaha untuk dengan jujur menangani fakta yang kentara ini, bahwa kita yang ada di gereja tidak sedang menyalurkan kasih, pengampunan dan kasih karunia yang merupakan intisari pesan dari Yesus.



Dengan memandang ke belakang, apakah menurut Anda pengenalan yang "jelek" akan Kekristenan lebih baik dari sama sekali tidak mengenal Kekristenan?



Saya tidak tahu bagaimana menjawab itu. Saya menghabiskan hidup saya membersihkan apa yang telah tercemar. Saya masih harus mengalahkan banyak hal. Di sisi lain, saya mempunyai dasar kuat di dalam Alkitab, dan bertemu dengan orang Kristen yang dalam banyak hal sangat mengesankan. Saya masih ingat membaca esai dari C.S Lewis di mana dia menggambarkan perbedaan di antara memacari seorang anak dara dan seorang janda. Seorang janda sudah pernah mendengar semua rayuan yang disampaikan, dan telah membangun suatu penolakan dan mungkin akan bersifat sinis. Dalam hal Kekristenan, Eropa Barat jauh lebih mirip seorang janda ketimbang seorang anak dara. Dalam mengunjungi negara-negara yang sedang berkembang, saya menemukan orang-orang di sana mendengar tentang iman Kristen tanpa prasangka dan penolakan yang ada di Eropa Barat. Bagi mereka, Injil terdengar seperti kabar baik.



Saya menyamakan gereja di dunia ini dalam tahap-tahap pernikahan yang berbeda. Beberapa gereja masih menunjukkan tanda-tanda berada di tahap "bulan madu". Beberapa gereja - termasuk di Amerika - lebih mirip dengan pasangan yang sudah bernikah lama. Kami sudah melihat semuanya, mendengar semunya, tapi masih mengasihi tapi tanpa kegairahan. Di tempat-tempat lain, termasuk Eropa Barat, gereja sudah bercerai dari iman.



"Pertanyaan mengapa iman tidak seperti yang seharusnyal" sudah lama menggangu Anda?



Yang saya maksudkan adalah mengapa gereja tidak terlihat lebih seperti Yesus? Mengapa begitu banyak orang yang puas hanya untuk hidup seperti orang lain melainkan pada hari Minngu mereka mengenakan pakaian yang tidak nyaman dan duduk di kerusi yang tidak nyaman untuk satu jam? Tentunya, kedatangan Yesus ke bumi bukan untuk ini!



Jadi apa jawabnya!?



Saya tidak sesungguhnya memiliki jawabannya. Yang dapat saya lakukan adalah untuk meneliti hidup saya sendiri. Kita tidak seharusnya kaget bahwa gereja itu mengecewakan - yang pasti surat-surat Paulus dan kitab Wahyu tidak menggambarkan gereja tanpa cacat. Pada waktu yang bersamaan, kita tidak berani untuk tidak terus menunjukkan yang ideal dan bertanya mengapa kita gagal.



Apakah kurangnya fokus pada keadilan sosial satu alasan mengapa Injil tidak seperi yang seharusnya?

Secara historis, ini memang benar. Berabad-abd, gereja terlibat erat dengan pemerintah dalam suatu sistem yang menganjurkan ketidak-adilan. Bekas-bekas luka itu sangat sulit untuk dihilangkan. Pikirkan saja revolusi kejam di Perancis dan kemudian di Rusia, kebencian yang timbul terhadapa gereja lewat revolusi tersebut. Pikirkan juga tentang China yang diserbu oleh Inggris yang Kristen dengan memaksakan candu pada negara itu. Sangat sulit untuk membangun kembali kepercayaan saat gereja telah berpihak dengan pihak yang menindas.

Di waktu yang bersamaan, penerimaan akan Kekristenan oleh Afrika dan orang Afrika di Amerika merupakan suatu mukjizat kasih karunia yang besar. Entah bagaimana Roh Kudus berhasil mencari jalan untuk mengatasi suatu kekeliruan terbesar gereja.



Menurut Anda, apa peran penderitaan di dunia ini?

C. S. Lewis memanggilnya "alat pengeras suara rasa sakit". Kesakitan jasmani menggangu rutinitas kehidupan kita dan memaksa kita untuk memberikan perhatian pada tuntutan tubuh jasmani. Jika saya punya sesuatu di mata saya, saya harus mengeluarkannya. Mungkin penderitaan melakukan hal yang sama di dalam konteks yang lebih luas.

Contohnya, tragedi 11 September di Amerika. Peristiwa itu mendatangkan dampak yang sangat mendalam pada bangsa kita. Orang berbondong-bondong ke gereja karena mereka membutuhkan penghiburan dan jawaban. Kita menemukan pahlawan yang baru: pegawai pemadam kebakaran dan polisi yang mengorbankan nyawa bagi orang lain. Kita menjadi sadar akan ketergantungan kita pada dunia dan kita dilayani oleh pemimpin begitu banyak negara yang menawarkan dukungan. Pola yang sama terlihat di dalam keluarga, kelompok, gereja. Seperti pengeras suara, penderitaan itu membuat hidup kita terhenti sejenak dan membalikkan perhatian kita pada hal-hal yang benar-benar penting. Ada yang mengabaikan pengeras suara atau megafon ini dan ada yang memberi perhatian.

Jika Anda dapat meneriakkan satu hal bagi orang Kristen di Amerika, apa yang akan Anda serukan?

Saya memikirkan kembali pada suatu kutipan dari Ireneus, seorang teolog gereja awal: "Kemuliaan Allah adalah seorang yang benar-benar hidup," katanya. Banyak orang Kristen yang menjalani kehidupan sebagai semacam orang yang hanya 50% atau 70% hidup. Saya sepenuhnya menyakini bahwa Yesus datang untuk menunjukkan kepada kita bagaimana untuk menjalani suatu kehidupan yang penuh. Saya tidak dapat membayangkan seorang yang mengikuti Yesus dan dengan sedih mengeleng-gelengkan kepalanya dan berkata, "Kasihan, dia kehilangan begitu banyak hal." Justru, orang-orang yang benar-benar mengikuti Yesus itulah yang mengasihani mereka yang tidak itu karena merekalah yang kehilangan banyak hal!

Siapa itu Yesus - bagi orang yang hidup hari ini? Dan bagi Anda?

Secara sederhana, Yesus adalah jembatan di antara Allah dan manusia. Dia datang untuk menunjukkan kepada kita seperti apa Allah itu, dan pada waktu yang bersamaan menunjukkan kepada kita bagaimana kita seharusnya hidup - sebagai anak-anak Allah. Dia datang untuk memproklamirkan pesan radikal bahwa Alalh tidak hanya mengasihi orang yang baik - setiap agama mengklaim itu- tapi juga orang-orang berdosa. Kisah Alkitab pada intinya adalah, Allah menyambut kembali keluarganya, dengan tangan yang terbuka seperti bapa yang kehilangan anaknya.

Saya mendengar dari begitu banyak orang yang menderita yang bertanya pada saya apa perasaan Allah tentang mereka yang sedang sengsara. Saya mengarahkan mereka pada Yesus. Kita tahu secara persis apa perasaan Allah karena Allah telah memberikan kita suatu wajah, dan kita dapat melihat bagaimana Yesus menghibur seorang janda yang telah kehilangan anaknya yang satu-satu, menyembuhkan bahkan anak seorang prajurit Romawi yang sedang menjajah negaranya, memulihkan orang buta, yang lumpuh dan yang sakit kusta. Di waktu yang bersamaan kita mempunyai suatu gambaran grafis - suatu gambaran lewat kata-kata- tentang kehidupan yang bagaimana yang harus kita jalani, suatu kehidupan yang sama seperti Yesus.

Yang paling mengagumkan dari semunya, orang-orang Kristen percaya bahwa Yesus masih hidup, kita sedang diubah oleh Roh Allah yang menerima kita dengan segala rahasia kita dan secara perlahan-lahan mengubah kita menjadi seorang yang sama seperti dia. Para sejarahwan menggarisbawahi efek Yesus pada sejarah, dan bahkan orang yang tidak mengakui Yesus harus mengakui bahwa tidak ada manusia lain yang punya dampak yang sedemikian besar. Sebagai seorang journalis saya melihat secara pribadi transformasi pencandu narkoba dan narapidana, bagaimana orang kaya merendahkan diri merawat orang yang terpinggirkan, doktor-doktor meninggalkan kenyamanan hidup untuk melayani yang membutuhkan. Yesus, adalah janji Allah bahwa tidak kira apa yang kita lakukan, kita dapat diampuni dan tidak kira siapa kita, kita dapat ditransformasi.

Setelah lama mengitari iman, apa yang membuat Anda akhirnya percaya?

Saya mengakui ada waktuya saya seorang Kristen yang enggan, dihantui oleh keraguan dan masih belum sepenuhnya pulih dari pengalaman buruk dengan gereja. Saya sepenuhnya sadar akan semua alasan untuk percaya.

Lalu, apa yang saya percayai? Dulu, waktu saya skeptis, saya maukan suatu intervensi dramatis dari atas. Saya menginginkan suatu bukti akan realita yang tidak kelihatan, suatu hal yang dapat diuji. Namun, sebagai orang beriman sekarang, hal yang supernatural kelihatan jauh tidak penting, karena saya menemukan penjelasan materialistis akan kehidupan tidak memadai untuk menjelaskan realita.

Saya sudah belajar untuk melihat pada kontak yang lebih tersembunyi di antara dunia yang kelihatan dan yang tidak kelihatan. Saya merasakan di dalam cinta romantis sesuatu yang tidak dapat dijelaskan dengan daya tarik biokimia. Saya merasakan di dalam alam dan keindahannya tanda-tanda seorang pencipta yang genius yang secara natural memancing respon dari saya. Saya merasakan di dalam keinginan, termasuk berahi seksual, tanda-tanda yang kudus mendambakan kontak. Saya merasakan di dalam belas kasih, kemurahan, keadilan dan pengampunan suatu kualitas kasih karunia yang berbicara kepada saya tentang dunia yang lain, terutamanya di tempat-tempat yang saya kunjungi, seperti Rusia, di mana semua hal itu telah terhilang. Saya merasakan pada Yesus suatu pribadi yang secara konsisten hidup di dalam kualitas itu sampai dunia tidak dapat menolerirnya dan harus mendiamkan dan menyingkirkan dia. Saya dapat melanjutkan terus. Singkat kata, saya percaya bukan karena dunia yang tidak kasat mata itu dengan lantang berbicara tapi karena dunia yang kasat mata ini membisikkan akan suatu ketidak-lengkapan.


(Philip Yancey adalah penulis buku-buku best-seller termasuk Where is God when it Hurts; What's So Amazing About Grace; Dissapointment with God; The Bible Yesus read; What Good is God dll.)