Perjamuan terakhir yang dibagikan oleh Yesus bersama murid-murid-Nya
adalah perjamuan Paskah. Walaupun sebagian pakar Perjanjian Baru mempertanyakan
hal ini, bukti-bukti yang terdapat di dalam Matius, Markus dan Lukas sangatlah
meyakinkan.
Sebagai contoh, perhatikan bahwa ketiga Injil
sinoptik memakai sebuah istilah Ibrani yang lazim ditemukan dalam literatur
rabi-rabi Yahudi kuno: "eat the Passover" (Mat 26:17; Mar. 14:12; Luk. 22:11),
yang merupakan istilah yang mengacu pada Jamuan Paskah (Seder), di mana jamuan
tersebut mencakup acara makan domba Paskah, "Ketika tiba saatnya, Yesus duduk
makan bersama-sama dengan rasul-rasul-Nya. Kata-Nya kepada mereka: "Aku sangat
rindu makan Paskah ini bersama-sama dengan kamu, sebelum Aku menderita" (Luk
22:14).
Pada perjamuan tersebut, Yesus menyampaikan
ucapan yang nantinya dibakukan di dalam lingkungan umat
Kristen:
"Dan ketika mereka sedang makan, Yesus mengambil
roti, mengucap berkat ke atasnya,
memecah-mecahkannya lalu memberikannya kepada murid-murid-Nya dan berkata,
"Ambillah, makanlah, inilah tubuh-Ku." (Mat 26:26)
Ada tiga pertanyaan penting yang bisa diajukan
dari kutipan ayat ini:
1. Apa dasar alkitabiah bagi tindakan Yesus yang
mengucapkan doa berkat sebelum makan?
2. Mengapa kata it (nya) dicetak miring
dalam terjemahan versi King James?
3. Apa pengaruh peristiwa ini terhadap kebiasaan
umat Kristen yang berdoa sebelum makan?
Pertama, jika kita telusuri Alkitab yang dipakai
di zaman Yesus (yakni Perjanjian Lama berbahasa Ibrani), kita tidak akan
menemukan satupun perintah untuk berdoa sebelum makan. Rujukan yang paling
mendekati adalah yang terdapat di dalam Ulangan 8:10: "Dan engkau akan makan dan
akan kenyang, maka engkau akan memuji TUHAN, Allahmu, karena negeri yang baik
yang diberikan-Nya kepadamu itu".
Perhatikan bahwa, ternyata, perintah itu
menyuruh kita mengucapkan syukur setelah makan, bukan sebelumnya - dan ini
adalah tradisi yang masih dijalankan oleh umat Yahudi yang taat beribadah, yakni
dalam doa Birkat Hamazon (Ucapan Syukur Setelah
Makan)
Sebenarnya, dasar tindakan Yesus mengucapkan syukur sebelum
makan itu bukan dari dalam Alkitab, melainkan dari tradisi. Dia menghormati
tradisi yang diawali oleh para rabi dan kemudian dipelihara oleh orang-orang
Farisi. Pertimbangan mereka adalah: Kita memang diperintahkan untuk mengucapkan
syukur setelah makan, tapi mari kita melangkah lebih dari perintah tertulis di
dalam hukum Taurat di dalam menyatakan rasa terima kasih kita, mari kita ucapkan
syukur sebelum makan.
Kedua, perhatikan bahwa doa syukur yang
diperintahkan itu ditujukan kepada Allah dan bukan kepada makanan itu sendiri.
Fokus kepada Allah dilestarikan dalam dalam doa sebelum makan [di kalangan
Farisi]: "Terpujilah Engkau Tuhan, Allah kami, Raja alam semesta… yang
memberikan roti dari bumi."
Para penerjemah Alkitab dari Inggris di abad
ke-17 tidak terbiasa dengan tradisi-tradisi Yahudi abad pertama. Dengan
mengambil tradisi sakramen dari Gereja Inggris dan Katholik Roma, mereka
menganggap bahwa Yesus mengambil roti lalu memberkati roti itu, mengambil cawan dan memberkati
cawan itu juga.
Kata it (nya) dicetak miring di dalam
Matius 26:26 di versi KJV karena kata tersebut tidak terdapat di dalam naskah
Yunaninya, melainkan hanya merupakan hasil pengembangan dari para penerjemah.
Terjemahan harfiah dari ayat tersebut berbunyi, "Yesus mengambil roti dan
mengucapkan berkat, Dia memecahkan roti itu, dan Dia membagikan kepada para
murid." Naskah Yunani ini menunjukkan tradisi otentik Yahudi yang dijalankan
oleh Yesus - mengucapkan berkat atau syukur kepada Tuhan atas makanan yang telah
Dia tumbuhkan dari bumi yang subur.
Kita bisa melihat pola ini tersebar di sejumlah
bagian dalam Perjanjian Baru. Sebagai contoh, Kisah 27:35: Sesudah berkata
demikian, ia [Paulus] mengambil roti, mengucap syukur kepada Allah di
hadapan semua mereka, memecah-mecahkannya, lalu mulai makan. (Perhatikan
bahwa Paulus mengucap syukur kepada Tuhan
dan bukan memberkati makanan itu)
Terakhir. perspektif orang Yahudi yang tertuang
di dalam Perjanjian Baru juga bisa menjadi petunjuk bagi kita. Saat kita berdoa
sebelum makan, sebenarnya kita sedang mengikuti tradisi Yahudi (bahkan tradisi
orang Farisi) yang diwariskan kepada kita oleh Yesus dari Nazareth.
Sebagaimana yang digambarkan dengan sangat baik
di dalam tradisi Yahudi, marilah kita menjadi orang yang memusatkan perhatian
kepada Allah dan Raja kita di dalam setiap perbuatan kita. Bahkan para rabi
menganjurkan kita untuk mencari setidaknya seratus kesempatan per hari untuk
mengucap syukur kepada Allah sebagai Tuhan dan Raja kita. Pola pikir ini
tercermin dalam seruan rasul Paulus: "Dan segala sesuatu yang kamu lakukan
dengan perkataan atau perbuatan, lakukanlah semuanya itu dalam nama Tuhan Yesus,
sambil mengucap syukur oleh Dia kepada Allah, Bapa kita." (Kolose
3:17)
Dalam kebiasaan kita mengucapkan doa syukur
sebelum makan, marilah kita memusatkan perhatian kepada Sang Sumber, bukannya
kepada makanan. Hendaklah kita tidak 'memberkati makanan' melainkan mengucapkan
syukur kepada Tuhan' yang telah memenuhi setiap kebutuhan kita. Dengan demikian,
kita menguduskan makanan tersebut dan mewujudkan suatu tindakan yang lebih
rohani di bawah kemurahan Sang Raja Alam Semesta.
(Dwight A. Pryor adalah Pendiri dan Presiden
Center for Judaic-Christian Studies di Dayton, Ohio. Dia juga salah satu pendiri
Jerusalem School of Synoptic Research di Israel. Ketika sedang belajar di
Israel, beliau tiba pada kesadaran betapa penting dan perlunya memahami
Kekristenan lewat akar dan dimensi Ibraninya.)