Selasa, 18 Desember 2012

Belajar untuk Berdamai

”Jangan membalas kejahatan dengan kejahatan kepada siapa pun. Pertimbangkanlah untuk melakukan hal-hal yang baik dalam pandangan semua orang.”—ROMA 12:17.
SEWAKTU seorang anak disikut oleh kakak atau adiknya, biasanya reaksi pertama si anak adalah balik menyikut. Sayangnya, bukan hanya anak-anak yang suka membalas. Banyak orang dewasa bertingkah serupa. Sewaktu disakiti, mereka pun ingin membalas. Memang, kebanyakan orang dewasa tidak balik menyikut secara fisik, tetapi banyak yang melakukannya secara tidak kentara. Boleh jadi, mereka menyebarkan gosip yang mencoreng reputasi orang itu atau mencari-cari cara untuk menggagalkan upayanya. Apa pun metodenya, niatnya sama—membalas dendam.

2 Meskipun dorongan untuk membalas sudah berurat berakar, orang Kristen sejati tidak mau ditaklukkan olehnya. Sebaliknya, mereka berjuang untuk mengikuti nasihat rasul Paulus, ”Jangan membalas kejahatan dengan kejahatan kepada siapa pun.” (Roma 12:17) Apa yang akan memotivasi kita untuk hidup menurut standar yang luhur itu? Kepada siapa khususnya kita tidak boleh membalas dengan kejahatan? Apa saja manfaatnya jika kita menahan diri agar tidak membalas? Untuk menjawabnya, mari kita tinjau konteks kata-kata Paulus dan melihat bagaimana Roma pasal 12 menunjukkan bahwa menahan diri agar tidak membalas adalah haluan yang benar, pengasih, dan bersahaja. Kita akan mengulas ketiga aspek ini satu per satu.

”Oleh karena Itu, Aku Memohon”
3 Mulai pasal 12, Paulus membahas empat pokok yang saling berkaitan yang mempengaruhi kehidupan orang Kristen. Ia menjelaskan hubungan kita dengan Yehuwa, dengan rekan seiman, dengan orang tidak seiman, dan dengan kalangan berwenang pemerintah. Paulus menunjukkan bahwa ada alasan yang fundamental untuk melawan kecenderungan yang salah, termasuk dorongan untuk membalas, sewaktu ia menyatakan, ”Oleh karena itu, aku memohon dengan keibaan hati Allah, . . . saudara-saudara.” (Roma 12:1) Perhatikan frasa ”oleh karena itu”, yang berarti ”mengingat hal sebelumnya”. Paulus seolah-olah berkata, ’Mengingat apa yang baru kujelaskan kepadamu, aku memohon agar kamu melakukan apa yang akan kukatakan selanjutnya.’ Apa yang Paulus jelaskan sebelumnya kepada jemaat Kristen di Roma itu?

4 Dalam ke-11 pasal pertama suratnya, Paulus mengupas kesempatan menakjubkan yang terbuka bagi orang Yahudi maupun orang non-Yahudi untuk menjadi penguasa bersama Kristus dalam Kerajaan Allah, harapan yang ditolak oleh orang Israel jasmani. (Roma 11:13-36) Hak istimewa yang berharga itu dimungkinkan hanya ”dengan keibaan hati Allah”. Bagaimana orang Kristen semestinya menanggapi kebaikan hati Allah yang luar biasa dan tidak selayaknya diperoleh ini? Hati mereka hendaknya dipenuhi rasa syukur yang sedemikian dalamnya sehingga mereka tergerak untuk melakukan apa yang Paulus katakan selanjutnya, ”Mempersembahkan tubuhmu sebagai korban yang hidup, kudus, diperkenan Allah, dinas suci dengan daya nalarmu.” (Roma 12:1) Namun, bagaimana sebenarnya orang-orang Kristen itu dapat mempersembahkan dirinya sebagai ”korban” kepada Allah?

Paulus selanjutnya menjelaskan, ”Berhentilah dibentuk menurut sistem ini, tetapi berubahlah dengan mengubah pikiranmu, agar kamu dapat menyimpulkan kehendak Allah yang baik dan diperkenan dan sempurna.” (Roma 12:2) Ketimbang membiarkan cara berpikir mereka dibentuk oleh roh dunia, mereka perlu mengubah pikiran mereka menurut cara berpikir Kristus. (1 Korintus 2:16; Filipi 2:5) Prinsip itu hendaknya mempengaruhi perilaku sehari-hari semua orang Kristen sejati, termasuk kita dewasa ini.

6 Bagaimana penalaran Paulus di Roma 12:1, 2 membantu kita? Seperti orang Kristen terurap di Roma, kita sangat bersyukur atas pernyataan keibaan hati Allah yang limpah dan berkesinambungan yang telah dan senantiasa Allah perlihatkan kepada kita setiap hari. Oleh karena itu, dengan hati yang dipenuhi rasa syukur, kita tergerak untuk melayani Allah dengan segenap kekuatan, sumber daya, dan kesanggupan kita. Hasrat yang sepenuh hati itu juga menggerakkan kita untuk berupaya sebisa-bisanya berpikir seperti Kristus, bukan seperti dunia. Dan, hal ini akan mempengaruhi cara kita memperlakukan orang lain—rekan seiman maupun bukan. (Galatia 5:25) Misalnya: Jika kita berpikir seperti Kristus, kita akan tergerak melawan dorongan untuk membalas.—1 Petrus 2:21-23.

”Hendaklah Kasihmu tanpa Kemunafikan”

7 Kita menahan diri agar tidak membalas kejahatan dengan kejahatan bukan hanya karena itu haluan yang benar, melainkan juga karena itu haluan yang pengasih. Perhatikan bagaimana rasul Paulus selanjutnya membahas motif kasih. Dalam buku Roma, Paulus beberapa kali menggunakan kata ”kasih” (a·ga′pe dalam bahasa Yunani) sehubungan dengan kasih Allah dan kasih Kristus. (Roma 5:5, 8; 8:35, 39) Namun, di pasal 12, Paulus menggunakan a·ga′pe dalam aspek lain—kasih yang diperlihatkan kepada sesama manusia. Setelah menyebutkan bahwa ada beragam karunia rohani yang dimiliki beberapa orang percaya, Paulus menyebutkan sebuah sifat yang hendaknya dipupuk oleh semua orang Kristen. Ia menyatakan, ”Hendaklah kasihmu tanpa kemunafikan.” (Roma 12:4-9) Memperlihatkan kasih kepada orang lain adalah ciri dasar orang Kristen sejati. (Markus 12:28-31) Paulus mendesak kita untuk memastikan bahwa kasih yang kita perlihatkan sebagai orang Kristen itu tulus.

8 Selanjutnya, Paulus memberitahukan cara memperlihatkan kasih tanpa kemunafikan, dengan berkata, ”Muaklah terhadap apa yang fasik, berpautlah pada apa yang baik.” (Roma 12:9) ’Muak’ dan ’berpaut’ adalah kata-kata yang bermakna kuat. ’Muak’ dapat diterjemahkan menjadi ”luar biasa benci”. Kita harus membenci bukan hanya konsekuensi kejahatan, melainkan juga kejahatan itu sendiri. (Mazmur 97:10) Kata ’berpaut’ diterjemahkan dari kata kerja Yunani yang secara harfiah berarti ”melekat”. Apabila seorang Kristen memiliki kasih yang tulus, ia akan melekat, atau menempel, sedemikian eratnya pada kebaikan hingga sifat itu menyatu dengan kepribadiannya.

9 Ada satu manifestasi kasih yang berulang kali disebutkan oleh Paulus. Ia berkata, ”Teruslah berkati mereka yang menganiaya; hendaklah kamu memberkati dan tidak mengutuk.” ”Jangan membalas kejahatan dengan kejahatan kepada siapa pun.” ”Saudara-saudara yang kami kasihi, janganlah melakukan pembalasan.” ”Jangan biarkan dirimu ditaklukkan oleh apa yang jahat, tetapi teruslah taklukkan apa yang jahat dengan apa yang baik.” (Roma 12:14, 17-19, 21) Kata-kata Paulus dengan sangat jelas memperlihatkan bagaimana hendaknya kita memperlakukan orang yang tidak seiman, bahkan para penentang kita.

”Teruslah Berkati Mereka yang Menganiaya”

10 Bagaimana kita mengindahkan desakan Paulus, ”Teruslah berkati mereka yang menganiaya”? (Roma 12:14) Yesus memberi tahu para pengikutnya, ”Teruslah kasihi musuh-musuhmu dan berdoalah bagi orang-orang yang menganiaya kamu.” (Matius 5:44; Lukas 6:27, 28) Jadi, satu cara kita memberkati para penganiaya adalah dengan berdoa bagi mereka, memohon kepada Allah agar seandainya ada yang menentang kita karena kurang pengetahuan, Yehuwa sudi membuka mata mereka sehingga dapat melihat kebenaran. (2 Korintus 4:4) Memang, mungkin aneh rasanya meminta Allah memberkati seorang penganiaya. Namun, seraya cara berpikir kita semakin mirip dengan cara berpikir Kristus, kita pun akan semakin sanggup mengulurkan kasih kepada musuh-musuh kita. (Lukas 23:34) Apa hasilnya jika kita memperlihatkan kasih demikian?

11 Salah seorang yang berdoa bagi para penganiayanya adalah Stefanus, dan doanya tidak sia-sia. Tak lama setelah Pentakosta 33 M, Stefanus ditangkap oleh para penentang sidang Kristen, diseret ke luar Yerusalem, dan dirajam. Sebelum mati, ia berteriak, ”Yehuwa, jangan perhitungkan dosa ini atas mereka.” (Kisah 7:58–8:1) Salah seorang yang Stefanus doakan pada hari itu adalah Saul, yang menyaksikan dan menyetujui pembunuhan Stefanus. Belakangan, Yesus yang telah dibangkitkan menampakkan diri kepada Saul. Mantan penganiaya itu menjadi pengikut Kristus lalu menjadi rasul Paulus, yang menulis surat kepada jemaat di Roma. (Kisah 26:12-18) Selaras dengan doa Stefanus, Yehuwa tampaknya mengampuni Paulus atas dosanya sebagai penganiaya. (1 Timotius 1:12-16) Tidak mengherankan bahwa Paulus mendesak orang Kristen, ”Teruslah berkati mereka yang menganiaya”! Dari pengalamannya, ia tahu bahwa beberapa penganiaya boleh jadi akhirnya menjadi hamba Allah. Pada zaman kita, ada penganiaya yang juga telah menjadi rekan seiman karena tingkah laku hamba-hamba Yehuwa yang suka damai.

”Hendaklah Kamu Suka Damai dengan Semua Orang”

12 Nasihat Paulus berikutnya tentang cara memperlakukan rekan seiman dan orang tidak seiman adalah, ”Jangan membalas kejahatan dengan kejahatan kepada siapa pun.” Pernyataan itu adalah konsekuensi yang logis dari pernyataan sebelumnya, yakni, ”Muaklah terhadap apa yang fasik.” Ya, bagaimana mungkin seseorang mengaku sangat muak terhadap apa yang fasik, atau kejahatan, jika ia menggunakan kejahatan untuk membalas orang lain? Tindakan itu justru bertolak belakang dengan kasih yang ”tanpa kemunafikan”. Lalu, Paulus berkata, ”Pertimbangkanlah untuk melakukan hal-hal yang baik dalam pandangan semua orang.” (Roma 12:9, 17) Bagaimana kita menerapkannya?

13 Sebelumnya, dalam surat kepada jemaat di Korintus, Paulus menulis tentang penganiayaan yang dihadapi rasul-rasul. Ia berkata, ”Kami telah menjadi tontonan bagi dunia, dan bagi malaikat-malaikat, dan bagi manusia. . . . Pada waktu dicerca, kami memberkati; pada waktu dianiaya, kami tabah menghadapinya; pada waktu nama baik kami dirusak, kami memohon.” (1 Korintus 4:9-13) Demikian pula, orang Kristen sejati sekarang diamati oleh orang-orang di dunia. Sewaktu mereka mengamati hal-hal baik yang kita lakukan sekalipun kita diperlakukan dengan tidak adil, mereka boleh jadi cenderung memandang berita Kristen kita dengan lebih bersahabat.—1 Petrus 2:12.

14 Namun, seberapa jauh kita hendaknya mengupayakan perdamaian? Sejauh mungkin. Paulus memberi tahu saudara-saudara Kristennya, ”Jika mungkin, sejauh itu bergantung padamu, hendaklah kamu suka damai dengan semua orang.” (Roma 12:18) ”Jika mungkin” dan ”sejauh itu bergantung padamu” menunjukkan bahwa kita tidak selalu bisa berdamai dengan orang lain. Misalnya, kita tidak akan melanggar perintah Allah hanya demi berdamai dengan manusia. (Matius 10:34-36; Ibrani 12:14) Namun, kita berbuat sebisa-bisanya dalam taraf yang masuk akal—tanpa mengkompromikan prinsip-prinsip yang adil-benar—untuk berdamai ”dengan semua orang”.


”Janganlah Melakukan Pembalasan”

15 Paulus memberikan alasan kuat lainnya untuk tidak membalas; ini adalah haluan yang bersahaja. Ia menyatakan, ”Saudara-saudara yang kami kasih, janganlah melakukan pembalasan, tetapi berilah tempat kepada kemurkaan Allah; karena ada tertulis, ’Pembalasan adalah hakku; aku akan membalas, kata Yehuwa.’” (Roma 12:19) Orang Kristen yang berupaya membalas sebenarnya bersikap lancang. Ia merebut peranan milik Allah. (Matius 7:1) Selain itu, dengan main hakim sendiri, tampaklah bahwa ia tidak beriman pada jaminan Yehuwa, ”Aku akan membalas.” Sebaliknya, orang Kristen sejati percaya bahwa Allah akan ”menyebabkan keadilan dilaksanakan bagi orang-orang pilihannya”. (Lukas 18:7, 8; 2 Tesalonika 1:6-8) Mereka dengan bersahaja menyerahkan pembalasan ke tangan Allah.—Yeremia 30:23, 24; Roma 1:18.

16 Membalas dendam kepada musuh kemungkinan besar akan mengeraskan sikapnya, tetapi memperlakukannya dengan baik hati bisa melunakkan hatinya. Mengapa? Perhatikan kata-kata Paulus kepada orang Kristen di Roma. Ia berkata, ”Jika musuhmu lapar, berilah dia makan; jika dia haus, berilah dia sesuatu untuk diminum; karena dengan melakukan ini engkau menumpukkan bara yang bernyala-nyala di atas kepalanya.” (Roma 12:20; Amsal 25:21, 22) Apa artinya?


17 ”Menumpukkan bara yang bernyala-nyala di atas kepalanya” adalah kiasan yang diambil dari metode peleburan logam pada zaman Alkitab. Bijih logam dimasukkan ke dalam tanur, dan selapis bara diletakkan tidak hanya di bawahnya tetapi juga di atasnya. Bara yang bernyala-nyala di bagian atas meningkatkan suhu sehingga logam yang keras meleleh dan terpisah dari kotoran dalam bijih. Demikian pula, dengan berbuat baik kepada penentang, kita bisa melumerkan sikapnya yang keras dan mengeluarkan sifat-sifatnya yang lebih baik. (2 Raja 6:14-23) Malah, banyak anggota sidang Kristen pada awalnya tertarik pada ibadat sejati karena kebaikan hamba-hamba Yehuwa kepada mereka.

Mengapa Kita Tidak Membalas 18 Melalui pembahasan yang singkat dari Roma pasal 12 ini, kita telah melihat beberapa alasan penting mengapa kita ’tidak membalas kejahatan dengan kejahatan kepada siapa pun’. Pertama, menahan diri agar tidak membalas adalah haluan yang benar. Mengingat keibaan hati Allah terhadap kita, tindakan yang benar dan masuk akal adalah mempersembahkan diri kita kepada Allah dan rela menaati perintah-perintah-Nya—termasuk perintah untuk mengasihi musuh-musuh kita. Kedua, tidak membalas kejahatan dengan kejahatan adalah haluan yang pengasih. Dengan tidak membalas tetapi menggalang perdamaian, kita dengan pengasih berharap untuk membantu beberapa penentang yang ganas menjadi penyembah Yehuwa. Ketiga, menolak untuk membalas dengan kejahatan adalah haluan yang bersahaja. Tindakan membalas adalah kelancangan, karena Yehuwa menyatakan, ”Pembalasan adalah hakku.” Firman Allah juga memperingatkan, ”Apakah kelancangan sudah datang? Maka kehinaan akan datang; tetapi hikmat ada pada orang-orang yang bersahaja.” (Amsal 11:2) Jika kita dengan bijaksana menyerahkan pembalasan ke tangan Allah, tampaklah bahwa kita bersahaja