Rabu, 16 November 2011

WANITA YANG BUTA

bahanabahana
Because Of Him
“Akibat kecelakan itu hidung saya hancur. Pipi kiri, pipi kanan, rahang dan dagu, patah. Mata saya buta” jelas Syanni Susan Pankey (43) mengawali “kisah kelabu”nya.
Kecelakaan Tragis
25 Juni 1987. Gerimis turun. Mobil VW Combi antar jemput karyawan yang ditumpangi Syanni dari arah Citereup – Bogor ke Jakarta menabrak pantat truk yang melintang di jalur mereka lewati. Mobil terguling dan terhempas. “Dari 10 karyawan, empat orang meninggal. Depan, dua penumpang, dan sopir. Seorang yang meninggal duduk di sebelah saya. Satu orang gegar otak, satu orang patah kaki, satu orang patah rusuk. Paling parah saya. Wajah, hidung, dan gigi hancur. Mata kena pecahan kacamata yang saya pakai”.
Setelah kecelakaan tragis itu, Syanni dibawa ke RS. UKI Karena peralatan tidak lengkap ia lalu pindah ke RS. Cipto Mangun Kusumo Sembilan hari di sana belum juga mendapat penanganan. “Mereka belum pernah mendapat kasus seperti saya. Jadi, mereka membentuk tim dan meeting melulu. Hari ke-10 barulah saya dioperasi.”Hampir 2 bulan Syanni di rumah sakit. Mulut diveksasi. Setelah 6 minggu, veksasi diangkat. Gigi palsu bawah saya ke depan. Hampir seluruh wajah saya termasuk mulut diperban, sehingga komunikasi dengan dokter, suster dan keluarga dilakukan dengan menulis. Untuk bernafas tenggorokan Syanni dilubangi dan dipasang alat.
Ingin Mati
Pulang dari RS. Cipto, kedua mata Syanni ditutup. Setiap kali tanya ke dokter yang kontrol, selalu dijawab, masih diusahakan. Mendengar itu ia terus berharap matanya pulih. Syanni sedih karena banyak bergantung pada orang lain. Padahal ia anak pertama yang selama ini bekerja membantu ekonomi keluarga. Sehari-hari ibunya menerima jahitan dan pesanan kue. “Papa meninggal 1 tahun sebelum peristiwa itu. Ketiga adik saya sangat butuh biaya sekolah. Satu adik saya kuliah, SMP dan satu lagi SD” ungkap jebolan ASMI (Akademi Sekretaris Manajemen Indonesia).
Satu kali ketika ibunya ke pasar dan pembantu di dapur, Syanni nekad ke kamar mandi sendiri. Ia kejedot dinding. Wajah yang masih diperban itu bengkak. “Saya down. Saya buta. Tapi masih berharap bisa melihat karena pemeriksaan belum selesai.” Syanni kerap bertanya pada Tuhan tentang musibah itu. Kenapa semua ini terjadi? Engkau Mahakuasa. Tuhan kan bisa lalukan kecelakaan itu? Tapi kenapa nggak bikin? Itu sangat mudah, kalau Tuhan mau.
Pikiran Syanni makin berat seperti masuk pada lorong gelap tak bertepi. Apa yang bisa dilakukan orang tanpa mata? Syanni tak sanggup menjalani kehidupan tanpa masa depan.

“Meskipun putus asa, saya tidak mau bunuh diri. Tiap malam menjelang tidur saya selalu berdoa, minta Tuhan ambil nyawa saya. Kedua tangan, saya lipat seperti dalam peti mati dan berharap besok pagi mati.” Syanni selalu saja terbangun. Kehidupan masih ada baginya. Roh Kudus memberi pengertian untuk menerima kebutaan meskipun harapan kembali normal tetap ada.
Bertemu dr. David
November 1987. Operasi kedua di RS. Harapan Kita. Sebelumnya Syanni sangat senang bertemu dengan dokter ahli David J. David AC dari Australia. Dokter ini didatangkan untuk menangani kasusnya. David penuh kasih dan lembut. “Good morning dear, begitulah dia menyapa saya. Setiap pagi mengontrol sembari mengelus-elus pundak atau tangan saya. Di ruang operasi dia berkata, ‘I’ll do my best and you pray.’ Wah, mendengarnya menyentuh banget di tengah keputusasaan. Dia menjelaskan tindakan detail yang akan dilakukan pada wajah saya.”
Usai operasi, Syanni merasakan seluruh wajah sakit. David menguatkan Syanni. Dia pamit akan kembali ke Australia dan Syanni ditangani dr. Kuswara. Syanni kehilangan. Lalu bertanya, “How about my eyes?” David memegang Syanni, “Sorry, I can’t help your eyes”. Tangis Syanni tak bisa ditahan. David menjelaskan kalau dia bukanlah dokter ahli mata dan hanya mengurusi wajah Syanni. Padahal dalam bayangan Syanni, David akan mengurus matanya juga. “I don’t want to be blind. I want my eyes”.
Itulah kata-kata yang diucapkannya dalam isak tangis. Syanni pasrah. Hatinya hancur. Syanni bolak-balik ke dokter membuka jahitan. “Saya juga harus ke dokter kalau pen di wajah ditolak oleh tubuh harus dikeluarkan. Artinya tulang menyatu, pen menekan saraf. Rasanya seperti kesetrum. Sakit sekali.”Setelah operasi Syanni mendapat “hidung baru”. Tulang hidung diambil dari tulang rawan dari tulang rusuknya. Akibatnya, sampai sekarang Syanni tidak kuat berdiri lama. Di wajah Syanni ada 30 pen ukuran kecil dan besar. Bentuknya seperti mur. “Seluruh biaya ditanggung Sandoz Biochemie, tempat saya bekerja. Mereka juga menyediakan mobil kantor untuk keperluan transportasi ke rumah sakit. Teman-teman dan para pimpinan juga kerap menjenguk.”
Operator Telepon
Mr. Supka, orang Norwegia, pimpinan perusahaan memanggil Syanni ke kantor. Menanyakan apakah Syanni mau kembali bekerja? Syanni kaget. Pekerjaan apa yang bisa dilakukan dengan kondisi seperti itu? Supka mengatakan bahwa operator telepon di kantor pusat, Swiss, juga seperti Syanni, buta. Ah, nggak pernah terbayang akan kembali bekerja. Motivasi yang diberikan Supka menumbuhkan kepercayaan Syanni. “Orang lain saja percaya saya masih bisa do something, kenapa saya nggak? Mr. Supka juga bilang tak masalah kalau saya bolak-balik ke rumah sakit untuk operasi. Oleh kantor, saya dileskan private Braile. Pertama kali pegang huruf Braile, saya menangis. Tapi saya berpikir ini tantangan.”
Februari 1988, Syanni bekerja sebagai operator telepon. Menangani 15 lines telepon dari dalam dan luar negeri, untuk 150 extention. Awalnya Syanni diberi tempat di front office bersama dengan resepsionis. Tapi karena nggak percaya diri, Syanni minta duduk di dalam. “Orang yang telepon tidak tahu kalau saya buta.”
Tahun 1992, Syanni menjadi utusan PERTUNI (Persatuan Tuna Netra Indonesia). Untuk mengikuti pertan-dingan keterampilan penyandang cacat se-Asia Pasifik di Hongkong. Pertimbangannya, Syanni bekerja sebagai operator telepon dan bisa bahasa Inggris. “Puji Tuhan, saya juara tiga, dapat perunggu,” kenang penulis buku Panduan Operator Telepon untuk Tuna Netra. Sebelum berangkat dan sesudah pulang ke Hongkong, Syanni dan rombongan bertemu dengan Ibu Kepala Negara waktu itu, Tien Soeharto. Ia diwawancarai beberapa TV dan kisahnya ditulis di media cetak.
TidaK Menyerah
Tahun 1999. Syanni menikah dengan Eddy Oetomo, tuna netra juga. Tak lama kemudian Syanni hamil. 11 Oktober 2000, ia melahirkan anak laki-laki yang diberi nama Enryco Oetomoputra.Akhir 2005. Syanni keluar dari perusahaan. Keputusan diambil karena ada perubahan manajemen, setengah dari divisi perusahaan tempatnya bekerja tutup. Kebetulan juga perusahaan membuka “paket” bagi mereka yang mengundurkan diri. Uang pesangon itulah yang digunakan Syanni merintis usaha baru yaitu toko di depan rumah. Usaha yang dilakukan Syanni cukup unik. Selain toko, Syanni juga mencari order housekeeping perusahaan atau pabrik. Usaha yang dikelolanya merangkak maju. Kini sudah ada 8 perusahaan yang ia tangani. Dari keperluan rumah tangga seperti gula, kopi, teh, tissue, cairan pembersih, alat tulis kantor, kursi, cangkir, dll.
Syanni memperkerjakan dua karyawan: Satu di dalam dan satu orang lagi tugas luar mengantarkan pesanan dengan motor. Bila pesanan banyak maka Syanni menyewa mobil bak terbuka. Saat ini omzet usaha Syanni berkisar 40 jutaan per bulan. Ketika Bahana mewawancarai di rumahnya, tak hentinya telepon berdering. Syanni pun sibuk menghubungi supplier.“Kadang saya hunting mencari barang pesanan dengan membonceng motor. Kalau belum dapat, saya pena-saran. Ini tantangan dan saya senang mengerjakannya” tandas wanita kelahiran Surabaya, 7 April 1964 yang pernah jadi pembicara bagi sales COMBIPHAR di Hotel Sheraton, Jakarta Pusat.
Syanni memang pekerja keras. “Kalau saya dan suami tidak bekerja bagaimana? Kami berusaha tidak menggantungkan hidup pada orang lain”. Tak ada impian muluk. Baginya, bisa membayar gaji karyawan dan memenuhi kebutuhan sehari-hari saja sudah bersyukur. Melewati tiap hari tanpa keluhan itu juga kemenangan, kan?
(Niken Maria Simarmata)