Pendeta Hendry Lyman dan Samuel Munson
Hari yang indah. Pada tanggal 9 Juli 1833, para jemaat di Boston, Amerika Serikat, membuat perjamuan gereja. Dalam pesta itu, semua perhatian orang tertuju pada dua pendeta muda, Samuel Munson dan Henry Lyman. Esok, mereka akan berangkat membelah samudera menuju sebuah negeri jauh yang belum pernah mereka kunjungi sebelumnya. Tidak ada jadwal pasti untuk kembali.
Negeri itu bernama Hindia Belanda, yang kelak akan menjadi tanah pekuburan mereka sendiri. Munson dan Lyman menumpang kapal bernama “Dunkan”, dengan sebuah acara pelepasan yang mengharukan dari anggota jemaat Gereja Boston. Keduanya melambai dan menatap para jemaat yang berbaris di bibir pelabuhan, hingga Benua Amerika lenyap sama sekali di belakang.
Setelah berlayar selama 105 hari, Munson dan Lyman melihat sosok Pulau Jawa, dan kapal mereka merapat ke Batavia. Di kota yang sedang berkembang ini, keduanya mendapat sambutan dari seorang rohaniawan berkebangsaan Inggeris, Pendeta Madhurst. Untuk memudahkan komunikasi selama dalam misi, kedua pendeta yang baru tiba itu segera mempelajari bahasa Melayu sambil membuka praktik pengobatan. Memang, selain dibekali pengetahuan teologia, mereka juga dibekali keterampilan medis. Dari surat-surat yang mereka kirimkan ke Boston, diketahui bahwa mereka sangat sibuk dengan para pasien yang datang tiap hari.
Setelah menguasai Bahasa Melayu, Munson dan Lyman mulai mengurus izin pada pemerintah Belanda untuk keberangkatannya ke Tanah Batak. Gubernur Jenderal Pemerintahan Belanda di Batavia meluluskan permintaan mereka. Tanah Batak adalah impian Munson sejak ia sekolah pendeta di negerinya. Ia mendapatkan literatur yang menceritakan keindahan kawasan ini, berikut masyarakatnya yang masih menganut kepercayaan kuno, sipelebegu (sejenis animisme).
Tepat pada hari Minggu, 6 April 1834, Pendeta Madhurst mengadakan perjamuan suci untuk keberangkatan kedua pendeta ini. Dua hari kemudian, Munson dan Lyman berangkat meninggalkan anak isteri mereka di Batavia dengan menumpang kapal besar “Mederika”. Mereka berada di antara para serdadu Belanda beserta tawanannya.
Keduanya kagum melihat keindahan Pulau Sumatera yang terdiri dari pegunungan, lembah, dan hutan yang sangat luas. Tapi pelayaran kali ini tidak terlalu ramah. Gelombang besar menghantam lambung Mederika. Seisi kapal diaduk-aduk. Para penumpang terpental dan kepanikan pun terjadi. Seorang tawanan Belanda menemui ajalnya setelah terhempas pada tiang layar. Mayatnya kemudian dibuang ke laut.
Pada 19 April 1834, atau sebelas hari sejak keberangkatan dari Jawa, mereka tiba di Bengkulu. Munson dan Lyman tinggal di sini selama 4 hari. Lalu pada tanggal 26 April 1834, mereka sudah menjejakkan kaki di Padang. Pendeta Ward menyambut keduanya. Munson dan Lyman mendapat banyak informasi penting dari beliau, karena Ward sudah pernah mengunjungi Tanah Batak pada tahun 1824. Menurut Pendeta Ward, orang Batak adalah masyarakat yang ramah tamah. Pendeta Ward juga menceritakan penyambutan raja-raja Batak terhadap dirinya yang disertai tarian (tortor).
Akhirnya, pada 17 Juni 1834, Munson dan Lyman tiba di Tanah Batak untuk pertamakalinya, yakni Sibolga. Tuan Bonnet, seorang pejabat Belanda, menyambut mereka dengan hangat. Dia bahkan memberikan perlengkapan untuk keberangkatan mereka selanjutnya ke arah Silindung. Dalam perjalanan, Munson dan Lyman disertai seorang penerjemah, tukang masak, polisi, dan 8 pendamping lain. Rombongan kecil ini berangkat pada suatu sore yang teduh tanggal 23 Juni 1834, menembus belantara, lembah, dan pegunungan yang bergelombang, selama 6 hari. Kadang-kadang, mereka harus merangkak seperti ekspedisi kelompok pecinta alam ketika melalui medan yang sangat sulit.
Rura Silindung yang mereka tuju adalah sebuah lembah yang datar dan indah di sebelah utara Tapanuli.
Dari puncak-puncak Bukit Barisan, panorama lembah hijau ini mampu menggetarkan jiwa siapapun yang memandangnya. Kelak, di salah satu puncak bukit pinus, pendeta sederhana asal Jerman yang sangat dihormati orang Batak, Ingwer Ludwig Nommensen, memandang dataran itu, lalu berlutut menatap langit seraya menyampaikan satu permohonan dengan bibir yang gemetar. Doa itu sangat terkenal hingga hari ini. “Tuhan, hidup atau mati biarlah aku tinggal di tengah-tengah bangsa Batak untuk menyebarkan firman dan kerajaan-Mu. Amin.” Bukit itu kini dinamakan Siatas Barita. Di puncaknya, pemerintah mendirikan satu tugu relijius sebagai peringatan pada Pendeta Nommensen, yakni Salib Kasih.
Ketika sampai di kampung Raja Suasa, Pendeta Munson dan Lyman menerima saran dari Raja Suasa agar mereka menginformasikan lebih dulu kedatangannya di Silindung. Saat itu, suasana di Rura Silindung (sekarang Kota Tarutung) memang masih diwarnai kemelut akibat ekses dari Perang Bonjol. Namun Munson dan Lyman memilih menghemat waktu agar segera tiba di Silindung. Tepat enam hari sejak berangkat dari Sibolga, satu sore yang indah menyambut mereka di pinggiran sebuah kampung. Munson mengutus penerjemah untuk mengetahui keadaan di kampung tersebut sebelum memasukinya. Namun setelah beberapa jam, si penerjemah tak kunjung kembali. Menimbang cerita Pendeta Ward, kedua misionaris itu tidak curiga kalau-kalau sesuatu telah terjadi.
Dalam keadaan yang belum dapat memutuskan tindakan selanjutnya, tiba-tiba semak belukar di sekitar mereka terkuak dan berderak. Serombongan orang muncul dari balik pepohonan seraya berteriak, “Mulak, mulak ma hamu!” (Pulang, pulanglah kalian!). Kedua missionaris itu terkejut, dan pada saat yang sama mereka menyadari bahwa para pengikut lain telah menghilang entah kemana, kecuali Jan.
Munson dan Lyman, dengan bahasa isyarat sesanggupnya, berupaya menggambarkan maksud tulus kedatangan mereka ke daerah itu. Tapi komunikasi tampaknya tidak nyambung, dan terjadilah salah pengertian. Melihat gelagat yang makin buruk, tiba-tiba Jan mengambil bedil yang dibawa Munson dari Padang, dan hendak menembakkannya ke arah orang ramai itu. Tindakan itu dicegah Munson. Tapi sayang, pada saat yang hampir bersamaan, terdengar letusan bedil dari arah lain dan Pendeta Lyman roboh bercucuran darah.
Detik-detik berikutnya makin menegangkan dan memperkecil peluang untuk saling pengertian. Munson yang malang masih mencoba memberi isyarat dengan menunjukkan Alkitab yang dibawanya, tapi suasana terlanjur panas dan chaos. Ia dipukuli hingga jatuh tanpa melawan maupun menunjukkan rasa takut. Jan melarikan diri dan bersembunyi di kerapatan hutan. Ia berhasil lolos dan kembali ke Sibolga dalam keadaan payah, lalu menemui Tuan Bonnet. Informasi tentang insiden tersebut digambarkan oleh Jan.
Dari versi masyarakat Batak sendiri, kelompok yang terlibat dalam penyergapan di Puncak Lobu Sisakkap, Desa Dolok Nauli, Adiankoting, tersebut adalah Raja Panggalamei Lumbantobing dan pengikutnya. Raja Panggalamei digambarkan sebagai seorang laki-laki perkasa dengan tinggi badan lebih dari 2 meter. Tenaganya luar biasa hingga dapat melemparkan tanah dengan cangkul sejauh 3 sampai 8 km. Saat itu, sebagai penjaga wilayah, Raja Panggalamei mendapat informasi bahwa orang Belanda (si bontar mata) sedang menuju Tanah Batak dengan tujuan memulai penjajahan. Raja-raja turunan Siopat Pisoran lantas berembuk dan membuat kesepakatan untuk memanfaatkan kekuatan Raja Panggalamei untuk menjaga Puncak Lobu Sisakkap sebagai perbatasan dan pintu masuk dari selatan menuju Rura Silindung.
Keturunan Raja Siopat Pisoran adalah penghuni terbesar kawasan Rura Silindung. Ketika Munson dan Lyman tiba di Puncak Lobu Sisakkap, Raja Panggalamei dan pengikutnya langsung menduga bahwa mereka adalah bagian dari rencana awal Pemerintah Belanda yang ingin menguasai Tanah Batak. Setelah penangkapan, terjadilah komunikasi yang tidak saling memahami.
Konon, Raja Panggalamei yang bertanya dengan nada dan ungkapan-ungkapan yang keras khas Batak, telah membuat penerjemah Munson ketakutan dan lari terbirit-birit. Karena tak memiliki penerjemah lagi, Munson mencoba menenangkan suasana dengan isyarat. Ia menyerahkan sepucuk senjata api yang dibelinya dari salah satu toko di Padang dengan maksud memberikan pesan damai. Tapi makna isyarat itu gagal ditangkap oleh Raja Panggalamei, dan ia malah menduga si bontar mata (si mata putih) itu mau menembak dirinya, sehingga ia cepat-cepat angkat pedang dan mengayunkannya pada dua orang berkulit putih itu.
Kedua versi tersebut tentu saja masih membutuhkan penelitian yang lebih rinci agar Sejarah Batak dapat didudukkan pada porsi yang sebenarnya. Bonnet sendiri, seusai menerima kisah Jan, menyimpulkan bahwa Munson dan Lyman telah mati martyr saat menjalankan misi suci di Lobu Pining Adiankoting. Bagi orang Batak Kristen masa kini, kematian mereka adalah pengorbanan besar dalam misi keagamaan terhadap Tanah Batak yang masyarakatnya saat itu masih menganut sipelebegu. Masyarakat Batak Kristen mengenangnya sebagai pendeta yang berjasa pada misi kekristenan di Tapanuli. Sebuah monumen kini dibangun di tengah perladangan yang sepi di Lobu Pining, Kecamatan Adiankoting, di mana tulang belulang mereka dikebumikan. Monumen itu sekitar 20 km dari Kota Tarutung ke arah Sibolga.
Samuel Munson lahir tanggal 23 Maret 1804 di New Sharser Maine, sedang Henry Lyman lahir tanggal 23 November 1809 di Northhampton, Amerika Serikat. Dari catatan sejarah, kedua missionaris ini berbeda karakter dan intelijensi sejak masa kecilnya. Munson adalah seorang anak yang pintar dan cerdas, sementara Lyman seorang anak yang sampai masa remajanya menunjukkan sikap yang sangat anti terhadap keagamaan walaupun pada akhirnya masuk ke sekolah pendeta dan bertemu dengan Samuel Munson. Setelah tamat dari sekolah pendeta di Androver tahun 1832 dan menikah pada tahun 1833, mereka dipersiapkan sebagai missionaris menyebarkan berita Injil ke Tanah Batak yang indah tiada tara.
Negeri itu bernama Hindia Belanda, yang kelak akan menjadi tanah pekuburan mereka sendiri. Munson dan Lyman menumpang kapal bernama “Dunkan”, dengan sebuah acara pelepasan yang mengharukan dari anggota jemaat Gereja Boston. Keduanya melambai dan menatap para jemaat yang berbaris di bibir pelabuhan, hingga Benua Amerika lenyap sama sekali di belakang.
Setelah berlayar selama 105 hari, Munson dan Lyman melihat sosok Pulau Jawa, dan kapal mereka merapat ke Batavia. Di kota yang sedang berkembang ini, keduanya mendapat sambutan dari seorang rohaniawan berkebangsaan Inggeris, Pendeta Madhurst. Untuk memudahkan komunikasi selama dalam misi, kedua pendeta yang baru tiba itu segera mempelajari bahasa Melayu sambil membuka praktik pengobatan. Memang, selain dibekali pengetahuan teologia, mereka juga dibekali keterampilan medis. Dari surat-surat yang mereka kirimkan ke Boston, diketahui bahwa mereka sangat sibuk dengan para pasien yang datang tiap hari.
Setelah menguasai Bahasa Melayu, Munson dan Lyman mulai mengurus izin pada pemerintah Belanda untuk keberangkatannya ke Tanah Batak. Gubernur Jenderal Pemerintahan Belanda di Batavia meluluskan permintaan mereka. Tanah Batak adalah impian Munson sejak ia sekolah pendeta di negerinya. Ia mendapatkan literatur yang menceritakan keindahan kawasan ini, berikut masyarakatnya yang masih menganut kepercayaan kuno, sipelebegu (sejenis animisme).
Tepat pada hari Minggu, 6 April 1834, Pendeta Madhurst mengadakan perjamuan suci untuk keberangkatan kedua pendeta ini. Dua hari kemudian, Munson dan Lyman berangkat meninggalkan anak isteri mereka di Batavia dengan menumpang kapal besar “Mederika”. Mereka berada di antara para serdadu Belanda beserta tawanannya.
Keduanya kagum melihat keindahan Pulau Sumatera yang terdiri dari pegunungan, lembah, dan hutan yang sangat luas. Tapi pelayaran kali ini tidak terlalu ramah. Gelombang besar menghantam lambung Mederika. Seisi kapal diaduk-aduk. Para penumpang terpental dan kepanikan pun terjadi. Seorang tawanan Belanda menemui ajalnya setelah terhempas pada tiang layar. Mayatnya kemudian dibuang ke laut.
Pada 19 April 1834, atau sebelas hari sejak keberangkatan dari Jawa, mereka tiba di Bengkulu. Munson dan Lyman tinggal di sini selama 4 hari. Lalu pada tanggal 26 April 1834, mereka sudah menjejakkan kaki di Padang. Pendeta Ward menyambut keduanya. Munson dan Lyman mendapat banyak informasi penting dari beliau, karena Ward sudah pernah mengunjungi Tanah Batak pada tahun 1824. Menurut Pendeta Ward, orang Batak adalah masyarakat yang ramah tamah. Pendeta Ward juga menceritakan penyambutan raja-raja Batak terhadap dirinya yang disertai tarian (tortor).
Akhirnya, pada 17 Juni 1834, Munson dan Lyman tiba di Tanah Batak untuk pertamakalinya, yakni Sibolga. Tuan Bonnet, seorang pejabat Belanda, menyambut mereka dengan hangat. Dia bahkan memberikan perlengkapan untuk keberangkatan mereka selanjutnya ke arah Silindung. Dalam perjalanan, Munson dan Lyman disertai seorang penerjemah, tukang masak, polisi, dan 8 pendamping lain. Rombongan kecil ini berangkat pada suatu sore yang teduh tanggal 23 Juni 1834, menembus belantara, lembah, dan pegunungan yang bergelombang, selama 6 hari. Kadang-kadang, mereka harus merangkak seperti ekspedisi kelompok pecinta alam ketika melalui medan yang sangat sulit.
Rura Silindung yang mereka tuju adalah sebuah lembah yang datar dan indah di sebelah utara Tapanuli.
Dari puncak-puncak Bukit Barisan, panorama lembah hijau ini mampu menggetarkan jiwa siapapun yang memandangnya. Kelak, di salah satu puncak bukit pinus, pendeta sederhana asal Jerman yang sangat dihormati orang Batak, Ingwer Ludwig Nommensen, memandang dataran itu, lalu berlutut menatap langit seraya menyampaikan satu permohonan dengan bibir yang gemetar. Doa itu sangat terkenal hingga hari ini. “Tuhan, hidup atau mati biarlah aku tinggal di tengah-tengah bangsa Batak untuk menyebarkan firman dan kerajaan-Mu. Amin.” Bukit itu kini dinamakan Siatas Barita. Di puncaknya, pemerintah mendirikan satu tugu relijius sebagai peringatan pada Pendeta Nommensen, yakni Salib Kasih.
Ketika sampai di kampung Raja Suasa, Pendeta Munson dan Lyman menerima saran dari Raja Suasa agar mereka menginformasikan lebih dulu kedatangannya di Silindung. Saat itu, suasana di Rura Silindung (sekarang Kota Tarutung) memang masih diwarnai kemelut akibat ekses dari Perang Bonjol. Namun Munson dan Lyman memilih menghemat waktu agar segera tiba di Silindung. Tepat enam hari sejak berangkat dari Sibolga, satu sore yang indah menyambut mereka di pinggiran sebuah kampung. Munson mengutus penerjemah untuk mengetahui keadaan di kampung tersebut sebelum memasukinya. Namun setelah beberapa jam, si penerjemah tak kunjung kembali. Menimbang cerita Pendeta Ward, kedua misionaris itu tidak curiga kalau-kalau sesuatu telah terjadi.
Dalam keadaan yang belum dapat memutuskan tindakan selanjutnya, tiba-tiba semak belukar di sekitar mereka terkuak dan berderak. Serombongan orang muncul dari balik pepohonan seraya berteriak, “Mulak, mulak ma hamu!” (Pulang, pulanglah kalian!). Kedua missionaris itu terkejut, dan pada saat yang sama mereka menyadari bahwa para pengikut lain telah menghilang entah kemana, kecuali Jan.
Munson dan Lyman, dengan bahasa isyarat sesanggupnya, berupaya menggambarkan maksud tulus kedatangan mereka ke daerah itu. Tapi komunikasi tampaknya tidak nyambung, dan terjadilah salah pengertian. Melihat gelagat yang makin buruk, tiba-tiba Jan mengambil bedil yang dibawa Munson dari Padang, dan hendak menembakkannya ke arah orang ramai itu. Tindakan itu dicegah Munson. Tapi sayang, pada saat yang hampir bersamaan, terdengar letusan bedil dari arah lain dan Pendeta Lyman roboh bercucuran darah.
Detik-detik berikutnya makin menegangkan dan memperkecil peluang untuk saling pengertian. Munson yang malang masih mencoba memberi isyarat dengan menunjukkan Alkitab yang dibawanya, tapi suasana terlanjur panas dan chaos. Ia dipukuli hingga jatuh tanpa melawan maupun menunjukkan rasa takut. Jan melarikan diri dan bersembunyi di kerapatan hutan. Ia berhasil lolos dan kembali ke Sibolga dalam keadaan payah, lalu menemui Tuan Bonnet. Informasi tentang insiden tersebut digambarkan oleh Jan.
Dari versi masyarakat Batak sendiri, kelompok yang terlibat dalam penyergapan di Puncak Lobu Sisakkap, Desa Dolok Nauli, Adiankoting, tersebut adalah Raja Panggalamei Lumbantobing dan pengikutnya. Raja Panggalamei digambarkan sebagai seorang laki-laki perkasa dengan tinggi badan lebih dari 2 meter. Tenaganya luar biasa hingga dapat melemparkan tanah dengan cangkul sejauh 3 sampai 8 km. Saat itu, sebagai penjaga wilayah, Raja Panggalamei mendapat informasi bahwa orang Belanda (si bontar mata) sedang menuju Tanah Batak dengan tujuan memulai penjajahan. Raja-raja turunan Siopat Pisoran lantas berembuk dan membuat kesepakatan untuk memanfaatkan kekuatan Raja Panggalamei untuk menjaga Puncak Lobu Sisakkap sebagai perbatasan dan pintu masuk dari selatan menuju Rura Silindung.
Keturunan Raja Siopat Pisoran adalah penghuni terbesar kawasan Rura Silindung. Ketika Munson dan Lyman tiba di Puncak Lobu Sisakkap, Raja Panggalamei dan pengikutnya langsung menduga bahwa mereka adalah bagian dari rencana awal Pemerintah Belanda yang ingin menguasai Tanah Batak. Setelah penangkapan, terjadilah komunikasi yang tidak saling memahami.
Konon, Raja Panggalamei yang bertanya dengan nada dan ungkapan-ungkapan yang keras khas Batak, telah membuat penerjemah Munson ketakutan dan lari terbirit-birit. Karena tak memiliki penerjemah lagi, Munson mencoba menenangkan suasana dengan isyarat. Ia menyerahkan sepucuk senjata api yang dibelinya dari salah satu toko di Padang dengan maksud memberikan pesan damai. Tapi makna isyarat itu gagal ditangkap oleh Raja Panggalamei, dan ia malah menduga si bontar mata (si mata putih) itu mau menembak dirinya, sehingga ia cepat-cepat angkat pedang dan mengayunkannya pada dua orang berkulit putih itu.
Kedua versi tersebut tentu saja masih membutuhkan penelitian yang lebih rinci agar Sejarah Batak dapat didudukkan pada porsi yang sebenarnya. Bonnet sendiri, seusai menerima kisah Jan, menyimpulkan bahwa Munson dan Lyman telah mati martyr saat menjalankan misi suci di Lobu Pining Adiankoting. Bagi orang Batak Kristen masa kini, kematian mereka adalah pengorbanan besar dalam misi keagamaan terhadap Tanah Batak yang masyarakatnya saat itu masih menganut sipelebegu. Masyarakat Batak Kristen mengenangnya sebagai pendeta yang berjasa pada misi kekristenan di Tapanuli. Sebuah monumen kini dibangun di tengah perladangan yang sepi di Lobu Pining, Kecamatan Adiankoting, di mana tulang belulang mereka dikebumikan. Monumen itu sekitar 20 km dari Kota Tarutung ke arah Sibolga.
Samuel Munson lahir tanggal 23 Maret 1804 di New Sharser Maine, sedang Henry Lyman lahir tanggal 23 November 1809 di Northhampton, Amerika Serikat. Dari catatan sejarah, kedua missionaris ini berbeda karakter dan intelijensi sejak masa kecilnya. Munson adalah seorang anak yang pintar dan cerdas, sementara Lyman seorang anak yang sampai masa remajanya menunjukkan sikap yang sangat anti terhadap keagamaan walaupun pada akhirnya masuk ke sekolah pendeta dan bertemu dengan Samuel Munson. Setelah tamat dari sekolah pendeta di Androver tahun 1832 dan menikah pada tahun 1833, mereka dipersiapkan sebagai missionaris menyebarkan berita Injil ke Tanah Batak yang indah tiada tara.
Dr. Ingwer Ludwig Nommensen
Nommmensen adalah manusia biasa dengan tekad luar biasa. Perjuangan pendeta kelahiran 6 Februari 1834 di Marsch Nordstrand, Jerman Utara itu untuk melepaskan animisme dan keterbelakangan dari peradaban Batak patut mendapatkan penghormatan.
Maka tak heran, suatu kali dalam sidang zending di Barmen, ketika utusan Denmark dan Jerman mengklaim bahwa Nommensen adalah warga negara mereka, Pendeta Dr. Justin Sihombing yang hadir waktu itu justru bersikeras mengatakan bahwa Nommensen adalah orang Batak.
Nommensen muda, ketika genap berusia 28 tahun telah hijrah meninggalkan Nordstrand dan hidup di Tanah Batak hingga akhir hayatnya dalam usia 84 tahun.
Masa mudanya, ia lewati dengan menjalani pendidikan teologia (1857-1861) di Rheinische Missions-Gesselscha ft (RMG) Barmen, setelah menerima sidi pada hari Minggu Palmarum 1849, ketika berusia 15 tahun.
Sebenarnya, kedatangan penginjil-penginjil Eropa ke Tanah Batak pun sudah dimulai sejak 1820-an. Pada 1824 Gereja Baptis Inggris mengirimkan dua penginjil: Pendeta Burton Ward dan Pendeta Evans yang terlebih dahulu tiba di Batavia. Pendeta Evans menginjil di Tapanuli Selatan, Pendeta Burton Ward di wilayah Silindung. Sayangnya, mereka ditolak. Animesme masih kuat dalam kehidupan suku Batak.
Sepuluh tahun kemudian, dua penginjil Amerika: Samuel Munson dan Henry Lyman pun tiba di Silindung. Tapi, mereka malah mendapati ajalnya di sana setelah dibunuh oleh sekelompok orang di Saksak Lobu Pining, sekitar Tarutung. Pembunuhan dilakukan atas perintah Raja Panggalamei. Kedua missionaris dimakamkan di Lobu Pining, sekitar 20 kilometer dari Kota Tarutung, menuju arah Kota Sibolga.
Impian dari kesederhanaan
Impian Nommensen untuk menjadi penginjil sudah muncul sejak kecil, meski pada pada masa-masa itu ia sudah terbiasa hidup sederhana. Dalam kesederhanaan itu, disebabkan orangtuanya yang tunakarya dan sering sakit-sakitan, ia bahkan sering kelaparan karena tidak punya makanan sehingga terpaksa mencari sisa-sisa makanan di rumah-rumah orang kaya bersama teman-temannya. Maka, sejak usia 8 tahun pun ia sudah menjadi gembala upahan hingga umur 10 tahun.
Tapi, rintangan tak luput menghambat cita-cita mulia itu. Sekali waktu, ketika berusia 12 tahun, Nommensen mengalami kecelakaan ketika berkejar-kejaran dengan temannya dan tertabrak kereta kuda sehingga membuat kakinya lumpuh. Akan tetapi Tuhan berkehendak lain.
Ketika dokter yang merawatnya menganjurkan agar kakinya diamputasi, ia menolak dan meminta agar didoakan oleh ibunya dengan syarat, jika doa itu terkabul maka ia akan memberitakan injil kepada orang yang belum mengenal Kristus. Tak lama kemudian doa itu terkabul, ia pun sembuh.
Pada 1853, dengan keputusan yang matang, berbekal sepatu dan pakaian seadanya, ia pun pergi meninggalkan kampung halamannya untuk meraih cita-cita dan janjinya itu, yang juga sempat tertunda karena gagal menjadi kolesi di pelabuhan Wick. Ia kemudian bertemu dengan Hainsen, mantan gurunya di Boldixum. Hainsen lalu mempekerjakannya sebagai guru pembantu di Tonderm setelah beberapa waktu menjadi koster. Di sinilah ia bertemu dengan Pendeta Hausted dan mengungkapkan cita-citanya itu. Ia pun melamar di Lembaga Pekabaran Injil Rhein atau RMG Barmen.
Nommensen lalu mematangkan pengetahuannya tentang injil dengan kuliah teologia pada 1857, ketika berusia 23 tahun. Pada masa itu, pekerjaan sebagai tukang sapu, pekerja kebun dan juru tulis sekolah, turut disambinya, hingga ia lulus dan ditahbiskan menjadi pendeta pada 13 Oktober1861, yang kemudian membawanya ke Tanah Batak pada 23 Juni 1862.
Dari Norsdtrand ke Silindung
Nommensen, yang kini tetap dikenang dan dipanggil dengan gelar kehormatan “Ompu I, Apostel Batak”, dalam perjalanan misi zendingnya bukanlah tanpa rintangan. Bahkan, dalam beberapa kali ia pernah akan dibunuh dengan cara menyembelih dan meracunnya. Alasannya, ia dicurigai sebagai mata-mata “si bottar mata” (stereotip ini ditujukan kepada Belanda).
Tapi ia tidak takut sebab janjinya kepada Tuhan harus dipenuhi. Sekali waktu ia pun berkata, ”Tidak mungkin, seujung rambut pun tidak akan bisa diambil kalau tidak atas kehendak Allah.”
Sebelumnya, setelah resmi diutus dari RMG Barmen ia terlebih dahulu menemui Dr. H. N. Van der Tuuk, yang sebelumnya pada 1849 telah diutus oleh Lembaga Alkitab Belanda untuk mempelajari Bahasa Batak.
Setelah mendapatkan mendapatkan informasi lebih jauh tentang Batak, maka pada 24 Desember 1861 ia pun berangkat dengan kapal “Partinax” menuju Sumatra dan tiba di Padang pada 16 Mei 1862. Dari sana ia kemudian meneruskan perjalanannya ke Barus melalui Sibolga.
Di sinilah pertama kali ia bertemu langsung dengan orang Batak kemudian mempelajari bahasa dan adatnya. Hanya saja, ia tak lama di sana. Selain karena sudah masukya agama Islam, ia melihat adanya nilai pluraritas antarsuku yang sudah menyatu di sana: Toba, Angkola, Melayu, Pesisir.
Maka, setelah beberapa bulan tinggal di sana, ia pun memutuskan untuk pergi ke daerah lain: Sipirok. Lalu, atas keputusan rapat pendeta yang ke-2 pada 7 Oktober 1862 di Sipirok (setelah sebelumnya melayani penduduk di Parau Sorat, dan mendirikan gereja yang pertama di sana), pergilah ia menuju wilayah perkampungan Batak yang dikenal dengan Silindung.
Di sana, suatu kali di puncak (dolok) Siatas Barita (sekarang puncak Taman Wisata Rohani Salib Kasih, Tarutung Kabupaten Tapanuli Utara), Nommensen pernah hendak dibunuh. Waktu itu sedang berlangsung ritual penyembahan kepada Sombaon Siatas Barita, ialah roh alam yang disembah orang Batak. Kerbau pun disembelih. Akan tetapi, pemimpin ritual (Sibaso) tidak menyukainya dan menyuruh pengikutnya untuk membunuhnya.
Lalu, kata Nommensen kepada mereka, “Roh yang berbicara kepada Sibaso bukanlah roh Siatas Barita, nenek moyangmu, melainkan roh setan. Nenek moyangmu tidak mungkin menuntut darah salah satu keturunannya.” Sibaso jatuh tersungkur dan mereka tidak mengganggunya lagi.
Setelah berhasil menjalin persahabatan dengan raja-raja yang paling berpengaruh di Silindung: Raja Amandari dan Raja Pontas Lumban Tobing, maka pada 29 Mei 1864, Nommensen mendirikan gereja di Huta Dame, sekitar Desa Sait ni Huta, Tarutung. Kemudian atas tawaran Raja Pontas, maka turut didirikan jemaat di Desa Pearaja, yang kini menjadi pusat gereja HKBP.
Setelah itu ia pergi ke Humbang dan tiba di Desa Huta Ginjang. Kemudian pada 1876 ia berangkat ke Toba ditemani Pendeta Johannsen dan sampai di Balige. Tetapi, akibat situasi yang gawat waktu itu, ketika pertempuran antara pasukan Sisingamangaraja XII dengan pasukan Belanda sedang terjadi, mereka pun menangguhkan perjalanan dan kembali ke Silindung.
Pada 1886 Nommensen kembali ke Toba (Laguboti dan Sigumpar), setelah pada 1881 Pendeta Kessel dan Pendeta Pilgram tiba dan berhasil menyebarkan injil di sana. Misi kedua pendeta ini kemudian dilanjutkan oleh Pendeta Bonn yang telah mendapat restu dari Raja Ompu Tinggi dan Raja Oppu Timbang yang menyediakan lahan gedung sekolah di Laguboti.
Pendeta Boon pindah dari Sigumpar ke Pangaloan dan Nommensen menggantikan tugasnya. Sepeninggalan Boon, Nommensen mendapat rintangan di mana sempat terjadi perdebatan sesama penduduk atas izin sebidang tanah. Setelah akhirnya mendapat persetujuan dari penduduk, ia pun mendirikan gereja, sekolah, balai pengobatan, lahan pertanian dan tempat tinggalnya di sana. Konsep pembangunan satu atap ini disebut dengan “pargodungan”, yang menjadi karakter setiap pembangunan gereja Protestan di Tanah Batak.
Dari Sigumpar, Nommensen bersama beberapa pendeta lainnya melanjutkan zending dengan menaiki “solu” (perahu) melintasi Danau Toba yang dikaguminya menuju Pulau Samosir. Maka, pada 1893 Pendeta J. Warneck pun tiba di Nainggolan, 1898 Pendeta Fiise di Palipi, 1911 Pendeta Lotz di Pangururan dan 1914 Pendeta Bregenstroth di Ambarita.
Misi zending tak berhenti sampai di sana. Nommensen lalu mengajukan permohonan kepada RMG Barmen agar misinya diperluas hingga wilayah Simalungun. Permohonan itu ditanggapi dengan mengutus Pendeta Simon, Pendeta Guillaume dan Pendeta Meisel menuju Sigumpar pada 16 Maret 1903. Dari sana mereka pergi ke Tiga Langgiung, Purba, Sibuha-buhar, Sirongit, Bangun Purba, Tanjung Morawa, Medan, Deli Tua, Sibolangit dan Bukum. Bersama Nommensen, mereka pun melanjutkan perjalanan melalui Purba, Raya, Pane, Dolok Saribu hingga Onan Runggu.
Zending inkulturatif
Misi Nommensen memang penuh pengorbanan. Tapi, ia tulus. Demi misinya, ia bahkan tak sempat melihat Caroline Gutbrod, yang wafat setelah sebelumnya jatuh sakit dan terpaksa dipulangkan ke Jerman.
Nommensen juga banyak menyisakan kenangan, yang barangkali menjadi simbol pengorbanan dan jasanya kelak. Kenangan-kenangan itu ibarat benih, meski sang penabur kelak telah tiada. Barangkali, Gereja Dame adalah salah satu benih itu, yang ketika penulis berkunjung ke sana, tampak kondisiya sudah mulai usang tapi masih berfungsi. Gereja kecil itu adalah gereja yang pertama kali didirikannya ketika menginjakkan kakinya di daerah Silindung, Tarutung.
Lokasinya di Desa Onan Sitahuru Saitni Huta, sekitar 2 kilometer ke arah selatan Kota Tarutung, Kabupaten Tapanuli Utara. Di gereja ini, Nommensen mulai mengajar umatnya dengan teratur. Selain mengajar Alkitab (termasuk menerjemahkan kitab Perjanjian Baru ke dalam bahasa Batak), ia juga mengajar pertanian serta mulai menyusun tata pelaksanaan ibadah gereja dengan teratur.
Onan Sitahuru sendiri, sekitar 1816-1817 merupakan pusat perdagangan terbesar di Tanah Batak karena terdapat sebuah “hariara” (pohon beringin) di sana. Menurut penuturan warga setempat, di pohon inilah Nommensen pernah akan dipersembahkan kepada Dewa Siatas Barita, tapi ia berhasil diselamatkan pembantunya. Pohon berusia 190 tahun itu kini masih dapat ditemui di sana.
Tercatat pula bahwa sejak tahun 1861 telah berdiri gereja-gereja kecil (resort) di Sipirok dan Bunga Bondar atas misi zending sebelumnya. Kemudian atas Nommensen pada 1862 di Parau Sorat, Pangaloan, Sigompulon; 1864 di Pearaja; 1867 di Pansur Napitu; 1870 di Sipoholon, Sibolga, Aek Pasir; 1875 di Simorangkir; 1876 di Bahal Batu; 1881 di Balige; 1882 di Sipahutar, Lintong ni Huta; 1883 di Muara; 1884 di Laguboti, 1888 di Hutabarat, Sipiongot; 1890 di Sigumpar, Narumonda, Parsambilan, Parparean; 1893 di Nainggolan; 1894 di Silaitlait; 1897 di Simanosor Batangtoru; 1898 di Palipi; 1899 di Lumban na Bolon, 1900 di Tampahan, Butar; 1901 di Sitorang; 1902 di Lumban Lobu, Silamosik, Nahornop; 1903 di Paranginan, Pematang Raya; 1904 di Dolok Sanggul; 1905 di Parmonangan, Sipiak; 1906 di Parsoburan; 1907 di Pematang Siantar; 1908 di Sidikalang; 1909 di Bonan Dolok, Tukka; 1910 di Purbasaribu; 1911 di Barus; 1912 di Medan; 1914 di Ambarita dan 1922 di Jakarta.
Sekarang, benih-benih itu telah berbuah dengan lahirnya gereja-gereja HKBP, GKPI, HKI, GKPS, GBKP dan GKPA, sebagai buah misi zending inkulturatif, yang tidak melupakan keaslian budaya setempat dalam pelaksanaan rutinitas ibadah. Atas jasanya itu, RMG kemudian mengangkat Nommensen menjadai ephorus pada 1881 hingga akhir hayatnya dan digantikan oleh Pendeta Valentine Kessel (1918-1920). Pada 6 Februari 1904, ketika genap berusia 70, Universitas Bonn menganugerahinya gelar Doktor Honoris Causa. Namanya lalu ditabalkan untuk dua universitas HKBP yang ada di Medan dan Pematangsiantar yang hingga saat ini masih berdiri.
Kemudian, pada Oktober 1993 dibangun pula Kawasan Wisata Rohani Salib Kasih (KWRSK) di puncak Siatas Barita, di mana ia pertama kali menginjakkan kakinya di Silindung. Salib sepanjang 31 meter terpancang di sana, seakan-akan melukiskan kisah karyanya yang agung.
Nommensen wafat pada 23 Mei 1918 dan dimakamkan di sisi makam istrinya yang kedua Christine Hander dan putrinya serta missionaris lainnya di Desa Sigumpar, Kecamatan Silaen Kabupaten Toba Samosir. Sejak 1891 ia telah tinggal di sana hingga akhir hidupnya. Kemudian pada 29 Juni 1996 Yayasan Pasopar, lembaga yang peduli dengan kelestarian sejarah kekristenan di Tanah Batak, memugar makamnya dan mengabadikannya menjadi “Nommensen Memorial”.
Maka tak heran, suatu kali dalam sidang zending di Barmen, ketika utusan Denmark dan Jerman mengklaim bahwa Nommensen adalah warga negara mereka, Pendeta Dr. Justin Sihombing yang hadir waktu itu justru bersikeras mengatakan bahwa Nommensen adalah orang Batak.
Nommensen muda, ketika genap berusia 28 tahun telah hijrah meninggalkan Nordstrand dan hidup di Tanah Batak hingga akhir hayatnya dalam usia 84 tahun.
Masa mudanya, ia lewati dengan menjalani pendidikan teologia (1857-1861) di Rheinische Missions-Gesselscha ft (RMG) Barmen, setelah menerima sidi pada hari Minggu Palmarum 1849, ketika berusia 15 tahun.
Sebenarnya, kedatangan penginjil-penginjil Eropa ke Tanah Batak pun sudah dimulai sejak 1820-an. Pada 1824 Gereja Baptis Inggris mengirimkan dua penginjil: Pendeta Burton Ward dan Pendeta Evans yang terlebih dahulu tiba di Batavia. Pendeta Evans menginjil di Tapanuli Selatan, Pendeta Burton Ward di wilayah Silindung. Sayangnya, mereka ditolak. Animesme masih kuat dalam kehidupan suku Batak.
Sepuluh tahun kemudian, dua penginjil Amerika: Samuel Munson dan Henry Lyman pun tiba di Silindung. Tapi, mereka malah mendapati ajalnya di sana setelah dibunuh oleh sekelompok orang di Saksak Lobu Pining, sekitar Tarutung. Pembunuhan dilakukan atas perintah Raja Panggalamei. Kedua missionaris dimakamkan di Lobu Pining, sekitar 20 kilometer dari Kota Tarutung, menuju arah Kota Sibolga.
Impian dari kesederhanaan
Impian Nommensen untuk menjadi penginjil sudah muncul sejak kecil, meski pada pada masa-masa itu ia sudah terbiasa hidup sederhana. Dalam kesederhanaan itu, disebabkan orangtuanya yang tunakarya dan sering sakit-sakitan, ia bahkan sering kelaparan karena tidak punya makanan sehingga terpaksa mencari sisa-sisa makanan di rumah-rumah orang kaya bersama teman-temannya. Maka, sejak usia 8 tahun pun ia sudah menjadi gembala upahan hingga umur 10 tahun.
Tapi, rintangan tak luput menghambat cita-cita mulia itu. Sekali waktu, ketika berusia 12 tahun, Nommensen mengalami kecelakaan ketika berkejar-kejaran dengan temannya dan tertabrak kereta kuda sehingga membuat kakinya lumpuh. Akan tetapi Tuhan berkehendak lain.
Ketika dokter yang merawatnya menganjurkan agar kakinya diamputasi, ia menolak dan meminta agar didoakan oleh ibunya dengan syarat, jika doa itu terkabul maka ia akan memberitakan injil kepada orang yang belum mengenal Kristus. Tak lama kemudian doa itu terkabul, ia pun sembuh.
Pada 1853, dengan keputusan yang matang, berbekal sepatu dan pakaian seadanya, ia pun pergi meninggalkan kampung halamannya untuk meraih cita-cita dan janjinya itu, yang juga sempat tertunda karena gagal menjadi kolesi di pelabuhan Wick. Ia kemudian bertemu dengan Hainsen, mantan gurunya di Boldixum. Hainsen lalu mempekerjakannya sebagai guru pembantu di Tonderm setelah beberapa waktu menjadi koster. Di sinilah ia bertemu dengan Pendeta Hausted dan mengungkapkan cita-citanya itu. Ia pun melamar di Lembaga Pekabaran Injil Rhein atau RMG Barmen.
Nommensen lalu mematangkan pengetahuannya tentang injil dengan kuliah teologia pada 1857, ketika berusia 23 tahun. Pada masa itu, pekerjaan sebagai tukang sapu, pekerja kebun dan juru tulis sekolah, turut disambinya, hingga ia lulus dan ditahbiskan menjadi pendeta pada 13 Oktober1861, yang kemudian membawanya ke Tanah Batak pada 23 Juni 1862.
Dari Norsdtrand ke Silindung
Nommensen, yang kini tetap dikenang dan dipanggil dengan gelar kehormatan “Ompu I, Apostel Batak”, dalam perjalanan misi zendingnya bukanlah tanpa rintangan. Bahkan, dalam beberapa kali ia pernah akan dibunuh dengan cara menyembelih dan meracunnya. Alasannya, ia dicurigai sebagai mata-mata “si bottar mata” (stereotip ini ditujukan kepada Belanda).
Tapi ia tidak takut sebab janjinya kepada Tuhan harus dipenuhi. Sekali waktu ia pun berkata, ”Tidak mungkin, seujung rambut pun tidak akan bisa diambil kalau tidak atas kehendak Allah.”
Sebelumnya, setelah resmi diutus dari RMG Barmen ia terlebih dahulu menemui Dr. H. N. Van der Tuuk, yang sebelumnya pada 1849 telah diutus oleh Lembaga Alkitab Belanda untuk mempelajari Bahasa Batak.
Setelah mendapatkan mendapatkan informasi lebih jauh tentang Batak, maka pada 24 Desember 1861 ia pun berangkat dengan kapal “Partinax” menuju Sumatra dan tiba di Padang pada 16 Mei 1862. Dari sana ia kemudian meneruskan perjalanannya ke Barus melalui Sibolga.
Di sinilah pertama kali ia bertemu langsung dengan orang Batak kemudian mempelajari bahasa dan adatnya. Hanya saja, ia tak lama di sana. Selain karena sudah masukya agama Islam, ia melihat adanya nilai pluraritas antarsuku yang sudah menyatu di sana: Toba, Angkola, Melayu, Pesisir.
Maka, setelah beberapa bulan tinggal di sana, ia pun memutuskan untuk pergi ke daerah lain: Sipirok. Lalu, atas keputusan rapat pendeta yang ke-2 pada 7 Oktober 1862 di Sipirok (setelah sebelumnya melayani penduduk di Parau Sorat, dan mendirikan gereja yang pertama di sana), pergilah ia menuju wilayah perkampungan Batak yang dikenal dengan Silindung.
Di sana, suatu kali di puncak (dolok) Siatas Barita (sekarang puncak Taman Wisata Rohani Salib Kasih, Tarutung Kabupaten Tapanuli Utara), Nommensen pernah hendak dibunuh. Waktu itu sedang berlangsung ritual penyembahan kepada Sombaon Siatas Barita, ialah roh alam yang disembah orang Batak. Kerbau pun disembelih. Akan tetapi, pemimpin ritual (Sibaso) tidak menyukainya dan menyuruh pengikutnya untuk membunuhnya.
Lalu, kata Nommensen kepada mereka, “Roh yang berbicara kepada Sibaso bukanlah roh Siatas Barita, nenek moyangmu, melainkan roh setan. Nenek moyangmu tidak mungkin menuntut darah salah satu keturunannya.” Sibaso jatuh tersungkur dan mereka tidak mengganggunya lagi.
Setelah berhasil menjalin persahabatan dengan raja-raja yang paling berpengaruh di Silindung: Raja Amandari dan Raja Pontas Lumban Tobing, maka pada 29 Mei 1864, Nommensen mendirikan gereja di Huta Dame, sekitar Desa Sait ni Huta, Tarutung. Kemudian atas tawaran Raja Pontas, maka turut didirikan jemaat di Desa Pearaja, yang kini menjadi pusat gereja HKBP.
Setelah itu ia pergi ke Humbang dan tiba di Desa Huta Ginjang. Kemudian pada 1876 ia berangkat ke Toba ditemani Pendeta Johannsen dan sampai di Balige. Tetapi, akibat situasi yang gawat waktu itu, ketika pertempuran antara pasukan Sisingamangaraja XII dengan pasukan Belanda sedang terjadi, mereka pun menangguhkan perjalanan dan kembali ke Silindung.
Pada 1886 Nommensen kembali ke Toba (Laguboti dan Sigumpar), setelah pada 1881 Pendeta Kessel dan Pendeta Pilgram tiba dan berhasil menyebarkan injil di sana. Misi kedua pendeta ini kemudian dilanjutkan oleh Pendeta Bonn yang telah mendapat restu dari Raja Ompu Tinggi dan Raja Oppu Timbang yang menyediakan lahan gedung sekolah di Laguboti.
Pendeta Boon pindah dari Sigumpar ke Pangaloan dan Nommensen menggantikan tugasnya. Sepeninggalan Boon, Nommensen mendapat rintangan di mana sempat terjadi perdebatan sesama penduduk atas izin sebidang tanah. Setelah akhirnya mendapat persetujuan dari penduduk, ia pun mendirikan gereja, sekolah, balai pengobatan, lahan pertanian dan tempat tinggalnya di sana. Konsep pembangunan satu atap ini disebut dengan “pargodungan”, yang menjadi karakter setiap pembangunan gereja Protestan di Tanah Batak.
Dari Sigumpar, Nommensen bersama beberapa pendeta lainnya melanjutkan zending dengan menaiki “solu” (perahu) melintasi Danau Toba yang dikaguminya menuju Pulau Samosir. Maka, pada 1893 Pendeta J. Warneck pun tiba di Nainggolan, 1898 Pendeta Fiise di Palipi, 1911 Pendeta Lotz di Pangururan dan 1914 Pendeta Bregenstroth di Ambarita.
Misi zending tak berhenti sampai di sana. Nommensen lalu mengajukan permohonan kepada RMG Barmen agar misinya diperluas hingga wilayah Simalungun. Permohonan itu ditanggapi dengan mengutus Pendeta Simon, Pendeta Guillaume dan Pendeta Meisel menuju Sigumpar pada 16 Maret 1903. Dari sana mereka pergi ke Tiga Langgiung, Purba, Sibuha-buhar, Sirongit, Bangun Purba, Tanjung Morawa, Medan, Deli Tua, Sibolangit dan Bukum. Bersama Nommensen, mereka pun melanjutkan perjalanan melalui Purba, Raya, Pane, Dolok Saribu hingga Onan Runggu.
Zending inkulturatif
Misi Nommensen memang penuh pengorbanan. Tapi, ia tulus. Demi misinya, ia bahkan tak sempat melihat Caroline Gutbrod, yang wafat setelah sebelumnya jatuh sakit dan terpaksa dipulangkan ke Jerman.
Nommensen juga banyak menyisakan kenangan, yang barangkali menjadi simbol pengorbanan dan jasanya kelak. Kenangan-kenangan itu ibarat benih, meski sang penabur kelak telah tiada. Barangkali, Gereja Dame adalah salah satu benih itu, yang ketika penulis berkunjung ke sana, tampak kondisiya sudah mulai usang tapi masih berfungsi. Gereja kecil itu adalah gereja yang pertama kali didirikannya ketika menginjakkan kakinya di daerah Silindung, Tarutung.
Lokasinya di Desa Onan Sitahuru Saitni Huta, sekitar 2 kilometer ke arah selatan Kota Tarutung, Kabupaten Tapanuli Utara. Di gereja ini, Nommensen mulai mengajar umatnya dengan teratur. Selain mengajar Alkitab (termasuk menerjemahkan kitab Perjanjian Baru ke dalam bahasa Batak), ia juga mengajar pertanian serta mulai menyusun tata pelaksanaan ibadah gereja dengan teratur.
Onan Sitahuru sendiri, sekitar 1816-1817 merupakan pusat perdagangan terbesar di Tanah Batak karena terdapat sebuah “hariara” (pohon beringin) di sana. Menurut penuturan warga setempat, di pohon inilah Nommensen pernah akan dipersembahkan kepada Dewa Siatas Barita, tapi ia berhasil diselamatkan pembantunya. Pohon berusia 190 tahun itu kini masih dapat ditemui di sana.
Tercatat pula bahwa sejak tahun 1861 telah berdiri gereja-gereja kecil (resort) di Sipirok dan Bunga Bondar atas misi zending sebelumnya. Kemudian atas Nommensen pada 1862 di Parau Sorat, Pangaloan, Sigompulon; 1864 di Pearaja; 1867 di Pansur Napitu; 1870 di Sipoholon, Sibolga, Aek Pasir; 1875 di Simorangkir; 1876 di Bahal Batu; 1881 di Balige; 1882 di Sipahutar, Lintong ni Huta; 1883 di Muara; 1884 di Laguboti, 1888 di Hutabarat, Sipiongot; 1890 di Sigumpar, Narumonda, Parsambilan, Parparean; 1893 di Nainggolan; 1894 di Silaitlait; 1897 di Simanosor Batangtoru; 1898 di Palipi; 1899 di Lumban na Bolon, 1900 di Tampahan, Butar; 1901 di Sitorang; 1902 di Lumban Lobu, Silamosik, Nahornop; 1903 di Paranginan, Pematang Raya; 1904 di Dolok Sanggul; 1905 di Parmonangan, Sipiak; 1906 di Parsoburan; 1907 di Pematang Siantar; 1908 di Sidikalang; 1909 di Bonan Dolok, Tukka; 1910 di Purbasaribu; 1911 di Barus; 1912 di Medan; 1914 di Ambarita dan 1922 di Jakarta.
Sekarang, benih-benih itu telah berbuah dengan lahirnya gereja-gereja HKBP, GKPI, HKI, GKPS, GBKP dan GKPA, sebagai buah misi zending inkulturatif, yang tidak melupakan keaslian budaya setempat dalam pelaksanaan rutinitas ibadah. Atas jasanya itu, RMG kemudian mengangkat Nommensen menjadai ephorus pada 1881 hingga akhir hayatnya dan digantikan oleh Pendeta Valentine Kessel (1918-1920). Pada 6 Februari 1904, ketika genap berusia 70, Universitas Bonn menganugerahinya gelar Doktor Honoris Causa. Namanya lalu ditabalkan untuk dua universitas HKBP yang ada di Medan dan Pematangsiantar yang hingga saat ini masih berdiri.
Kemudian, pada Oktober 1993 dibangun pula Kawasan Wisata Rohani Salib Kasih (KWRSK) di puncak Siatas Barita, di mana ia pertama kali menginjakkan kakinya di Silindung. Salib sepanjang 31 meter terpancang di sana, seakan-akan melukiskan kisah karyanya yang agung.
Nommensen wafat pada 23 Mei 1918 dan dimakamkan di sisi makam istrinya yang kedua Christine Hander dan putrinya serta missionaris lainnya di Desa Sigumpar, Kecamatan Silaen Kabupaten Toba Samosir. Sejak 1891 ia telah tinggal di sana hingga akhir hidupnya. Kemudian pada 29 Juni 1996 Yayasan Pasopar, lembaga yang peduli dengan kelestarian sejarah kekristenan di Tanah Batak, memugar makamnya dan mengabadikannya menjadi “Nommensen Memorial”.