PENDAHULUAN
Problematika mengenai jodoh atau pasangan hidup bukanlah perkara mudah untuk dipecahkan. Ada banyak kasus orang yang sudah menikah dan berpikir bahwa pasangannya adalah pasangan hidupnya, tetapi akhirnya bercerai juga dengan alasan tidak cocok. Mengapa tidak cocok? Mengapa pada saat mengenal dan berpacaran, mereka tidak saling mengenal sungguh-sungguh? Ada banyak jawaban untuk pertanyaan ini, salah satunya, yaitu: kalau waktu berpacaran, kebiasaan negatif tidak ditunjukkan, sedangkan waktu menikah, segala sesuatunya tampak nyata. Ketidakcocokan yang terjadi ini sering kali mengakibatkan seseorang frustasi lalu mengatakan bahwa jodohnya dahulu bukan dari Tuhan. Benarkah jodoh di tangan Tuhan ataukah di tangan manusia mutlak ataukah dua-duanya? Ada beragam pandangan mengenai hal ini yang disertai dengan presuposisi dan akibat konsep-konsep tersebut. Selanjutnya, kita akan mengkritisinya dari perspektif Alkitab dan menunjukkan bahwa pasangan hidup itu sebenarnya dipimpin oleh Allah dan tetap dipertanggungjawabkan oleh manusia.
JODOH DI TANGAN TUHAN
Pertama, jodoh di tangan Tuhan. Ada orang Kristen yang berpandangan bahwa jodoh di tangan Tuhan.
Presuposisi
Apa yang melatarbelakangi pemikiran ini? Konsep ini didasari oleh pemikiran theologi Reformed bahwa apa pun di dunia ada dalam pemeliharaan (providensia) Allah. Allah adalah Allah yang memelihara segala sesuatu. Itulah wujud kedaulatan Allah. Jika Ia berdaulat atas segala sesuatu, mengapa untuk masalah jodoh dikecualikan dari kedaulatan Allah? Meskipun ajaran ini benar, tetapi penganut konsep pertama ini mengekstremkannya. Jika ditelusuri, konsep ini mirip dengan pandangan Hiper-Calvinisme (http://en.wikipedia.org/wiki/Hyper-Calvinism) yang meniadakan konsep tanggung jawab manusia dan terlalu menekankan kedaulatan Allah. Tidak heran, juga seorang Hiper-Calvinis tulen akan “konsisten” menjalankan konsepnya baik di dalam doktrin maupun aplikasi hidup, meskipun bertentangan dengan ajaran Alkitab. Seorang Hiper-Calvinis yang tidak mempercayai tanggung jawab manusia akan malas memberitakan Injil (karena bagi mereka sudah ada predestinasi dari Allah, buat apa memberitakan Injil) dan juga malas mencari pasangan hidup sendiri.
Presuposisi kedua yang melatarbelakangi konsep ini adalah konsep “cuek.” Ini yang lebih parah. Orang yang mengatakan bahwa jodoh di tangan Tuhan dilatarbelakangi oleh kecuekan dirinya memikirkan tentang pasangan hidup. Artinya, mereka malas mencari sendiri pasangan hidup, lalu menyerahkan tanggung jawabnya ini kepada Tuhan Allah.
Akibat dan Analisa Theologis (dan Filosofis)
Lalu, apa akibat konsep ini? Konsep ini mengakibatkan seseorang di titik pertama tidak bertanggungjawab mencari pasangan hidupnya yang beres sesuai kriteria Alkitab. Kalau orang ini seorang cowok, ia akan menunggu sampai cewek itu yang memberi respons kepada si cowok. Setelah bertemu dengan pasangan hidup yang cocok tersebut, orang ini berpacaran dan menikah, karena ia menganggap itu adalah jodohnya. Tetapi sayangnya, setelah menikah beberapa bulan bahkan tahun, mereka bercerai, lalu dengan mudahnya mengatakan bahwa pasangannya dahulu bukan jodohnya. Kemudian, ia akan marah kepada Tuhan dan menyalahkan-Nya. Logika ini sungguh lucu. Jadi, para penganut konsep ini hendak mengatakan bahwa jodohnya itu mutlak di tangan Tuhan (dan manusia tidak bertanggungjawab sama sekali), lalu setelah mereka bertemu dengan jodohnya, namun tidak cocok bahkan bercerai, yang disalahkan adalah Allah! Padahal Alkitab mengajarkan kita untuk mencari pasangan hidup yang seiman dan sepadan.
JODOH DI TANGAN MANUSIA
Kedua, jodoh di tangan manusia. Ini adalah satu konsep yang melawan konsep pertama. Dengan kata lain, orang yang memegang konsep ini sebenarnya sedang berpikir either…or (kalau tidak ini, ya yang satunya).
Presuposisi
Apa yang melatarbelakangi konsep ini? Konsep ini didasari oleh suatu kehendak diri yang ingin meniadakan Allah di dalam masalah pasangan hidup. Orang yang memegang konsep ini adalah orang yang berpikir bahwa Allah tidak ada hubungannya sama sekali dengan masalah pasangan hidup, lalu ia mengatakan bahwa biarlah ia sendiri yang bertanggungjawab mencari pasangan hidup. Konsep ini sebenarnya mirip dengan konsep dualisme iman-ilmu yang memisahkan secara tajam antara iman Kristen dan integrasinya di dalam kehidupan sehari-hari. Bagi para dualis ini, Allah tidak ada hubungannya dengan kehidupan mereka sehari-hari dan Ia hanya ada (berkuasa) di lingkungan gereja saja.
Lebih celakanya, ada yang mengatakan bahwa manusia bertanggungjawab mencari dan memilih pasangan hidup, nanti Tuhan tinggal merestuinya. Orang ini mengatakan bahwa pada saat memilih pasangan hidup ini pun ada di dalam pemeliharaan Allah. Benarkah konsep ini? Bukankah konsep ini hendak menurunkan derajat Allah hanya sebagai Pribadi yang melegitimasi apa yang kita pilih atau lebih ekstremnya hendak mengatakan Allah sebagai pembantu kita? Konsep ini tidak ada bedanya dengan konsep beberapa (atau bahkan banyak) ajaran Karismatik yang mengajarkan bahwa kita minta apa saja, Tuhan tinggal dan pasti mengabulkan. Lebih tajam lagi, ini adalah konsep Arminian yang menekankan tanggung jawab manusia melebihi kedaulatan Allah. Bagi seorang Arminian, dirinya bertobat, meskipun adalah anugerah Allah, tetap adalah jasa manusia. Bagi seorang Arminian juga, keselamatan bisa hilang, karena orang “Kristen” murtad dan Allah tidak berdaya apa pun. Sungguh mengasihankan “Allah” seperti ini, “Allah” yang kalah dengan kehebatan manusia.
Terakhir, lebih celaka lagi, jika konsep ini diajarkan oleh orangtua yang mengklaim diri “Kristen” kepada anak-anak mereka di dalam memilih jodoh. Artinya, orangtua “Kristen” bisa mengajar atau bahkan menyetujui konsep bahwa jodoh di tangan manusia, karena di titik pertama, mereka hendak mematok standar tertentu bagi calon pasangan anaknya. Memang baik (Pdt. Sutjipto Subeno pernah mengatakan bahwa baik belum tentu benar) jika ada orangtua yang menetapkan (lebih tepatnya: memberikan saran/menyarankan) kriteria-kriteria yang baik bagi pasangan anak mereka, tetapi penetapan itu BUKANlah penetapan mutlak seperti penetapan Allah! Barangsiapa yang memutlakkan standar tertentu, ia hendak menyamakan dirinya dengan Allah, dan itu adalah dosa. Mengapa? Karena dosa bukan dimengerti secara fenomena, misalnya: membunuh, mencuri, dll, tetapi dosa adalah melawan Allah atau lebih tepatnya mengutip perkataan Rev. Prof. Cornelius Van Til, Ph.D. di dalam bukunya The Defense of the Faith (1955), dosa adalah inisiatif manusia menggantikan standar nilai Allah dengan standar nilai diri mereka yang berdosa untuk menafsirkan segala sesuatu. (hlm. 15) Jika ada orangtua “Kristen” (apalagi mengaku “Reformed”—lebih tepatnya, bukan Reformed sejati, tetapi aktif ikut kebaktian di gereja Reformed saja) lalu dengan cepat menyetujui konsep bahwa jodoh itu di tangan manusia, berhati-hatilah! Jika mereka sampai menyetujui konsep ini dengan cepat (tanpa pikir panjang), dapat dipastikan bahwa mereka sebenarnya hendak membuang standar Allah dan menetapkan standar orangtua secara mutlak bagi pasangan anak mereka, meskipun ada yang secara mulut (bahasa Jawanya: mbasahi lambe—tanda orang yang tidak pernah tulus jika berkata apa pun) mengakui partisipasi Tuhan di dalamnya. Itulah dosa!
Akibat dan Analisa Theologis (dan Filosofis)
Lalu, apa akibatnya?
Pertama, orang yang memegang konsep ini secara konsisten akan memilih pasangan hidupnya sendiri yang diklaim “sesuai prinsip Alkitab”, tetapi sayangnya tidak meminta pimpinan Tuhan di dalamnya. Mengapa? Karena orang ini akan takut dan kuatir (bahkan mungkin saja bisa marah) jika sampai Allah mengatakan TIDAK atas pilihannya. Sebenarnya, problem utama penganut konsep ini adalah orang ini tidak mau diganggu (bahkan oleh Allah sendiri) ketika memilih pasangan hidup. Jika si cowok mengatakan bahwa dirinya cocok dengan seorang cewek dan begitu juga sebaliknya, mereka akan langsung berpacaran dan menikah. Padahal mungkin sekali di mata Allah, mereka tidak cocok secara esensi, karena apa yang kita pandang dan anggap baik, belum tentu dipandang dan dianggap baik dan benar oleh Allah!
Kedua, orang lain (dalam hal ini, khususnya orangtua) ikut menentukan standar memilih pasangan hidup. Karena memegang dengan teguh konsep bahwa jodoh di tangan manusia, ada beberapa orangtua “Kristen” yang ikut-ikutan menentukan jodoh/pasangan hidup anaknya. Ketika disebut seperti ini, spontan saja, orangtua “Kristen” ini tidak mau dikatakan “menentukan” pasangan hidup anaknya, tetapi “menyarankan.” Jika mau ditelusuri lebih tajam, apa bedanya “menyarankan” dengan “menentukan/memaksa”? Dua kata ini jelas berbeda, tetapi berusaha dikaburkan oleh orang postmodern ini. “Menyarankan” berarti orangtua “Kristen” ini hanya memberi saran yang baik kepada anaknya tentang kriteria pasangan hidup yang berkaitan dengan pandangan-pandangan umum (respons manusia berdosa terhadap wahyu umum Allah yang berupa: kebudayaan dan ilmu/sains). Hasil akhirnya BUKAN lagi ada pada orangtua ini, tetapi pada kebebasan anaknya yang bertanggungjawab untuk memilih atau menolak beberapa atau semua konsep orangtuanya sesuai dengan prinsip respons manusia terhadap wahyu umum Allah dan wahyu khusus Allah, yaitu: ALKITAB! Sedangkan “menentukan/memaksa” berarti orangtua bukan hanya memberi saran, tetapi ikut menilai calon pasangan hidup anaknya, meskipun penilaian ini pun kadang-kadang sangat fenomenal dan tidak bertanggungjawab sama sekali. Misalnya, ada orangtua “Kristen” bahkan mengaku diri “Reformed” (padahal sih, cuma aktif ikut kebaktian di gereja Reformed) tetapi masih mempercayai shio sebagai standar menentukan/memaksa anaknya dalam memilih pasangan hidupnya (meskipun katanya, ini hanya lelucon, tetapi bagi saya, ini adalah lelucon yang tidak berarti sama sekali). Contoh, ketika sang anak mengetahui bahwa pasangan hidupnya shio kuda, maka dengan cepat, sang orangtua ini mengatakan bahwa orang yang shionya kuda itu keras, dll. Bukankah ini adalah suatu kelucuan yang tidak masuk akal, bodoh, dan menghina Allah sendiri ketika ada orang (bahkan menyebut diri “Kristen”) yang mengukur orang lain dari shio yang dilambangkan dengan binatang?! Jika ada orangtua “Kristen” yang sampai menentukan pasangan hidup bagi anaknya, biarlah dirinya sendirilah yang menikah, bukan anaknya!
JODOH: DIPIMPIN TUHAN DAN DIPERTANGGUNGJAWABKAN OLEH MANUSIA
Jika konsep pertama dan kedua adalah konsep yang tidak menyeluruh dan tidak seimbang, maka bagaimana pandangan Alkitab yang konsisten sesuai dengan theologi Reformed tentang jodoh? Benarkah jodoh itu mutlak di tangan Tuhan atau mutlak merupakan tanggung jawab manusia? Secara konsisten dengan Alkitab dalam perspektif theologi Reformed yang seimbang dan menyeluruh, maka konsep yang benar mengenai jodoh bahwa jodoh itu dipimpin oleh Tuhan dan tetap dipertanggungjawabkan oleh manusia.
Presuposisi
Apa dasar pikir dari konsep terakhir ini? Konsep ini didasarkan pada berita Alkitab mengenai penciptaan manusia. Mari kita analisa secara cermat. Setelah menciptakan segala sesuatunya selama 5 hari, maka Allah menciptakan manusia di hari ke-6 (Kej. 1:26-27). Di situ, dengan jelas, Allah berfirman bahwa manusia diciptakan menurut gambar-Nya. Lalu, Allah memberkati ciptaan itu dan menyebutnya sungguh amat baik (Kej. 1:31). Kemudian, Ia menyadari bahwa tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja, maka Ia akan menjadikan seorang penolong yang sepadan dengan dia—Adam (Kej. 2:18). Ayat ini dilanjutkan dengan ayat 19 yang mengatakan bahwa Allah membawa semua binatang hutan dan burung kepada manusia untuk melihat, lalu Adam memberi nama kepada semua binatang. Setelah mengamat-amati ciptaan Tuhan (binatang) itu, maka Adam menyadari bahwa tidak ada penolong yang sepadan dengan dia, maka di ayat 21, Allah menciptakan Hawa sebagai penolong yang sepadan dengan Adam. Dari kisah ini, apa yang bisa kita pelajari? Ada yang menafsirkan bahwa kisah ini merupakan bukti bahwa jodoh merupakan tanggung jawab manusia. Konsep ini diajarkan karena si penafsir hanya membaca ayat 19-20. Meskipun tidak sepenuhnya salah, konsep ini tetap kurang tepat. Mari kita analisa.
Pertama, kisah ini hendak mengajarkan kepada kita bahwa pria dan wanita adalah sama-sama ciptaan Allah. Karena merupakan ciptaan Allah, maka tentu saja natur mereka ditentukan BUKAN oleh mereka sendiri atau ilmu-ilmu yang manusia ciptakan, tetapi oleh Allah sebagai Pencipta mereka. Sungguh suatu ketidakmasukakalan jika ingin mengetahui natur manusia dari manusia dan ilmu-ilmu yang diciptakan oleh manusia berdosa! Allah yang menciptakan mereka adalah Allah yang menetapkan natur bagi mereka. Allah yang sama juga adalah Allah yang mengerti totalitas manusia yang diciptakan-Nya, entah itu karakter, dll. Di dalam karya penebusan dan pengudusan terus-menerus, Allah yang sama, yaitu Roh Kudus yang memurnikan iman, karakter, dan spiritualitas anak-anak-Nya agar kita makin serupa dengan Kristus, Kakak Sulung kita. Kembali, Allah ikut terlibat di dalam setiap inci kehidupan kita. Dari konsep ini, kita bisa belajar bahwa jodoh BUKAN hanya merupakan tanggung jawab manusia yang lepas dari pimpinan Tuhan! Bagaimana dengan integrasi keduanya, yaitu kedaulatan Allah dan tanggung jawab manusia? Kita akan membahasnya di poin kedua.
Kedua, jika kita membaca dengan jelas Kejadian 2:18-25, kita akan melihat dengan jelas bahwa di titik pertama, di ayat 18, Allah sudah mengetahui bahwa Adam tidak bisa hidup sendiri tanpa seorang penolong yang sepadan dengan dia. Allah tentu SUDAH mengetahui bahwa penolong yang sepadan tentu bukanlah binatang, tumbuhan, dll, tetapi manusia. Lalu, mengapa di ayat 19-20, Ia membawa binatang kepada manusia untuk dinamai, lalu manusia mengatakan bahwa itu semua tidak sepadan dengan dia? Apakah Allah ingin bermain-main dengan manusia? Ataukah Allah tidak tahu dan spontan “kaget” kalau apa yang dikatakan manusia di ayat 19-20 itu bertolak belakang dengan rencana-Nya? TIDAK! Allah sudah mengetahui segala sesuatu karena Ia adalah Allah. Tetapi, Allah yang Mahatahu tidak mematikan tanggung jawab manusia! Sehingga, meskipun Allah tahu, Ia tetap menuntut pertanggungjawaban manusia. Saya berani menafsirkan bahwa pertanggungjawaban manusia sebagai umat pilihan-Nya ini adalah reaksi terhadap anugerah Allah. Alkitab mengajar dua paradoks ini dan itulah yang dipegang oleh theologi Reformed yang seimbang dan menyeluruh, meskipun rasio manusia tidak akan pernah mengerti semuanya secara sempurna. Misalnya, penyaliban Tuhan Yesus itu merupakan tindakan Allah atau manusia? Jawabannya: Allah dan manusia. Pada waktu pencurahan Roh Kudus di hari Pentakosta, Rasul Petrus ketika dipenuhi Roh Kudus berkhotbah kepada orang-orang yang berkumpul di Yerusalem, “Dia yang diserahkan Allah menurut maksud dan rencana-Nya, telah kamu salibkan dan kamu bunuh oleh tangan bangsa-bangsa durhaka.” (Kis. 2:23) Di ayat ini, kita mendapatkan gambaran jelas bahwa penyaliban Kristus terjadi menurut maksud dan rencana-Nya sekaligus tindakan manusia. Tidak ada pertentangan antara kehendak Allah dan kehendak manusia. Di dalam Alkitab, itu semua menjadi satu. Dari sini, kita pun belajar juga bahwa seluruh aspek kehidupan manusia juga ada di dalam rencana Allah yang berdaulat dan tetap menuntut pertanggungjawaban manusia. Contoh, tentang kebiasaan atau tindakan buruk yang kita lakukan. Kita sering terlambat mengajar atau pergi kuliah, lalu jangan memakai dan memberikan alasan kepada anak didik atau dosen bahwa keterlambatan kita pun ditetapkan oleh Allah! Itu dosa, karena melemparkan tanggung jawab kita kepada Allah. Memang, Tuhan mengetahui keterlambatan kita dan mungkin sekali Tuhan mengizinkan hal itu terjadi supaya kita belajar sesuatu, tetapi tidak berarti, Tuhan yang harus dipersalahkan ketika kita terlambat. Keterlambatan kita TETAP adalah tanggung jawab kita. Tuhan hanya mengizinkannya terjadi (tidak berarti Ia menetapkan)!
Kalau kita terapkan konsep ini di dalam konsep tentang jodoh, maka kita akan mengerti dua hal:
Pertama, Allah memberikan kepada kita pasangan hidup yang tepat. Sebagai umat pilihan-Nya, kita harus mengetahui bahwa segala sesuatu ada di dalam rencana kekal Allah yang berdaulat, termasuk jodoh kita pun, karena Ia yang menciptakan dan memelihara kita, tentulah Ia yang sama mengenal pribadi kita jauh lebih dalam daripada kita atau orangtua atau siapa pun yang mengenal kita (mengutip perkataan seorang hamba Tuhan di dalam sebuah acara tanya jawab di sebuah siaran radio rohani di Surabaya). Karena Ia telah mengenal kita, Ia akan memberikan kepada kita penolong yang sepadan dengan kita. Penolong yang sepadan itu adalah penolong yang saling melengkapi kita untuk saling bertumbuh di dalam Kristus. Saling melengkapi ini TIDAK harus diterjemahkan bahwa kita harus memberi (altruistik) kepada pasangan kita. Saling melengkapi juga bisa berarti saling belajar satu sama lain. Mengapa? Karena ketika kita hidup di dunia tidak ada yang namanya orang sempurna yang hanya bisa memberi, tanpa mau belajar dari orang lain. Kita semua sebagai anak-anak-Nya harus terus bertumbuh di dalam Kebenaran Firman menuju ke arah kesempurnaan di dalam Kristus, Kakak Sulung kita. Perhatikanlah, orang yang terus menekankan (dan mendengarkan) pengajaran bahwa kita harus saling memberi tanpa mau saling belajar adalah orang yang sombong dan egois, suka mencari kejelekan dan kelemahan orang lain, tetapi ketika dirinya ditegur, dia akan memakai segudang argumentasi (bahkan argumentasi “theologis” dan filosofis) untuk menutupi kelemahannya. Ya, itulah realitas manusia berdosa: suka melihat kejelekan orang lain, tetapi tidak suka kejelekannya dinyatakan. Sudah saatnya, orang Kristen sejati yang beres tidak meniru logika orang dunia yang berdosa, tetapi kembali kepada Kristus, siap dan rendah hati menerima teguran dari orang lain yang membangun.
Kedua, Allah memimpin kita di dalam memilih pasangan hidup yang telah Ia tetapkan. Kembali, setelah kita mengerti bahwa Ia yang mencipta kita dan Ia akan memberikan kepada kita penolong yang sepadan, lalu, apakah berarti kita diam saja tidak berbuat apa-apa dalam memilih jodoh? TIDAK! Ingatlah, kedaulatan Allah tidak meniadakan tanggung jawab manusia. Meskipun Ia telah mengetahui dengan siapa kita berjodoh, Ia tidak mematikan tanggung jawab manusia. Malahan Ia berpartisipasi aktif memimpin kita di dalam memilih pasangan hidup yang telah ditetapkan-Nya. Bukan tugas kita untuk menghakimi standar penilaian-Nya atas pasangan hidup kita, tetapi yang diperlukan oleh seorang anak Tuhan sejati adalah percaya dan taat mutlak akan pimpinan Tuhan di dalamnya. Saya pernah bertanya langsung tentang masalah pasangan hidup ini kepada Prof. John M. Frame, D.D. melalui Facebook dan beliau menjawab pertanyaan saya dengan jawaban sebagai berikut:
Certainly God predestines everything that happens (Eph. 1:11), including who we love and marry. Some people believe that each of us has a "soulmate," a kind of ideal marriage partner. I don't know that that is true. Since this is a fallen world, I think all people have problems, and therefore no relationship or marriage can ever be problem-free. But of course some people make better marriage partners than others, and single people should pray that God will lead them to a person who can complement them and lead them to fulfill their God-given potential. That means that marriage is a human choice, and we should make it wisely. It is a choice predestined by God, but that does not detract from the importance of our choice. God's sovereignty and man's responsibility do not compromise one another, according to Scripture. (=Tentu saja Allah mempredestinasikan segala sesuatu yang terjadi (Ef. 1:11), termasuk kepada siapa kita mencintai dan menikah. Beberapa orang percaya bahwa setiap kita memiki seorang “pasangan hidup,” semacam pasangan pernikahan yang ideal. Saya tidak tahu bahwa itu benar. Karena dunia ini adalah dunia berdosa, saya pikir semua orang memiliki masalah-masalah, dan oleh karena itu tidak ada hubungan lawan jenis atau pernikahan yang bisa bebas dari masalah. Tetapi tentu saja beberapa orang memilih pasangan hidup yang lebih baik dari orang lain, dan orang yang masih lajang harus berdoa supaya Allah memimpin mereka kepada orang yang sepadan dengan dia dan memimpin mereka menggenapi potensi yang Allah berikan kepada mereka. Itu berarti bahwa pernikahan itu adalah pilihan manusia, dan kita harus mengusahakannya dengan bijaksana. Itu adalah pilihan yang dipredestinasikan oleh Allah, tetapi itu tidak mengurangi pentingnya pilihan kita. Kedaulatan Allah dan tanggung jawab manusia tidak dapat berkompromi satu dengan yang lain, sesuai dengan Alkitab.)
Pandangan yang hampir sama juga dipaparkan oleh Pdt. Binsar A. Hutabarat, S.Th., M.C.S. ketika saya bertanya kepada beliau tentang pasangan hidup ini melalui chatting:
Jodoh yang ditentukan Allah hanya terjadi pada peristiwa perjumpaan Adam dan Hawa. Dalam orang-orang percaya lainnya tidak ada. Memang dalam mencari pasangan hidup orang percaya harus mengikuti aturan Tuhan, dan jika telah mengikuti apa yang ditentukan Tuhan kita boleh percaya bahwa Tuhan membawa kita pada pasangan yang tepat. Karena itu dalam mencari pasangan hidup, manusia harus aktif namun dengan cara yang benar. Bebas, aktif, terbatas. Misalnya tidak boleh yang tidak seiman ini kriteria utama, jika tidak seiman, itu bukan pernikahan Kristen. Orang yang mengatakan Jodoh itu dari Tuhan juga melaksanakan usaha-usaha tersebut. Jadi dapat disimpulkan, perbedaannya hanya pada pengertian apa itu "jodoh". Karena orang yang meyakini jodoh dari Tuhan pun tidak akan berani menghapuskan usaha manusia untuk menemukan teman hidup.
Jika kita sudah mengerti bahwa jodoh itu dipimpin Tuhan dan dipertanggungjawabkan oleh manusia, apakah jika demikian, kita tidak perlu memiliki standar di dalam memilih lawan jenis bagi calon pasangan hidup kita? Tentu TIDAK! Kita boleh dan perlu menentukan standar di dalam memilih lawan jenis bagi calon pasangan hidup kita. Terlebih lagi, kita juga perlu mempertimbangkan saran dan petuah yang baik dari orangtua, teman, dll. Tetapi di atas semuanya, kita TIDAK boleh memberhalakan standar apa pun baik dari diri, orangtua, teman, dll. Kita harus menjadikan standar Allah sebagai standar yang paling penting dan mutlak di dalam memilih lawan jenis bagi calon pasangan hidup kita. Dengan kata lain, kita harus terbuka pada setiap gerakan pimpinan Roh Kudus yang kadang kala mendadak/tiba-tiba yang melampaui rencana dan pemikiran yang telah kita standarkan tersebut. Berarti, di dalam memilih calon pasangan hidup kita pun, ada dinamika hidup yang dipimpin Roh Kudus. Untuk lebih jelasnya, silahkan membaca buku atau/dan kaset Seminar Pembinaan Iman Kristen (SPIK) dari Pdt. Dr. Stephen Tong yang berjudul Dinamika Hidup dalam Pimpinan Roh Kudus. Jika Tuhan sudah memimpin kita dengan lawan jenis tertentu sebagai calon pasangan hidup kita, sudah seharusnya kita berani menyangkal diri dengan pilihan yang kita anggap baik (tetapi tidak baik dan tidak benar menurut kehendak Allah) dan mencoba mendekati dengan lawan jenis tersebut. Jangan mencoba-coba melawan kehendak-Nya, karena melawan kehendak-Nya berarti dosa. Pekalah terhadap seluruh pimpinan Roh Kudus di dalam setiap aspek kehidupan kita, termasuk memilih calon pasangan hidup.
Semua aplikasi praktisnya akan kita pelajari di poin setelah ini.
Aplikasi dan Akibatnya
Jika kita telah mempelajari dua konsep di atas, bagaimana kita mengaplikasikannya? Apa pula akibatnya?
Setelah kita mengerti bahwa jodoh itu adalah dipimpin Allah dan tetap dipertanggungjawabkan manusia, maka ada beberapa aplikasi praktis yang harus kita (para cowok) perhatikan:
1. Bina Hubungan Pribadi Anda dengan Allah Melalui Firman, Doa, dan Pengalaman Pribadi
Konsep pertama mengaplikasi konsep terakhir ini adalah konsep membangun hubungan pribadi kita dengan Allah. Jika kita ingin mengerti kehendak dan rencana Allah di dalam hal jodoh, tidak ada jalan lain, kecuali kita harus secara teratur membangun hubungan pribadi dengan Allah. Tentu, motivasinya bukan supaya kita mengerti pimpinan Allah di dalam hal jodoh saja, tetapi hal ini kita harus lakukan setiap hari. Ketika kita terus membangun hubungan pribadi dengan Allah, kita akan semakin mengenal kehendak dan pimpinan-Nya yang terbaik. Membangun hubungan pribadi dengan Allah bisa dilakukan dengan tiga sarana, yaitu: Alkitab, doa, dan mengalami-Nya. Melalui Alkitab, kita mengerti apa yang dikehendaki-Nya, yaitu: kekudusan, kebenaran, kemurnian/ketulusan, cinta kasih, keadilan, kejujuran (bukan kemunafikan), dan kesungguhan hati. Melalui doa, kita makin mengenal Allah dan kehendak-Nya dengan terus bercakap-cakap dengan-Nya. Jangan pernah berpikir bahwa doa itu hanya satu arah komunikasi, yaitu kita yang terus berkata-kata dengan Allah. Di dalam doa, harus ada dua arah komunikasi, yaitu kita berbicara kepada Allah dan Allah berbicara dengan kita. Di dalam doa itulah, kita merasakan hadirat Allah yang nyata. Sayang, gereja-gereja Protestan arus utama tidak merasakan hangatnya bersekutu dengan Allah yang hidup. Mereka hanya tahu liturgi, liturgi, dan liturgi, tetapi tidak menghidupi Firman. Dan terakhir, kita membina hubungan pribadi dengan Allah melalui pengalaman hidup sehari-hari. Ketika kita sudah memakai sarana pertama dan kedua, kita mulai mengalami-Nya di dalam hidup kita sehari-hari. Ini bukan sekadar teori, saya sudah mengalaminya langsung. Roh Kudus yang telah mewahyukan Alkitab adalah Roh Kudus yang sama telah mencerahkan hati dan pikiran saya tentang banyak hal, khususnya mengenai pengenalan akan Allah. Jangan biarkan iman Kristen hanya merupakan sekumpulan doktrin mati, tetapi hidupilah iman Kristen melalui Alkitab dan pengalaman kita bersama-Nya setiap hari. Ketika kita terus hidup mengalami-Nya sesuai Firman-Nya, hidup kita akan dipenuhi dengan limpahan sukacita yang tak terhingga.
2. Biarkanlah Alkitab dan Roh Kudus Memimpin Anda dalam Mencari Pasangan Hidup Melalui Hubungan yang Akrab Terlebih Dahulu
Setelah kita membina hubungan pribadi dengan Allah, kita harus dengan rendah hati, membiarkan apa yang telah kita lakukan itu memimpin hidup kita. Apa yang telah kita pelajari melalui Alkitab, doa, dan pengalaman hidup bersama Roh Kudus melalui pimpinan-Nya hendaklah memimpin hidup kita terutama ketika kita mencari dan menemukan pasangan hidup. Sebelum masuk ke dalam mencari dan menemukan pasangan hidup, biasakanlah memiliki kepekaan Roh di dalam melihat lawan jenis. Kepekaan Roh yang saya maksudkan bukanlah seperti yang diajarkan oleh mistisisme “Kristen,” tetapi kepekaan Roh di sini adalah kepekaan yang Roh Kudus berikan di dalam mengenal lawan jenis. Apa yang saya paparkan di sini bukan hanya teori kosong. Saya sendiri mengalaminya, meskipun sampai sekarang belum menemukan pasangan hidup yang cocok.
Roh Kudus terus memimpin saya banyak hal untuk peka melihat lawan jenis dan menetapkan standar memilih pasangan hidup. Ketika saya masih sekolah di SMA “Kristen” di Surabaya, saya mulai tertarik dengan cewek. Karena masih SMA, saya masih seperti anak-anak yang menyukai cewek cantik menjadi pacar/pasangan hidup. Dulu sempat saya mendekati adik kelas waktu SMA, tetapi gara-gara kesalahan saya yang terlalu terburu-buru, akhirnya saya gagal. Roh Kudus terus memimpin saya kembali pada waktu kuliah khususnya memimpin cara pikir saya di dalam memilih pasangan hidup. Saya memiliki banyak teman ketika saya berkuliah di sebuah kampus “Kristen” di Surabaya. Roh Kudus terus memberikan kepekaan yang tajam untuk membentuk saya di dalam menjalin hubungan dengan teman lawan jenis. Kepekaan itu ditunjukkan dengan sikap dan reaksi saya memandang teman lawan jenis. Beberapa teman lawan jenis saya cukup cantik, tetapi entah mengapa Roh Kudus tidak memberikan sedikit rasa tertarik kepada beberapa teman lawan jenis itu (meskipun tidak semua). Jujur, waktu kuliah dulu, saya sempat menaksir seorang teman lawan jenis satu jurusan yang saya pikir dia itu baik, cantik, manis, dan cinta Tuhan (terpenting: saya melihat dia adalah orang yang dapat diajar/teachable/rendah hati). Cewek ini bukan hanya sekadar Kristen, tetapi ia adalah orang Kristen yang melayani Tuhan sambil terus belajar Firman Tuhan. Saya sudah mengenal dia (meskipun belum 100% sempurna) karena sering duduk di dekat dia dan berkomunikasi dengannya di dalam setiap kelas selama beberapa semester. Tetapi sayangnya, saya belum berani mengungkapkan hal itu kepadanya dan mungkin sekali dia hanya menganggap saya teman baik. Mungkin di balik itu, Roh Kudus kurang berkenan akan hal itu.
3. Libatkanlah Allah di dalam Segala Proses Pendekatan yang Kita Lakukan
Setelah kita (cowok) menjalin hubungan dengan lawan jenis (cewek), kita baru mulai mendekati lawan jenis yang kita sukai. Di dalam proses pendekatan ini, kembali, jangan pernah lupa untuk terus melibatkan Allah di dalam segala proses pendekatan kita. Kita tetap mendekati lawan jenis yang kita sukai. Kita harus mengupayakannya dengan berbagai cara yang etis, sopan, dan tidak mengganggu. Tetapi jangan pernah berpikir bahwa karena kita telah berusaha keras, maka ketika kita berhasil atau pun gagal, itu semua karena usaha kita sendiri. Jangan pernah memuji usaha kita sendiri di dalam segala sesuatu! Libatkanlah Allah! Berdoalah kepada Allah dan mintalah bijaksana-Nya untuk menentukan apakah dia adalah pasangan hidup kita sesuai kehendak-Nya. Bagaimana caranya? Belajarlah peka akan pimpinan Roh Kudus ketika sedang menjalin hubungan dekat dengan satu lawan jenis baik melalui komunikasi langsung (bertemu langsung) maupun komunikasi tidak langsung (melalui telepon, SMS, chatting, e-mail, dll). Roh Kudus akan memimpin (dalam arti: memberi bijaksana) kita menilai lawan jenis yang kita dekati ini, sampai sejauh mana lawan jenis ini mencintai Tuhan. Utamakan unsur cinta Tuhan! Jangan pernah menganggap bahwa karena lawan jenis yang kita dekati berada di gereja yang sama dengan kita membuktikan bahwa dia juga cinta Tuhan. Cinta Tuhan TIDAK diukur dari aktif pergi ke gereja. Cinta Tuhan diukur dari kerelaan, kerendahan, dan kemurnian hati di dalam mengasihi dan melayani-Nya. Mengasihi dan melayani-Nya ditandai dengan kemurnian, kesungguhan, dan kerendahan hati kita menempatkan Allah sebagai Tuhan dan Raja di dalam hidup kita dan juga melayani-Nya seumur hidup kita. Jangan pernah tertipu oleh fenomena! Orang yang mengasihi Allah adalah orang yang mencintai Firman-Nya yang tentunya adalah orang yang sudah membaca Alkitab dari Kejadian s/d Wahyu dan berusaha menghidupi Firman yang telah ia baca (1Yoh. 5:2).
Bagaimana jika di dalam proses pendekatan ini, lawan jenis yang kita dekati ternyata sudah memberikan tanda-tanda bahwa ia tidak menyukai kita? Kembalikanlah itu semua kepada Allah dan kehendak-Nya. Jika Roh Kudus benar-benar memantapkan kita dengan lawan jenis yang kita sukai tersebut, maka kita harus mencoba bersabar mendekati si cewek itu, meskipun pada awalnya si cewek kurang responsif. Jangan pernah berputus asa. Tetapi jika Roh Kudus tidak memantapkan kita, jangan sekali-kali memantap-mantapkan diri kita sendiri (self-confidence/percaya diri), lalu terus mencoba mengejar cewek yang tidak diinginkan Allah.
4. Bergumullah di Hadapan Allah Di Dalam Menerima Reaksi Lawan Jenis yang Kita Dekati
Jika kita (cowok) telah mendekati lawan jenis (cewek) yang kita sukai dengan cara-cara yang tepat, sopan, etis, dan tidak mengganggu, maka percayalah bahwa hasil dari pendekatan kita, apakah si lawan jenis itu menerima atau menolak cinta kita adalah kehendak Allah. Jika lawan jenis yang kita sukai ternyata sudah lebih dari satu kali menolak kita secara implisit (misalnya, ketika kita mengirim SMS atau menelpon dia, dia berkata bahwa dia sedang “sibuk”—bukan sibuk sungguhan), maka jangan pernah memaksa terus untuk mendekati dia. Mungkin saja, Allah tidak berkenan ketika kita mendekati lawan jenis yang kita anggap baik itu. Belajarlah peka akan hal itu dan percayalah bahwa kegagalan dan keberhasilan kita di dalam hasil setelah kita mendekati lawan jenis itu berada di dalam koridor pemeliharaan-Nya. Kalaupun lawan jenis yang kita dekati/sukai menolak cinta kita, percayalah Allah sudah dan sedang menyediakan bagi kita pasangan hidup yang lebih baik bagi kita, meskipun kadang-kadang tidak kita sukai secara fenomena. Tetapi apakah selalu berarti bahwa jawaban TIDAK dari si cewek menandakan bahwa Allah melarang kita berhubungan dengannya? TIDAK selalu. Di sini, kita harus peka. Jika kita yakin bahwa cewek yang kita pilih dan dekati ini adalah benar-benar dipimpin oleh Allah, maka kita terus berusaha mendekati dia meskipun dia sempat menolak cinta kita pertama kalinya. Lawan jenis yang telah Ia berikan kepada kita mungkin menolak pada kesempatan pertama, tetapi percayalah Roh Kudus akan membuka hatinya untuk menerima cinta kita, jika memang kita dan lawan jenis kita adalah pasangan yang dikehendaki-Nya.
Bagaimana jika lawan jenis kita menerima cinta kita? Bukankah ini suatu kecocokan? Apakah itu berarti Tuhan menyetujui hubungan kita dengan lawan jenis yang kita pilih? Mungkin ya, mungkin tidak. Gumulkan hal ini kembali di hadapan Tuhan, benarkah Allah menyukainya? Jika ya, teruskan hubungan kita dengan lawan jenis ini. Jika tidak, meskipun si cewek menerima cinta kita, taatlah kepada Tuhan dan pimpinan-Nya, jangan meneruskan hubungan sebelum kita menuai akibat yang tidak diinginkan.
Sebagai contoh nyata dari konsep ini adalah contoh yang saya ambil dari buku Rev. (Pdt.) Joshua Harris yang berjudul “Saat Cowok Ketemu Cewek” (Boy Meets Girl). Di buku ini, Rev. Joshua menceritakan pengalaman hidupnya sendiri dalam mengaplikasikan konsep ini. Dulu, waktu bekerja di gereja, beliau sempat menaksir seorang cewek, teman kantor gerejanya yang sudah lahir baru (sebut saja inisialnya: A). Pada suatu hari Minggu, di gerejanya, ada kesaksian dari seorang cewek yang baru bertobat (sekarang menjadi istrinya Shannon). Pada waktu itu, beliau tidak memiliki perasaan apa-apa dengan cewek yang baru bertobat ini, karena menurut pemikiran beliau, seorang yang baru bertobat belum bisa menjadi pasangan hidup bagi dirinya. Beliau bisa berpikiran begitu karena beliau ingin mendekati cewek A, teman kantor gerejanya tersebut. Tetapi selang beberapa lama, akhirnya Rev. Joshua mengetahui bahwa cewek A ternyata sudah memiliki pacar. Lalu, Allah membawanya untuk lama-lama mengenal Shannon ini, mencoba mendekatinya, berpacaran, dan akhirnya beliau menikah.
Dari kisah ini, kita belajar bahwa pasangan hidup BUKAN merupakan partisipasi kita 100% saja, tetapi juga merupakan partisipasi Allah di atas segalanya. Biarlah kita makin mengalami pimpinan Allah di dalam realitas mencari dan menemukan pasangan hidup sambil kita tetap berusaha sesuai dengan prinsip-prinsip Firman Tuhan.
Semua hal di atas adalah hal yang dilakukan seorang cowok yang aktif, bagaimana dengan reaksi cewek yang didekati? Cewek Kristen seharusnya adalah cewek yang lebih taat kepada Tuhan dan pimpinan Roh Kudus ketimbang perasaan diri mereka sendiri yang bisa saja salah. Ada beberapa hal yang harus cewek Kristen pertimbangkan ketika didekati oleh cowok Kristen?
1. Berdoalah dan Minta Pimpinan Roh Kudus
Mayoritas cewek (atau mungkin bahkan semua) akan mengetahui bahwa jika ada seorang cowok yang mengirimkan SMS atau menelpon dirinya lebih dari satu kali secara teratur (misalnya: 1 minggu bisa 2-3x) itu berarti si cowok ada “hati” atau menaksir dirinya. Nah, beberapa (kebanyakan) cewek, apalagi banyak cewek postmodern (tidak semua) adalah cewek yang pragmatis, yang hendak memandang fenomena luar si cowok sebagai standar apakah si cewek juga suka atau tidak suka dengan si cowok. Jika si cewek suka dengan ketampanan si cowok, maka begitu si cowok mendekati dirinya, dia langsung meresponi, tetapi ketika si cewek ditaksir oleh cowok yang biasa-biasa, maka dia tidak meresponinya, bahkan menolak mentah-mentah. Cewek Kristen yang cinta Tuhan HARUS membuang semua unsur fenomena tersebut dan melihat esensinya. Tetapi hal ini TIDAK berarti cewek Kristen menerima semua cowok yang menaksirnya. Inti yang harus diperhatikan adalah bukan hal-hal fenomena, seperti, tampan, kaya, dll, tetapi hati. Untuk itulah, maka di titik pertama, saya mengatakan bahwa cewek yang didekati oleh seorang cowok harus berdoa meminta hikmat dan pimpinan Roh Kudus apakah cowok yang mendekatinya adalah cowok yang dikehendaki Allah atau tidak. Cewek Kristen sejati adalah cewek yang hatinya untuk Tuhan melihat segala sesuatu dari perspektif Allah, sehingga setiap keputusan yang dibuatnya bukan berdasarkan perasaan sesaat, tetapi berdasarkan kehendak dan rencana-Nya yang berdaulat.
2. Belajar Saling Mengenal (dan Dikenal)
Setelah berdoa dan meminta pimpinan Roh Kudus, cewek Kristen harus belajar saling mengenal dan dikenal. Artinya, cewek Kristen sejati adalah cewek yang hatinya terbuka, baik untuk mengenal cowok yang mendekatinya dan juga ia sendiri terbuka apa adanya tentang dirinya terhadap cowok yang mendekatinya itu. Di sini, kita melihat adanya hubungan saling mengenal (cowok mengenal cewek dan cewek mengenal cowok) yang dibangun bahkan sejak di dalam proses pendekatan. Saling mengenal adalah saling mengenal seluruh pribadi masing-masing, saling belajar, saling memberi masukan/nasihat, dll yang kesemuanya berdasarkan standar kebenaran Firman Tuhan. Jika di dalam proses pendekatan ini, banyak hal boleh terbuka, maka ketika berpacaran dan menikah kelak, perbedaan pola pikir, kebiasaan, dll bukan menjadi halangan yang berarti. Kecenderungan anak muda zaman sekarang adalah ketika mendekati lawan jenis, mereka tidak saling terbuka, akibatnya tidak heran, jika suatu saat mereka berpacaran dan menikah, mereka akan terkaget-kaget dengan kebiasaan lawan jenisnya yang berbeda dari apa yang sudah mereka ketahui pada waktu pendekatan.
3. Putuskan Segala Sesuatunya Berdasarkan Pimpinan Roh Kudus yang Jelas
Jika di dalam proses pendekatan tersebut, kalian mendapati karakter si cowok ada yang kurang beres, apa yang harus kalian lakukan? Menolaknya mentah-mentah? TIDAK! Adalah suatu keputusan yang bijaksana jika para cewek: Pertama, mengklarifikasi standar karakter tersebut, apakah dari standar Allah atau standar umum (atau bahkan standar kebiasaan keluarga kalian)? Jika memang karakter si cowok tetap berada di dalam koridor kebenaran Alkitab, tetapi agak asing bagi kita yang mungkin belum terbiasa, biasakan kalian belajar dari si cowok. Jika karakter si cowok kurang beres di dalam hal-hal sepele (misalnya, mudah marah untuk hal-hal yang tidak penting, dll), biasakan juga menerima kekurangan si cowok sambil berusaha mengoreksinya. Nah, si cowok harus dengan rela hati dikoreksi. Tetapi jika karakter si cowok benar-benar tidak beres di dalam hal-hal esensial, si cewek harus menegurnya. Tetapi jika si cowok menolak teguran itu pertama kalinya, mintalah pimpinan Roh Kudus apakah kalian harus tetap meneruskan hubungan dengan si cowok ini atau segera menyudahinya. Mengapa harus meminta pimpinan Roh Kudus? Bukankah kita bisa langsung memutuskan hubungan saja dengan si cowok? TIDAK BISA! Jangan mengambil keputusan berdasarkan emosi sesaat! Biasakan melibatkan Allah di dalam mengambil keputusan. Mungkin saja, si cowok pertama kalinya sungkan atau tidak mau menerima teguran dari si cewek, karena cowok tersebut gengsi. Adalah tugas si cewek membukakan pola pikir si cowok untuk menerima kekurangannya sambil mengoreksinya dengan ketulusan dan kemurnian berdasarkan Firman Tuhan. Dan juga, si cewek pun harus berani rela dikoreksi jika si cowok mengoreksi dirinya. Jika si cowok ini merupakan pasangan hidup kalian kelak, maka Roh Kudus akan membuka hati dan pikiran si cowok ini pelan-pelan, sehingga si cowok dan kalian saling bertumbuh di dalam Kebenaran Firman.
Dari prinsip di atas, ada satu hal lagi yang perlu diperhatikan di dalam proses pendekatan, baik cewek maupun cowok harus saling menghormati perbedaan yang fenomenal (sekunder) dan tidak saling memaksa. Perbedaan fenomenal/sekunder ini biasanya meliputi perbedaan cara berpikir, karakter, kerohanian, dll. Jika pada waktu pendekatan, cowok dan cewek saling menghormati perbedaan sekunder ini, maka mereka tidak akan menghadapi percekcokan kelak pada waktu berpacaran dan menikah. Percekcokan yang tidak berarti sering kali terjadi pada pasangan suami istri, misalnya perbedaan cara menggosok gigi, makan, kombinasi warna pakaian (baju dan celana/rok), dll. Mengapa bisa demikian? Karena dari tahap pendekatan, mereka tidak bisa saling menghormati satu sama lain, yang sering terjadi adalah si cewek yang kebanyakan mengatur si cowok bahkan untuk hal-hal sepele! Cewek Kristen harus bertobat dari kebiasaan buruk ini, belajarlah untuk tidak terlalu cerewet untuk hal-hal yang TIDAK PENTING!
Nah, setelah tahap pengenalan, maka si cowok pasti akan “menembak” si cewek yang didekatinya suatu saat. Sekarang, keputusan berada di tangan cewek. Adalah suatu hal yang bijaksana jika si cewek memberikan keputusan tersebut dengan bersandar pada hikmat dan pimpinan Roh Kudus, yaitu: menerima atau menolak si cowok yang mendekati kalian. Atau dengan kata lain, berdoalah meminta hikmat-Nya ketika hendak memberikan keputusan pada saat si cowok “menembak” kalian. Jika semuanya dilakukan sesuai dengan pimpinan Roh Kudus dan prinsip Alkitab, maka tentunya cewek Kristen tidak lagi memakai standar-standar yang mereka bangun sendiri (misalnya, cowok ini “antik”, padahal antik yang kalian mengerti adalah antik dalam hal-hal sepele, tetapi kalian tidak mau mengerti mengapa dia antik dan mencoba mengubah keantikannya).
Lalu, apa akibat dari konsep terakhir ini? Karena kita percaya bahwa jodoh itu dipimpin Tuhan dan tetap dipertanggungjawabkan oleh manusia, kita tidak perlu kuatir bahwa kita akan salah jalan. Mengapa? Karena kita percaya bahwa Ia selalu memberikan kepada anak-anak-Nya pilihan yang terbaik bagi kemuliaan-Nya, meskipun itu kelihatan “tidak baik” menurut kita. Iman inilah yang mengakibatkan kita tetap berusaha mencari dan mendekati lawan jenis sambil tetap berserah kepada Allah dan pimpinan-Nya. Ia memberikan kita bijaksana di dalam memilih pasangan hidup sesuai dengan prinsip-prinsip firman-Nya, di sisi lain Ia menuntut kita berserah total akan pimpinan Allah di dalam pemilihan pasangan hidup itu. Itulah tandanya kita mengerjakan apa yang menjadi bagian kita dan menyerahkan apa pun yang melampaui bagian kita kepada Allah yang Berdaulat mutlak. Dan lihatlah bagaimana Allah bertindak dengan luar biasa dahsyat bagi kehidupan pernikahan kita kelak di mana nama Tuhan dipermuliakan selama-lamanya. Sudahkah Anda mengalaminya?
KESIMPULAN DAN TANTANGAN BAGI KITA
Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita menyerahkan hidup kita termasuk masalah pasangan hidup kepada Allah yang telah mencipta, memelihara, dan memberikan kepada kita pasangan hidup yang sesuai dengan kehendak-Nya? Sekali lagi, Ia telah memberikan pasangan hidup yang sepadan kepada kita, namun Ia memimpin kita dengan memberi hikmat dan bijaksana-Nya kepada kita di dalam mencari dan menemukan pasangan hidup itu. Kesemuanya itu bertujuan hanya untuk kemuliaan Allah saja. Amin. Soli Deo Gloria.
“Knowledge of God involves trust and reverence”
(=Pengenalan akan Allah melibatkan kepercayaan dan kepatuhan)
– Dr. John Calvin; Institutes of the Christian Religion, I.II.2, hlm. 41 –
Hati-hatilah, supaya jangan ada yang menawan kamu dengan filsafatnya yang kosong dan palsu menurut ajaran turun-temurun dan roh-roh dunia, tetapi tidak menurut Kristus.
(Kol. 2:8)
JODOH: Di Tangan Tuhan atau Manusia?
(Analisa Theologis dan Biblika Terhadap Masalah Pasangan Hidup)
oleh: Denny Teguh Sutandio