Oleh: DR. Sonny Eli Zaluchu, MA
Mitos kepemimpinan yang paling berbahaya adalah bahwa seorang pemimpin tercipta saat dilahirkan – bahwa ada faktor genetik pada kepemimpinan. Mitos itu juga menegaskan bahwa manusia memiliki atau tidak memiliki sifat karismatik tertentu. Itu semua adalah omong kosong; nyatanya, yang benar adalah kebalikannya. Para pemimpin dibentuk dan bukan dilahirkan (Warren G. Bennis)
Pendahuluan
Banyak orang salah mengerti tentang kepemimpinan. Mereka beranggapan bahwa kepemimpinan melekat di dalam kekuasaan, posisi atau jabatan. Anggapan klasik tentang kepemimpinan adalah seseorang yang memiliki posisi tertentu atau jabatan tertentu di dalam sebuah organisasi. Melalui posisi, kedudukan dan kekuasaan yang dimilikinya, orang menjadi takut dan segan.
Saya pernah memiliki paham seperti itu waktu menjadi guru di sebuah SMU di Kota Semarang . Membuat murid-murid takut dan tunduk pada saya, merupakan kehormatan yang layak saya terima sebagai seorang pemimpin di tengah-tengah mereka. Saya beranggapan bahwa posisi (sebagai seorang guru) memang telah menentukan kedudukan saya sebagai seorang pemimpin. Ternyata semua itu tidak betul. Pemimpin tidaklah lahir dari kedudukan atau posisi. Bahkan lebih dari itu, pemimpin tidak dilahirkan tetapi dibentuk.
Banyak orang yang menjadi pimpinan di sebuah organisasi telah salah kaprah bertahun-tahun menganggap dirinya (lahir) sebagai seorang pemimpin. Yang disebut pemimpin bukanlah pimpinan. Kepemimpinan, seperti disebutkan oleh John Maxwell dalam bukunya Developing Leader within You, adalah pengaruh. Dengan demikian, pemimpin adalah seseorang yang memiliki pengaruh kepada orang lain. Semakin luas pengaruhnya maka semakin besar lingkup kepemimpinannya. Pengaruh apa? Pengaruh untuk bergerak mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan bersama.
Ken Blanchard menulis di dalam bukunya Lead Like Jesus seperti ini, Leadership is process of influence. Anytime you seek to influence the thinking, behavior, or development of people toward accomplishing a goal in their personal or professional lives, you are taking on the role of a leader. Artinya kurang lebih seperti ini. Kepemimpinan adalah sebuah proses mempengaruhi. Setiap kali seseorang berusaha mempengaruhi cara berpikir, perilaku atau perkembangan orang lain untuk mencapai tujuan hidupnya, seseorang itu sedang menjalankan perannya sebagai pemimpin.
Memimpin Seperti Yesus
Para pakar kepemimpinan kini banyak menggunakan Yesus dan ajaran-Nya sebagai sebuah model kepemimpinan. Di antara sekian banyak teori kepemimpinan yang berkembang akhir-akhir ini, Injil kembali menjadi bahan pengajaran kepemimpinan dengan menempatkan Yesus sebagai modelnya. Yesus adalah seorang pemimpin bahkan pemimpin yang besar. Ajaran Yesus di dalam Injil adalah sebuah pembelajaran tentang kepemimpinan sejati yang dikenal dengan kepemimpinan yang melayani (Servant Leadership), yang hingga kini masih sangat relevan sebagai sumber inspirasi bagi kepemimpinan Kristen dimanapun dikembangkan dan dipraktekkan. Mengapa Yesus?
Di dalam tiga setengah tahun pelayanan-Nya di bumi, Yesus memimpin 12 orang murid yang akhirnya menjadi ujung dari ‘ujung tombak’ pemberiaan Injil ke seluruh dunia. Dari orang-orang Galilea, kasar dan tak berpendidikan, Yesus mencetak 12 Rasul yang penuh dedikasi, berkarakter seperti diri-Nya dan berhasil meneruskan apa yang menjadi keinginan-Nya. Yesus membentuk mereka menjadi seorang pemimpin melalui pengajaran dan gaya hidup, dimana mereka bergaul langsung dengan-Nya dari hari ke hari dan mendengar langsung pengajaran-Nya di setiap waktu. Kekristenan yang kita dalami hari-hari ini tidak pernah dapat dilepaskan dari peranan para rasul yang berhasil di dalam menjalankan tugasnya. Dalam hal ini, Yesus membuktikan satu hal, pemimpin dibentuk dan bukan dilahirkan. Apa saja yang Yesus ajarkan kepada para murid-Nya?
Dalam model Yesus, seorang pemimpin adalah seorang yang mengubahkan. Pemimpin membawa pengaruh untuk menghasilkan perubahan di dalam diri orang lain. Dalam konteks pendidikan, gereja, lembaga pemerintahan, dapat ditarik paralelnya. Seseorang yang menduduki posisi puncak barulah disebut sebagai pemimpin jika kehadirannya membawa perubahan positif bagi orang-orang disekitarnya. Perubahan nilai di dalam diri orang-orang (yang terkena pengaruh tersebut) akan membentuk sebuah sistem nilai yang juga baru di lingkungan dimana orang-orang itu berada. Fokus utamanya adalah pembentukan nilai-nilai di dalam diri orang lain, sehingga terbentuk sebuah karakter dan kebiasaan (habits) yang bagus dan luar biasa, yang mencerminkan Kristus.
Mengajar Perubahan
Yesus mengajar kepada para murid-Nya untuk menjadi agen perubahan. Di dalam Matius 9:16-17 dikatakan “Tidak seorangpun menambalkan secarik kain yang belum susut pada baju yang tua, karena jika demikian kain penambal itu akan mencabik baju itu, lalu makin besarlah koyaknya. Begitu pula anggur yang baru tidak diisikan ke dalam kantong kulit yang tua, karena jika demikian kantong itu akan koyak sehingga anggur itu terbuang dan kantong itupun hancur. Tetapi anggur yang baru disimpan orang dalam kantong yang baru pula, dan dengan demikian terpeliharalah kedua-duanya”
Perubahan berarti lahirnya sesuatu yang baru dan benar-benar baru. Melalui keberadaan kita di komunitas, kita dituntut membawa dan melahirkan perubahan. Bukan justru menunda terjadinya perubahan dengan alasan tradisi. Perubahan adalah proses untuk maju. Orang yang tidak mau berubah sesungguhnya tidak punya dunia baru. Dirinya tidak ubahnya seperti kantong anggur lama yang siap ‘sobek’ karena diisi dengan anggur baru.
Ada tiga tipe orang di dalam menyikapi perubahan. Tipe pertama adalah tipe orang yang anti perubahan. Golongan ini tidak mau terjadi perubahan dan mempertahankan ‘status quo’. Dalam dunia pelayanan Yesus, mereka adalah kaum Farisi. Kelompok agama ini takut sekali dengan dinamika perubahan yang terjadi saat Yesus mulai terlihat di mengajar dimana-mana. Kelompok anti perubahan adalah kelompok yang tidak mau perubahan terjadi karena hal itu akan sangat merugikan kepentingan mereka sendiri. Kalaupun perubahan terjadi, mereka cuma akan mengkritisi perubahan tersebut dan menonton-nya dari jauh. Tipe kedua adalah tipe yang mengikuti perubahan. Dalam kelompok ini, ketika perubahan terjadi, orang-orang akan menerjunkan diri didalamnya dan mengikuti arus perubahan tersebut, melakukan penyesuaian-penyesuaian dan turut berubah. Tetapi bukan kedua golongan tersebut yang Yesus maksudkan. Dia justru menghendaki (tipe ketiga) kita sebagai agen perubahan; orang-orang yang menciptakan perubahan dimanapun mereka berada. Tentu saja perubahan dimaksud adalah perubahan positif.
Konteks perubahan yang Yesus maksudkan adalah perubahan transformatif. Prosesnya seperti urut-urutan biologis perubahan kepompong menjadi kupu-kupu yang indah.
Kepemimpinan yang Melayani
Selain berbicara tentang perubahan, Yesus mengajar sebuah hal penting yang tidak pernah ada di dalam teori kepemimpinan kontemporer, yakni kepemimpinan yang melayani (servant leadership). Kalaupun akhir-akhir ini banyak teori kepemimpinan yang melayani telah dikembangkan dimana-mana, sebetulnya, ide tersebut digali dari pengajaran Yesus tentang kepemimpinan yang melayani.
Jika dicermati, melayani adalah sebuah unsur yang sangat mewarnai kepemimpinan Yesus. Dalam bukunya Chief Executive Officer, Laurie Beth Jones mengatakan, “Dia melayani orang-orang-Nya”. Bahkan dapat dikatakan bahwa melayani adalah jiwa dari kepemimpinan rohani yang Yesus ajarkan kepada anak-anak-Nya. Charles R. Swindoll, dalam bukunya Improving Your Serve: The Art of Unselfish Living, menulis sebagai berikut. “Ia datang untuk melayani dan memberi. Oleh karena itu tidak berlebihan kalau kita katakan bahwa Tuhan juga menghendaki hal yang sama dalam diri kita. Setelah kita ditebus menjadi anak-Nya melalui iman kita kepada Kristus, Tuhan ingin membentuk kita agar memiliki karakter yang telah menjadikan Kristus berbeda dari orang-orang lain pada zaman-Nya. Tuhan berkehendak untuk mengembangkan sikap melayani dan memberi dalam diri setiap anak-Nya, sama seperti yang dimiliki oleh Kristus”.
Konsep utama Yesus tentang kepemimpinan yang melayani, terlihat di dalam kalimatnya berikut ini. "Kamu tahu, bahwa pemerintah-pemerintah bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi dan pembesar-pembesar menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka.” (Matius 20:25).
Melalui perkataan-Nya itu Yesus ingin membuat perbandingan bahwa kepemimpinan dengan gaya dunia memiliki ciri-ciri otokratis; lebih banyak memerintah daripada melayani pengikut; lebih banyak menempatkan pimpinan sebagai bos daripada pemimpin. Yesus mengajarkan bahwa seorang pemimpin justru harus menjauhi hal-hal berbau otokratis. Gaya otokratis bertolak belakang dengan yang Yesus kehendaki dan tampilkan, yakni kasih dan pengampunan.
Pemimpin yang otokratis tidak mau merendahkan dirinya di hadapan pengikutnya, terlebih tidak mau melayani pengikutnya. Ia bahkan tidak memiliki kasih. Sebaliknya, bagi Yesus, pemimpin adalah pelayan bagi pengikut. Bukan penguasa. Kepemimpinan ada bukan untuk memerintah tetapi untuk melayani. Hal tersebut sangat jelas di dalam kalimatnya yang sangat terkenal, “Tidaklah demikian di antara kamu. Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi yang terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hamba untuk semuanya.” (Markus 10:43-44)
Di dalam nats tersebut jelas terlihat ajaran Yesus bahwa langkah pertama untuk belajar memimpin, adalah belajar mengikuti dengan cara memposisikan diri sebagai hamba. Hamba selalu mengikuti apa yang dikatakan tuannya.
Pada waktu Yesus menyampaikan kalimat-Nya tersebut Ia ingin mengakhiri kontroversi di kalangan murid-murid-Nya sendiri tentang siapa yang terbesar di antara mereka. Semua murid-murid itu adalah pemimpin yang sedang dipersiapkan dan kematangan mereka sebagai seorang pemimpin ditentukan oleh masa-masa latihan bersama Yesus. Persoalannya adalah murid-murid dikacaukan oleh pemahaman yang salah tentang kepemimpinan. Mereka lebih cenderung memahami kepemimpinan sebagaimana pemerintah-pemerintah bertangan besi, dan keras terhadap rakyatnya sehingga mereka ingin menirunya.
Kepemimpinan dunia yang diktator bukanlah satu-satunya jalan untuk membuat orang lain tunduk dan taat kepada pemimpinnya. Lagipula, di dalam kerajaan Allah, bukan model kepemimpinan seperti itu yang Yesus ajarkan. Menjadi yang pertama bukan berarti menguasai yang lain di posisi yang lebih tinggi. Bukan pula menjadi seorang yang mengontrol, mengeksploitasi atau mendominasi orang lain. Pada waktu Yesus berkata, “Jikalau kamu ingin menjadi yang pertama,” maksud-Nya menunjuk pada kepemimpinan yang artinya pertama di dalam barisan atau kumpulan. Dengan demikian dapat dimengerti bahwa keutamaan dalam kepemimpinan bukanlah dibangun di atas dasar kekuasaan.
Salah seorang pakar manajemen, Robert Greenleaf, mengembangkan konsep “yang pertama” ke dalam dunia sekular. Pada tahun 1970 Greenleaf menulis sebuah buku manajemen berjudul The Servant as Leader (pelayan sebagai pemimpin). Ide pokoknya adalah, seorang pemimpin besar mula-mula harus melayani orang lain, dan bahwa kenyataan yang sederhana ini merupakan inti dari kebesarannya sebagai seorang pemimpin. Siapapun pasti mau menjadi yang pertama. Itu merupakan keinginan pribadi para murid, bahkan juga keinginan kita semua. Persoalannya adalah apakah kita mau menjadi seorang hamba atau pelayan?
Penutup
Memimpin seperti Yesus (lead like Jesus) bukanlah perkara yang mudah tetapi sekaligus juga bukan sesuatu yang sulit untuk dilakukan. Modalnya cuma satu yakni hati. Yesus mengajarkan kepemimpinan hamba dan melayani, pada intinya, terpusat pada apa yang ada di dalam hati seorang pemimpin. Hati akan menentukan apa yang terlihat keluar.
Pemimpin dengan hati drakula cuma hadir untuk menjajah orang lain, memanfaatkan sistem corrupt untuk kepentingannya sendiri dan tidak memiliki integritas untuk memperjuangkan kebenaran. Tipikal pemimpin model ini sekarang telah direpresentasikan dimana-mana, di lingkungan birokrat, politikus, pelayan masyarakat bahkan di dalam gereja. Mereka menganggap dirinya sebagai pemimpin. Padahal, mereka adalah hamba ambisi, hamba upahan dan hamba kekuasaan. Gereja dan kalangan pemerintahan khususnya, sudah mengalami krisis di dalam hal kepemimpinan yang melayani. Orang-orang itu tidak melayani karena mereka ‘harus’ melayani sebagai sebuah tanggung jawab. Mereka melayani karena beban pekerjaan, upah atau motivasi lainnya.
Pemimpin dengan hati Yesus tidak hadir dengan kekuasaan. Dia hadir dengan fungsi di dalam dirinya dan fungsi ini mengarah pada tindakan untuk menghormati, melayani dan membuat sesuatu terjadi di dalam diri orang lain. Tipikal pemimpin seperti inilah yang menjadi ideal kita bersama dan tentu saja harus kita perjuangkan. Sudah bukan zamannya lagi pemimpin menjadi bos bagi anak buahnya. Pemimpin yang punya hati sebagai hamba justru seorang pemimpin yang besar. Tangan Tuhan yang kuat akan mempromosikannya. Coba buktikan.
Sumber: http://glorianet.org/kolom/kolo_304.html