saat usianya 16 tahun, matanya tak lagi dapat melihat dengan baik dan akhirnya buta total. “Meskipun khawatir akan masa depan, tapi kami percaya pasti Tuhan menolong …,” ungkap Willing, kelahiran lampung, 3 Maret 1962 mengawali kisahnya.
JEMBATAN PATAH
Malam itu, diakhir 1978 ia diminta ibunya mengembalikan obeng milik tetangganya. Willing berlari. Saat mengin-jak jembatan di depan rumah tetang-ganya itu, jembatan patah dan kening kiri Willing membentur trotoar. Meski terasa sakit, Willing tak menghiraukan. Karena, tak ada luka dan darah yang keluar. Willing menganggap biasa saja, paling-paling sebentar lagi rasa sakitnya hilang, pikirnya saat itu. Maka ia pun diam saja tak menceriterakan kepada orangtua dan ketiga kakaknya. “Sampai akhirnya mereka melihat cara jalan saya tidak lurus lagi, kadang-kadang nabrak. Penglihatan saya mulai kabur saat itulah saya baru cerita kepada mereka,” tutur anak bungsu dari empat bersaudara pasangan Ali dan Lina.
Keluarganya membawa Willing ke optik untuk periksa mata. Dalam pikiran mereka waktu itu Willing hanya perlu bantuan kacamata. Tapi ternyata problem mata Willing cukup berat, kacamata tak mampu menolong.
BUTA TOTAL
Tak ada cara lain Willing lantas menjalani operasi mata. Ia dan seluruh keluarga tentu berharap dengan operasi itu mata kembali seperti semula. Namun ternyata meleset. Bukannya lebih baik, kondisi mata Willing justru makin parah. Ia tidak bisa lagi melihat apa pun. Matanya buta total. Tak dapat dipungkiri ada kekecewaan yang luar biasa. Tapi mau bilang apa operasi itu sudah dilakukan. Meskipun kecewa, mereka tidak menuntut apapun pada rumah sakit.
Mereka tetap percaya, Tuhan pasti akan menolong. “Pada awal kebutaan saya selalu bertanya pada Tuhan, kenapa ini terjadi? Namun Roh Kudus itu menghidupkan firman yang sering saya dengar bahwa Tuhan akan menolong. Pertanyaan kenapa begini, kenapa begitu berubah menjadi aksi mencari jalan keluar bagaimana mengatasi kebutaan.” Willing sungguh bersyukur karena dikelilingi oleh orang-orang yang mengasihinya. Orangtua dan kakaknya sangat perhatian.
BERPRESTASI DI SEKOLAH
Willing lantas sekolah di SMP Tan Miat, Jakarta Selatan, sekolah luar biasa negeri bagian A bagi para tunanetra yang juga menyediakan asrama. Hal pertama yang dilakukan adalah belajar huruf braille. Sesuatu yang tak pernah terlintas di benak-nya, ia akan belajar huruf bagi tunanetra itu. Selain belajar di sekolah, Willing juga les privat membaca dan menulis braille. Bahkan setiap bulan tatkala Willing pulang ia dilatih mengetik oleh kakaknya sampai akhirnya mahir mengetik 10 jari. Ia sungguh belajar keras. “Kamu jangan sampai gagal, “ kata kokonya setiap kali mendampingi Willing belajar. Jerih payah itu pun tak sia-ia. Di kelas, ia selalu juara 1 atau 2. Tahun 1980, ia terpilih menjadi bintang pelajar tunanetra se-Jakarta.
Di sekolah luar biasa itu Willing juga berlatih gitar dan drum. Ia sangat serius belajar bahasa Inggris dari seorang pengajar voluntir bernama Ibu Sastrohardjo yang sangat perhatian lan-taran Willing bercita-cita jadi pendeta.
Lulus SMP, Willing melanjutkan sekolah. Tak gampang karena waktu itu mau tak mau harus mencari sekolah umum. Artinya ia berada diantara siswa yang normal. Bukan perkara mudah mencari sekolah yang mau menerimanya. Akhirnya Willing diterima di SPG Budaya dengan catatan kalau tidak bisa mengikuti pelajaran harus rela keluar. Inilah tantangan.
PERJUANGAN KERAS
Jarak rumah dan sekolah lumayan jauh, Willing ganti kendaraan umum tiga kali. “Berangkat sekolah saya diantar kakak saya, Ko Apang. Kadang ia harus ngebut mendahului bis supaya bis berhenti. Lalu Ko Apang menaikan saya ke bis barulah ia buka kios di pasar. Koko saya sangat berkorban, ia terlambat menikah menunggu saya mandiri. Mama pernah bilang, untung Mama sudah kenal Tuhan Yesus kalau gak, mungkin gila karena peristiwa kebutaan saya,” kenangnya penuh haru.
Meskipun dibantu tongkat untuk berjalan kerap kali Willing menabrak atau terjatuh, pernah masuk got yang cukup dalam. Ia mendengar tawa dari orang-orang yang melihatnya. Namun lambat laun ia menganggapnya biasa. Willing memilih tidak mudah putus asa. Ketika tantangan datang Ia sangat percaya Tuhan akan membuka jalan-jalan baginya.Di sekolah Willing dibantu teman-teman dalam membaca buku-buku pelajaran. Sebaliknya, Willing kerap dimintai tolong mengetik tugas sekolah mereka. Lagi-lagi, di sekolah orang normal itu pun Willing meraih juara dua dari dua kelas dengan jumlah seratus siswa.
MELAYANI PENDERITA KUSTA
Selepas SMA, Willing belajar di Sekolah Alkitab Berea, Salatiga. Ia sangat senang mempelajari firman Tuhan. Semangat pelayanannya makin terpacu. Firman yang ia baca dan dengar makin membuatnya kuat. Setelah lulus 1988, itulah Willing kembali ke Jakarta pelayanan di GSJA Charismatic Worship Service (CWS). Ia melayani tuna wisma, mengajar sekolah minggu dan sering main musik di kebaktian dewasa muda.
Bersama Ibu Tumada, istri mantan Direktur RS. Sitanala, mereka merintis pelayanan di rumah sakit bagi penderita kusta itu. “Pertama kali ke Sitanala, Ibu Tumada kaget, dia tidak tahu kalau saya buta. Katanya, sewaktu dia lihat saya di gedung CWS jalan saya lincah tanpa tongkat. Yah, kalau di gedung ini sih saya sudah hapal” katanya tentang gedung CWS di Gedung Kenanga, Senen, Jakarta Pusat tempat wawancaranya dengan Bahana.Willing pun sibuk melayani, hal yang paling menyentuh hatinya saat berada di tengah penderita kusta. Beberapa kali, Willing mendampingi mereka, di saat-saat terakhir menjelang pulang di panggil Tuhan. Mereka mati dalam penderitaan fisik tapi tetap percaya Tuhan.
MELAYANI KELILING PULAU
Willing ingin terus berkembang, ia menyelesaikan kuliah S1 di Satya Bhakti (SATI), Malang. 29 Mei 1998, saat masih kuliah di SATI, Willing melangsungkan pernikahan dengan Jo Hanna Yosepha, wanita yang dikenalnya tahun 1988 pada acara hari misi, “Hanna itu hadiah Natal dari Tuhan. Saya menyatakan cinta 25 Desember 1993 setelah ibadah Natal. Lulus SMP, Willing melanjutkan Meskipun saya sudah siap resiko kalau ditolak. Tapi Puji Tuhan, dia menerima saya.” katanya tertawa yang disambut tawa Hanna yang menemaninya wawancara. Mereka menikah di kampus satu hari setelah ada acara wisuda. Kata teman-teman kuliahnya, biar nggak perlu beli bunga dan nggak perlu dekor. Soalnya saat wisuda banyak sekali kiriman bunga.
Kini bersama Hanna, Willing terus melayani Tuhan tanpa pilih-pilih. Ke mana pun Tuhan membawanya pergi, ia akan pergi. Kakinya pernah menjelajahi berbagai daerah di Indonesia dan juga negara lain untuk memberitakan Kabar Baik. Suatu hal yang tentu saja, tak pernah ia bayangkan sebelumnya.Willing dipertemukan dengan banyak orang yang mendorongnya maju. Salah satunya Barnabas Ong, pendeta tunanetra yang melayani di Australia. Atas bantuan Barnabas, Willing dan Hanna mengambil program S2 di STT Kharisma. Willing mengaku, Tuhan memakai banyak orang untuk memberkatinya.
“Dulu saya sempat berpikir, bahwa cita-cita saat di sekolah minggu jadi pendeta bakal batal. Khotbah kan perlu kontak mata. Banyak pergi pelayanan rasanya sulit bagi tunanetra. Tapi Tuhanlah yang telah mengerjakan ini semua. Saya bahagia kalau ada orang bertobat…” jelas Willing yang ditahbiskan pendeta di GSJA pada September 1996 itu. Willing terdiam. Tangisnya pecah. Wajah Willing memerah, ia menyeka matanya yang basah. Entah berapa banyak orang yang telah dicelikkan matanya lewat pelayanan Willing. Penderitaanpun dipakai-Nya bagi kemuliaan Allah.
JEMBATAN PATAH
Malam itu, diakhir 1978 ia diminta ibunya mengembalikan obeng milik tetangganya. Willing berlari. Saat mengin-jak jembatan di depan rumah tetang-ganya itu, jembatan patah dan kening kiri Willing membentur trotoar. Meski terasa sakit, Willing tak menghiraukan. Karena, tak ada luka dan darah yang keluar. Willing menganggap biasa saja, paling-paling sebentar lagi rasa sakitnya hilang, pikirnya saat itu. Maka ia pun diam saja tak menceriterakan kepada orangtua dan ketiga kakaknya. “Sampai akhirnya mereka melihat cara jalan saya tidak lurus lagi, kadang-kadang nabrak. Penglihatan saya mulai kabur saat itulah saya baru cerita kepada mereka,” tutur anak bungsu dari empat bersaudara pasangan Ali dan Lina.
Keluarganya membawa Willing ke optik untuk periksa mata. Dalam pikiran mereka waktu itu Willing hanya perlu bantuan kacamata. Tapi ternyata problem mata Willing cukup berat, kacamata tak mampu menolong.
BUTA TOTAL
Tak ada cara lain Willing lantas menjalani operasi mata. Ia dan seluruh keluarga tentu berharap dengan operasi itu mata kembali seperti semula. Namun ternyata meleset. Bukannya lebih baik, kondisi mata Willing justru makin parah. Ia tidak bisa lagi melihat apa pun. Matanya buta total. Tak dapat dipungkiri ada kekecewaan yang luar biasa. Tapi mau bilang apa operasi itu sudah dilakukan. Meskipun kecewa, mereka tidak menuntut apapun pada rumah sakit.
Mereka tetap percaya, Tuhan pasti akan menolong. “Pada awal kebutaan saya selalu bertanya pada Tuhan, kenapa ini terjadi? Namun Roh Kudus itu menghidupkan firman yang sering saya dengar bahwa Tuhan akan menolong. Pertanyaan kenapa begini, kenapa begitu berubah menjadi aksi mencari jalan keluar bagaimana mengatasi kebutaan.” Willing sungguh bersyukur karena dikelilingi oleh orang-orang yang mengasihinya. Orangtua dan kakaknya sangat perhatian.
BERPRESTASI DI SEKOLAH
Willing lantas sekolah di SMP Tan Miat, Jakarta Selatan, sekolah luar biasa negeri bagian A bagi para tunanetra yang juga menyediakan asrama. Hal pertama yang dilakukan adalah belajar huruf braille. Sesuatu yang tak pernah terlintas di benak-nya, ia akan belajar huruf bagi tunanetra itu. Selain belajar di sekolah, Willing juga les privat membaca dan menulis braille. Bahkan setiap bulan tatkala Willing pulang ia dilatih mengetik oleh kakaknya sampai akhirnya mahir mengetik 10 jari. Ia sungguh belajar keras. “Kamu jangan sampai gagal, “ kata kokonya setiap kali mendampingi Willing belajar. Jerih payah itu pun tak sia-ia. Di kelas, ia selalu juara 1 atau 2. Tahun 1980, ia terpilih menjadi bintang pelajar tunanetra se-Jakarta.
Di sekolah luar biasa itu Willing juga berlatih gitar dan drum. Ia sangat serius belajar bahasa Inggris dari seorang pengajar voluntir bernama Ibu Sastrohardjo yang sangat perhatian lan-taran Willing bercita-cita jadi pendeta.
Lulus SMP, Willing melanjutkan sekolah. Tak gampang karena waktu itu mau tak mau harus mencari sekolah umum. Artinya ia berada diantara siswa yang normal. Bukan perkara mudah mencari sekolah yang mau menerimanya. Akhirnya Willing diterima di SPG Budaya dengan catatan kalau tidak bisa mengikuti pelajaran harus rela keluar. Inilah tantangan.
PERJUANGAN KERAS
Jarak rumah dan sekolah lumayan jauh, Willing ganti kendaraan umum tiga kali. “Berangkat sekolah saya diantar kakak saya, Ko Apang. Kadang ia harus ngebut mendahului bis supaya bis berhenti. Lalu Ko Apang menaikan saya ke bis barulah ia buka kios di pasar. Koko saya sangat berkorban, ia terlambat menikah menunggu saya mandiri. Mama pernah bilang, untung Mama sudah kenal Tuhan Yesus kalau gak, mungkin gila karena peristiwa kebutaan saya,” kenangnya penuh haru.
Meskipun dibantu tongkat untuk berjalan kerap kali Willing menabrak atau terjatuh, pernah masuk got yang cukup dalam. Ia mendengar tawa dari orang-orang yang melihatnya. Namun lambat laun ia menganggapnya biasa. Willing memilih tidak mudah putus asa. Ketika tantangan datang Ia sangat percaya Tuhan akan membuka jalan-jalan baginya.Di sekolah Willing dibantu teman-teman dalam membaca buku-buku pelajaran. Sebaliknya, Willing kerap dimintai tolong mengetik tugas sekolah mereka. Lagi-lagi, di sekolah orang normal itu pun Willing meraih juara dua dari dua kelas dengan jumlah seratus siswa.
MELAYANI PENDERITA KUSTA
Selepas SMA, Willing belajar di Sekolah Alkitab Berea, Salatiga. Ia sangat senang mempelajari firman Tuhan. Semangat pelayanannya makin terpacu. Firman yang ia baca dan dengar makin membuatnya kuat. Setelah lulus 1988, itulah Willing kembali ke Jakarta pelayanan di GSJA Charismatic Worship Service (CWS). Ia melayani tuna wisma, mengajar sekolah minggu dan sering main musik di kebaktian dewasa muda.
Bersama Ibu Tumada, istri mantan Direktur RS. Sitanala, mereka merintis pelayanan di rumah sakit bagi penderita kusta itu. “Pertama kali ke Sitanala, Ibu Tumada kaget, dia tidak tahu kalau saya buta. Katanya, sewaktu dia lihat saya di gedung CWS jalan saya lincah tanpa tongkat. Yah, kalau di gedung ini sih saya sudah hapal” katanya tentang gedung CWS di Gedung Kenanga, Senen, Jakarta Pusat tempat wawancaranya dengan Bahana.Willing pun sibuk melayani, hal yang paling menyentuh hatinya saat berada di tengah penderita kusta. Beberapa kali, Willing mendampingi mereka, di saat-saat terakhir menjelang pulang di panggil Tuhan. Mereka mati dalam penderitaan fisik tapi tetap percaya Tuhan.
MELAYANI KELILING PULAU
Willing ingin terus berkembang, ia menyelesaikan kuliah S1 di Satya Bhakti (SATI), Malang. 29 Mei 1998, saat masih kuliah di SATI, Willing melangsungkan pernikahan dengan Jo Hanna Yosepha, wanita yang dikenalnya tahun 1988 pada acara hari misi, “Hanna itu hadiah Natal dari Tuhan. Saya menyatakan cinta 25 Desember 1993 setelah ibadah Natal. Lulus SMP, Willing melanjutkan Meskipun saya sudah siap resiko kalau ditolak. Tapi Puji Tuhan, dia menerima saya.” katanya tertawa yang disambut tawa Hanna yang menemaninya wawancara. Mereka menikah di kampus satu hari setelah ada acara wisuda. Kata teman-teman kuliahnya, biar nggak perlu beli bunga dan nggak perlu dekor. Soalnya saat wisuda banyak sekali kiriman bunga.
Kini bersama Hanna, Willing terus melayani Tuhan tanpa pilih-pilih. Ke mana pun Tuhan membawanya pergi, ia akan pergi. Kakinya pernah menjelajahi berbagai daerah di Indonesia dan juga negara lain untuk memberitakan Kabar Baik. Suatu hal yang tentu saja, tak pernah ia bayangkan sebelumnya.Willing dipertemukan dengan banyak orang yang mendorongnya maju. Salah satunya Barnabas Ong, pendeta tunanetra yang melayani di Australia. Atas bantuan Barnabas, Willing dan Hanna mengambil program S2 di STT Kharisma. Willing mengaku, Tuhan memakai banyak orang untuk memberkatinya.
“Dulu saya sempat berpikir, bahwa cita-cita saat di sekolah minggu jadi pendeta bakal batal. Khotbah kan perlu kontak mata. Banyak pergi pelayanan rasanya sulit bagi tunanetra. Tapi Tuhanlah yang telah mengerjakan ini semua. Saya bahagia kalau ada orang bertobat…” jelas Willing yang ditahbiskan pendeta di GSJA pada September 1996 itu. Willing terdiam. Tangisnya pecah. Wajah Willing memerah, ia menyeka matanya yang basah. Entah berapa banyak orang yang telah dicelikkan matanya lewat pelayanan Willing. Penderitaanpun dipakai-Nya bagi kemuliaan Allah.