Kepalanya plonthos (gundul), tapi ke mana-mana ia selalu membawa sisir yang terselip di saku celananya. Untuk apa gerangan? Sisir yang biasa kita pakai untuk mempercantik diri dibalut dengan tas ¨kresek¨ oleh Frans disulap menjadi alat musik menarik!
Bakatnya terbilang langka. Bermusik dengan sisir dan kantong plastik “kresek”. Benda murah dan sederhana yang jamak kita pakai sehari-hari. Namun di tangan Mesakh Frans Rumbino, kedua benda itu mampu menghasilkan alunan musik menarik. Mirip suara saksofon yang mendayu-dayu dan trombone yang riang. Ia lantas dikenal dengan Frans Sisir. Kemahirannya bermusik dengan sisir telah mengantarnya keliling dunia dan bermain di depan kepala-kepala negara.
BERAWAL DARI ISENG
Kemampuan Frans bermusik dengan sisir dan plastik terbilang unik. Prosesnya pun tak kalah menarik. Kendati sejak kecil su-dah ditinggalkan orangtuanya, Frans kecil tak kehilangan keceriaan. “Keluarga saya broken home. Saya tinggal bersama kakek Robert dan nenek Alexanderina. Sejak kecil saya biasa mencari ikan untuk membantu kebutuhan keluarga,” tutur pria kelahiran Padaido, Biak Timur, 11 Februari 1972 ini. Sepulang mencari ikan, Frans suka meniup daun atau kulit kerang, mendendangkan lagu-lagu kampung, seperti Apuse, dll.
Dari kebiasaan meniup daun dan kerang itu, secara tak sengaja Frans bereksplorasi dengan sisir dan kantong plastik. Ceritanya, sebagai Putra Biak, Frans ingin mendukung kesebelasan kesayangannya, PSB Biak, ketika ada pertandingan sepak bola dalam Pekan Olahraga Daerah (Porda) di Jayapura. Namun, karena kala itu hanya ada sisir dan kantong plastik, Frans memanfaatkan kedua benda tersebut untuk menyemangati kesebelasan kesayangannya. Tak disangka, dari situlah ia mulai menyukai dan mendalaminya hingga dapat memainkannya dengan piawai.
“Awalnya cuma coba-coba saja meniup sisir yang saya bungkus dengan kantong plastik kresek,” ujar Frans. Semula, suaranya lurus ¨tet..tet ...tet...¨ saja. Dari situlah keluar ide untuk dipakai bermusik. Ia pun terus melatih kemampuannya meniup sisir. Mengasah talenta memang membutuhkan waktu yang lama.Awalnya tak mudah dan tidak berjalan mulus. Ia sering diolok-olok teman-temannya. Banyak tanta walaupun ada tantangan. Setiap kebaktian Jumat di SMP saya juga nyanyi dengan sisir dan plastik,” ucap Frans.
BERGULAT DENGAN KERASNYA KEHIDUPAN
Di balik talenta uniknya, kehidupan Frans tak kalah seru pula. Hidup menjelajah dari satu kota ke kota lain dengan keringat dan airmata. Pindah ke Jayapura, terpisah dari orangtua Frans harus berjuang agar dapat terus menyambung hidup. “Saya hidup di pasar dan terminal. Jadi kenek, kondektur, juga membantu mengangkat belanjaan orang. Meski susah, Tuhan itu baik. Dia tidak pernah melupakan anak-anak-Nya,” ujar sulung dari 6 bersaudara ini. Sekolahnya pun pindah-pindah, dari Jayapura, Blitar, Jakarta, dan kembali ke Jayapura hingga lulus SMP tahun 1988.
Karena prestasinya di sekolah, Frans mendapatkan beasiswa bersekolah di SMAN 8 Malang. Di kota kecil ini ada bakat lain yang ia kembangkan. Bermain bola. Menempati posisi striker, Frans sering tampil membela kesebelasan klubnya. Hasilnya? Boleh juga. “Waktu itu dapat 20-25 ribu (rupiah) tiap kali main. Sudah gedhe. Kost-kostan aja cuma 30-40 ribu,” ujarnya. Akibatnya waktu untuk bermusik memang berkurang.
SATU SEL DENGAN XANANA GUSMAO
Lulus SMA, Frans kembali hijrah ke Jakarta. Ia masuk di Fisipol UKI. Cita-citanya jadi diplomat. Namun karena terbentur biaya Frans mengadu nasib dengan menjadi penyanyi night club di kawasan Ancol hingga 3 tahun. Frans yang tergabung sebagai anggota Pemuda Pancasila ini juga sempat bekerja menjadi debt collector dan masuk dalam kehidupan yang keras. Cita-citanya pun kandas. Akibat pekerjaannya yang nyerempet bahaya, tahun 1999 Frans sempat mencicipi dinginnya dinding penjara Polda Metro Jaya. “Saya kena 4 bulan. Waktu itu anak pertama saya, Anelo, baru berusia satu bulan,” kenang ayah dari Anelo, Kezia, dan Lydia ini.
Setelah dua bulan di penjara Polda, Frans dipindah ke LP Cipinang. Hidup di rutan membuatnya me-nyadari kasih Tuhan. “Hidup saya hancur, tapi Tuhan beri kekuatan untuk bersaksi. Saya pikir hidup keras itu sia-sia,” katanya. Ia lantas mengajak teman-teman sesama tahanan menyikapi hidup secara positif. “Saya tetap merasakan kasih Tuhan di dalam LP. Saya ajak mereka olah raga, main musik, dan memuji Tuhan,” imbuhnya.
Dalam tahanan iman Frans semakin tumbuh dan berkembang. Di LP Cipinang Frans juga pelayanan bersama Xanana Gusmao, mantan presiden dan kini perdana menteri Timor Leste. “Saya teman satu sel dengan Xanana. Kami sama-sama pelayanan di LP,” lanjutnya. Lagu-lagu rohani dan alunan musik sisir dan plastik dari mulut Frans mampu menjadikan spirit bagi dirinya dan teman-teman sesama penghuni LP. Berbagai aktivitas, pelayanan, dan sikap positif yang ditunjukkan Frans selama di LP berganjar citra teladan. “Saya keluar dengan status napi terbaik,” ungkapnya.
MENGABDI DALAM PELAYANAN
Lepas dari LP, Frans terpanggil terjun dalam pelayanan. Kemampuan musikalitas Frans dalam bernyanyi dan meniup sisir berbalut plastik menjadi komoditi yang tak ternilai. Lengkingan saksofon yang dihasilkan banyak mengundang decak kagum pengunjung setiap ia tampil. Bukan hanya di panggung gereja. Frans juga diundang bernyanyi dan bermusik di berbagai acara. Peresmian acara, ulang tahun instansi dan pribadi hingga Lebaran pula. Banyak petinggi negara yang mengagumi bakat uniknya. Mantan Presiden Soeharto, Megawati, juga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Sultan Hassanal Bolkiah dibuatnya terpesona.
Ada kisah unik ketika Frans melakukan live performance di keluarga Cendana. “Saya pinjam sisir Pak Harto untuk membuktikan pakai sisir apa saja saya bisa,” ujar Frans yang ketika itu memainkan lagu Sio Mama. Ternyata, kata Frans, sisir milik mantan penguasa RI selama 32 tahun itu mampu menghasilkan suara lebih merdu. Tahun 2003 ke atas hidup Frans lebih banyak untuk pelayanan. Ken-dati demikian, bukan berarti semua berjalan baik. Ada saja orang yang mengambil keuntungan dari bakatnya. Ia sempat merasakan pengkhianatan oleh teman-temannya sesama asal Papua. Mulanya diajak rekaman, tapi akhirnya rekamannya dibajak. Namun hal itu tidak mematahkan semangatnya dalam melayani Tuhan.
NGAMEN DI PELATARAN LIBERTY
Tahun 2005 Frans mendapat kesempatan pelayanan di Amerika. Meski demikian, untuk mendapatkan visa ke Amrik tidak mudah. Ketika staf kedubes AS menanyakan tujuannya ke Amerika, ia jawab bermain musik. Mereka heran. “Saya keluarkan sisir dan plastik lalu nyanyi Amazing Grace,” ujarnya. Terpukau dengan nada indah kreasi Frans, mereka pun memberinya visa untuk 5 tahun! Di negeri Paman Sam ini, Frans pelayanan keliling New Jersey, new York, Philadelphia, Boston, Atlanta, dll. Ada kejadian unik ketika Frans bersama rombongan tur ke pelataran patung Liberty. Kagum dengan gedung pencakar langit dan megahnya patung Liberty, Frans lantas mengeluarkan sisir dan kantong plastiknya dan bermain memuji Tuhan. Sementara ia asyik dengan “alat musik”nya recehan dan lembaran dolar menghampiri. “Wah, saya dikira ngamen. Lumayan juga ada 80 dolaran,” kenangnya. Dengan sisir pula Frans telah berkelana ke Italia, Perancis, dan Belanda.
PESAN UNTUK KEMULIAAN TUHAN
Bagaimana Frans bisa menghasilkan suara dahsyat bak permainan saksofon Kenny G. hanya dari sisir dan kantong kresek? Apakah semua sisir dan kantong plastik bisa dipakai? “Pada dasarnya semua sisir dan plastik bisa. Tapi lebih bagus kalau sisirnya agak lembut dan plastiknya tipis. Saya meniupnya pakai perasaan,” ujarnya. Bunyi saksofon yang keluar dari sisir dan plastik kresek berasal dari paduan antara napas perut yang sudah terlatih dengan suara vibrasi plastik. Apa sih kesulitannya? “Sama seperti peniup pada umumnya, kalau napasnya pendek ya tidak bisa. Butuh napas panjang,” ungkapnya.
Kendati bakatnya terbilang langka, Frans tidak berambisi memasukkan dalam catatan rekor tertentu. “Tujuan saya bukan untuk mendapatkan penghargaan, tapi bagaimana nama Tuhan dimuliakan. Saya berharap dapat keliling dunia dengan sisir dan plastik bagi Tuhan Yesus. Saya berdoa supaya orang diberkati dan jadi kesaksian bahwa sisir dan plastik dapat memuliakan Tuhan,” tandasnya. Dulu, lanjutnya, Tuhan pakai tukang kayu, nelayan, dsb. Saya bangga karena saya dulu nelayan. Saya percaya Anda lebih dari sisir. Keterbatasan tak harus membatasi kita dalam berkreativitas. Frans telah membuktikan. Merangkai melodi nan harmoni dari benda sederhana untuk membawakan nyanyian yang sarat pesan.