Selasa, 30 Desember 2014

Kisah nyata DR. dr. RM. Tedjo Oedono Oepomo ( mantan seorang dukun kraton )

Kesaksian ilmu hitam dan ilmu putih melawan kebenaran. Dari sejak kecil Tedjo sudah belajar ilmu gaib, bahkan masih anak-anak sudah dapat melakukan santet dan memiliki tuyul. Anda pasti ingin tahu jalan cerita dari kesaksian ini! Bagaimana pertobatan dia sampai mau meninggalkan dunia gaib dan mendapatkan jalan keselamatan. Baca kesaksian ini dipastikan akan memberkati saudara.


(Kisah nyata: DR. dr. RM. Tedjo Oedono Oepomo)
Aku dilahirkan di dalam lingkungan keluarga keraton. Dan keluargaku adalah trah keluarga dukun keraton. Sejak kecil aku sangat mengagumi ilmu-ilmu kadigdayan gaib yang dimiliki oleh para sesepuh keluarga. Kakekku memiliki ilmu yang sangat tinggi. Ia bisa menghilang. Bahkan hadir di empat tempat yang berbeda dalam waktu yang bersamaan. Beliau juga mampu menyembuhkan berbagai penyakit dengan tenaga gaibnya.


Keluarga Dukun Keraton
Di lingkungan keraton, sejak usia sekolah dasar aku mendapatkan guru-guru khusus. Mereka mengajarkan tentang berbagai ilmu agama dan falsafah Jawa. Salah satunya adalah ilmu kebatinan. Aku sangat tertarik dan tekun mempelajari ilmu-ilmu ini. Selain kekagumanku pada misteri keajaibannya, melalui ilmu-ilmu ini aku juga ingin hidup mendekatkan diri pada Tuhan yang Maha Kuasa.

Tingkatan Ilmu-ilmu Perdukunan
Di dalam ilmu perdukunan dan kebatinan dikenal adanya empat tingkatan. Yaitu tingkat kasantosan, kadigdayan, kawijayan dan kasampurnan.
a. Kasantosan berarti menguasai berbagai ilmu dasar seperti mendapatkan dan memelihara jimat-jimat, ilmu kekebalan dan gendam.
b. Kadigdayan, selain menguasai ilmu dasar, juga menguasai ilmu yang lebih tinggi lagi. Seperti ilmu santet, ilmu terawang.
c. Berikutnya adalah kawijayan. Di tingkat ini seseorang akan memiliki kemampuan rogoh sukma dan transfer roh-roh.
d. Sedang kasampurnan adalah tingkatan tertinggi dalam ilmu perdukunan. Orang itu menyatu dengan roh yang dia ikuti dan ini kekuatannya sangat tinggi sebanding dengan roh yang dia ikuti itu.


Untuk mendapatkan ilmu-ilmu ini, tidaklah mudah jalan dan caranya. Berbagai-bagai syarat dan ritual harus dijalani dengan berbagai resikonya. Banyak yang gugur sebagai murid perdukunan dan tidak sedikit yang menjadi gila. Karena sulitnya itu, aku menganggap inilah jalan “Tuhan” yang sejati.

Kamis, 25 Desember 2014

Sejarah, Asal usul Natal dan Arti Natal Sesungguhnya

Asal usul NatalDi abad yang ketiga Masehi, suatu hal yang ajaib terjadi. Konstantin, kaisar Roma menjadi seorang Kristen. Selama hampir 300 tahun orang Kristen telah mendoakan keselamatan kaisar mereka. Tidak ada yang mempercayainya! Tetapi akhirnya diterbitkan dekrit dari Kaisar... Kekristenan dijadikan agama resmi kerajaan. Setiap orang didorong untuk menerima Yesus Kristus sebagai Penguasa dan satu-satunya ilah. Karena tidak mau mengambil resiko dipandang sebagai tidak berkerjasama (dan mempercayai bahwa menjadi Kristen merupakan langkah yang paling aman dari sudut pandang politik dan sosial), hampir setiap orang di dalam kekaisaran membuat "pengakuan iman" dan memeluk agama baru ini. Ini, tentu saja, begitu menggirangkan Konstantin.
Setelah beberapa waktu timbullah satu masalah yang besar. Apa yang harus mereka lakukan dengan ilah-ilah yang lain? Dan bagaimana dengan semua pesta dan perayaan besar yang sudah menjadi sebagian dari kehidupan mereka, terutamanya perayaan Saturnalia musim sejuk dan perayaan musim semi ekuinoks? Sebelum pertobatan Konstantin, seluruh kekaisaran akan dengan penuh kegairahan merayakan perayaan-perayaan dengan persembahan kepada dewa dan dewi mereka. Apa yang harus mereka lakukan sekarang? Kaisar Konstantin tahu bahwa walaupun secara eskternal mereka telah mengakui Kekristenan, mereka tidaklah rela dengan begitu saja meniadakan perayaan-perayaan yang begitu mereka senangi. Apa yang dimilikinya adalah satu kerajaan penuh dengan "petobat dan belum bertobat"!
Ketidak-puasan dan keresahan rakyatnya semakin memuncak dan sang kaisar tahu bahwa sesuatu harus dilakukan. Jadi, karena tidak punya jalan keluar yang lain, ia mengumumkan dua liburan "religius" yang utama. Tanggalnya diambil dari perayaan besar yang sudah diadakan sejak turun temurun itu. Ia mendeklarasikan tanggal 25 Desember (sejak berabad-abad dirayakan sebagai hari ulang tahun matahari, Saturnalia) sebagai perayaan hari ulang tahun Kristus. (Walaupun para ahli sejarah menyatakan bahwa Yesus besar kemungkinan lahir di bulan Oktober.) Satu misa besar atau kebaktian religius diadakan memperingati kelahiran Yesus pada hari itu (sebab itu, Christ-mas atau misa-Kristus). Sang Kaisar juga mendeklarasikan tanggal hari perayaan musim semi ekuinoks untuk merayakan kebangkitan Kristus. (Penekanan yang lama pada perayaan musim semi itu adalah penyembahan pada dewi kesuburan, yang darinya kita mendapatkan simbol kelinci Paskah [Easter Bunny].) Massa yang menggerutu itu akhirnya dapat ditenangkan apabila mereka menyadari bahwa mereka dapat sekali lagi merayakan hari-hari perayaan yang besar itu. Ya, walaupun perayaan itu memang sudah diberikan nama yang lain, dan mereka mungkin harus melewati beberapa "upacara religius", tetapi setidaknya hal-hal yang lain masih normal, dan perayaan-perayaan yang mereka senangi masih dapat dirayakan dengan penuh kegairahan.

Selasa, 23 Desember 2014

Natal, Musim untuk Berbuat Baik?

 
Sepanjang tahun kita begitu sibuk dengan kehidupan kita dan tanpa disadari kita sudah tiba di penghujung tahun 2014. Bagi yang religius bulan Desember seringkali membuat kita berhenti sejenak dan memikir kembali tentang persoalan-persoalan yang sesungguhnya penting dalam kehidupan kita. Utamanya, di hari-hari menjelang Natal, di gereja, di website atau kartu-kartu Natal yang kita terima mengingatkan kita untuk mengasihi, memberi dan menjadi saluran berkat kepada sesama.
Mengasihi, memberi dan memberkati sesama manusia memang merupakan hal yang mulia dan terpuji. Yang memberi, merasa puas dan senang karena telah menjadi saluran berkat, apa tah lagi, jika yang menerima menunjukkan rasa terima kasih dan menghargai pemberian kita.
Setiap orang Kristen bahkan anak-anak sekolah Minggu pasti mengetahui kisah orang Samaria yang baik hati. Orang Samaria yang baik hati ini merupakan contoh unggul untuk kita teladani. Membaca perumpamaan itu di dalam Injil membuat kita begitu kagum dengan orang Samaria itu dan menginspirasi kita untuk berbuat hal yang sama. Tetapi sayangnya, tidak diberitahukan kepada kita apakah orang Yahudi yang dibantunya menghargai apa yang dilakukan oleh orang Samaria itu.
Terkadang saya berpikir, apakah mungkin korban kejahatan yang dibantu orang Samaria itu tergolong umat Yahudi fanatik yang sama sekali tidak mau berhubungan dengan orang Samaria. Jika memang ia tergolong orang yang demikian, apakah ia akan berterima kasih atau, malah ia akan merasa marah karena telah "dicemari" oleh orang Samaria itu. Bisa saja ia bereaksi keras dan merasa jengkel dengan orang Samaria itu karena telah membuatnya najis! Nah, jikalau perbuatan baik kita menuai kemarahan orang lain, apakah kita masih akan berbuat baik?