Sepanjang tahun kita begitu sibuk dengan kehidupan kita dan
tanpa disadari kita sudah tiba di penghujung tahun 2014. Bagi yang religius
bulan Desember seringkali membuat kita berhenti sejenak dan memikir kembali
tentang persoalan-persoalan yang sesungguhnya penting dalam kehidupan kita.
Utamanya, di hari-hari menjelang Natal, di gereja, di website atau kartu-kartu
Natal yang kita terima mengingatkan kita untuk mengasihi, memberi dan menjadi
saluran berkat kepada sesama.
Mengasihi, memberi dan memberkati sesama manusia memang
merupakan hal yang mulia dan terpuji. Yang memberi, merasa puas dan senang
karena telah menjadi saluran berkat, apa tah lagi, jika yang menerima
menunjukkan rasa terima kasih dan menghargai pemberian kita.
Setiap orang Kristen bahkan anak-anak sekolah Minggu pasti
mengetahui kisah orang Samaria yang baik hati. Orang Samaria yang baik hati ini
merupakan contoh unggul untuk kita teladani. Membaca perumpamaan itu di dalam
Injil membuat kita begitu kagum dengan orang Samaria itu dan menginspirasi kita
untuk berbuat hal yang sama. Tetapi sayangnya, tidak diberitahukan kepada kita
apakah orang Yahudi yang dibantunya menghargai apa yang dilakukan oleh orang
Samaria itu.
Terkadang saya berpikir, apakah mungkin korban kejahatan yang
dibantu orang Samaria itu tergolong umat Yahudi fanatik yang sama sekali tidak
mau berhubungan dengan orang Samaria. Jika memang ia tergolong orang yang
demikian, apakah ia akan berterima kasih atau, malah ia akan merasa marah karena
telah "dicemari" oleh orang Samaria itu. Bisa saja ia bereaksi
keras dan merasa jengkel dengan orang Samaria itu karena telah membuatnya najis!
Nah, jikalau perbuatan baik kita menuai kemarahan orang lain, apakah kita masih
akan berbuat baik?
Baru-baru ini di Jakarta saya mendengar
cerita tentang Bapak J yang sedang mengendarai mobilnya dan pas di depannya
seorang pengendara sepeda mobil jatuh dan terlempar karena motornya disenggol
bis yang melaju. Seperti yang sering terjadi, sopir bis kota itu tidak mungkin
mau bertanggung jawab dan dengan secepat mungkin ia melarikan bisnya.
Bapak J, yang berumur sekitar 60 tahun langsung keluar dari mobilnya
untuk membantu korban yang jatuh itu.
Korban kecelakaan itu hanya mengalami luka ringan tetapi
sepeda motornya sedikit rusak dan ada bagian yang harus diganti dan diperbaiki.
Di bagian motor yang disenggol bis terlihat dengan jelas bekas cat dari bis itu.
Hal yang mengagetkan adalah korban itu langsung menuntut pertanggung-jawaban
Bapak J - orang yang berbaik hati yang mau membantu, akhirnya dituduh sebagai
pengemudi yang menabraknya! Karena ngotot menuntut gantirugi, polisi akhirnya
dipanggil dan keduanya harus berurusan di kantor polisi. Sekalipun Bapak J sudah
menjelaskan bahwa mobilnya berwarna merah dan dari bekas cat di bagian motor
yang tergores itu adalah jelas bahwa kenderaan yang menabraknya bukanlah yang
berwarna merah. Tambahan pula di bagian mobil sama sekali tidak ada bekas
goresan. Mungkin karena penampilan Pak J termasuk orang yang berpunya, bahkan
polisi berpihak kepada pengendara sepeda motor yang terang-terang sedang
berbohong itu. Pak polisi menggertak bahwa jika Pak J tidak mau membayar ganti
rugi maka BPKB mobilnya akan disita.
Akhirnya, karena tidak mau urusan berpanjangan, Pak J setuju
untuk membayar ganti rugi. Sepeda motor dibawa ke bengkel. Si pengendara sepeda
motor meminta bagian-bagian yang rusak diganti dengan yang paling mahal dan
meminta perawatan yang terbaik bagi bagian yang rusak itu. Setelah itu diminta
lagi biaya perobatan, walaupun lukanya agak ringan. Pak J akhirnya harus
mengeluarkan biaya sekitar Rp1.5 juta gara-gara karena ia punya niat baik mau
membantu.
Setelah menceritakan kisah ini kepada teman-teman, Pak J
ditanya, "Apakah Bapak akan berhenti lagi jika menemukan korban tabrak
lari?"
Jawabnya, "Ya pasti."
"What? Mengapa?"
"Karena itu merupakan hal yang benar untuk dilakukan."
Saya kira Bapak J merupakan jenis manusia langka di planet
Bumi ini!
Begitu juga dengan orang baik Samaria di dalam perumpamaan
yang diberikan Yesus itu. Tidak lazim menemukan orang yang mau membantu jikalau
dalam memberi bantuan kita harus menanggung kerugian, belum lagi harus
mempertaruhkan nyawa kita.
Orang Levi dan ahli Taurat, yang dapat disejajarkan di masa
kini, bukan saja sebagai orang percaya tetapi pekerja full time di gereja, pada
akhirnya memutuskan untuk tidak membantu, bukan karena mereka tidak punya kasih.
Saya yakin mereka juga memberitakan pesan kasih di dalam pengajaran mereka,
tetapi mereka khawatir harus menanggung resiko jika berhenti dan membantu orang
yang luka itu.
Jalan melintasi pergunungan ke Yeriko itu memang terkenal
sebagai tempat mangkal para penyamun. Belum lagi, jika orang yang luka itu mati,
bisa-bisa saja mereka lebih direpotkan. Bisa saja mereka terlambat untuk
pelayanan di gereja/bait Allah. Memanglah wajar setelah mempertimbangkan
faktor-faktor tertentu, mereka tidak berhenti untuk membantu.
Rata-rata manusia memang punya kasih dan mau membantu.
Persoalannya adalah sejauh mana?
Sayangnya, perintah Tuhan bagi umat-Nya bukanlah sekadar
"Kasihilah sesama manusia". Jika hanya masalah mengasihi, kita semua dapat
melakukannya. Memberi uang Rp1000 ke pengemis sudah mengasihi. Sekali-kali
memberi sumbangan ke panti asuhan sudah mengasihi. Tetapi yang membuat kita
tidak habis pikir adalah Tuhan bukan saja berkata, "Kasihilah sesama manusia",
tetapi Ia menambah tiga kata lagi, "seperti dirimu sendiri."
Dalam hal mengasihi diri kita sendiri, kita
tidak pernah takut repot. Kita tidak pernah khawatir kita akan rugi. Kita
mengasihi diri kita sampai kita berani mempertaruhkan segalanya. Diri kita
sendiri bukanlah orang yang menyenangkan untuk dikasihi, tetapi tetap saja kita
sangat mengasihi diri kita. Dan dengan cara inilah Tuhan mau kita mengasihi
sesama - sebagaimana kita mengasihi diri kita sendiri - tanpa syarat, tanpa
pamrih dan tanpa menghitung untung rugi.
Itulah juga caranya bagaimana Yesus telah mengasihi kita, dari
2000an tahun yang lalu sampai ke hari ini. Ia tidak pernah lelah melakukannya -
demikian jugalah kehendak-Nya bagi kita.