By Philip Yancey
Sesekali saya diundang ke pertemuan-pertemuan yang tidak biasa
sebagai hasil dari tulisan-tulisan saya. Salah satu yang paling tak terlupakan
mengambil tempat di New Orleans, atas undangan M. Scott Peck, seorang psikiater
dan penulis buku-buku seperti The Road Less Traveled dan People of Lie. Peck
memiliki teori bahwa proses pembangunan komunitas harus mendahului upaya
penyelesaian konflik, dan ia mengumpulkan tiga puluh orang yang sangat bebeda
untuk menguji teori tersebut.
Peck mempertemukan sepuluh orang Yahudi, sepuluh orang
Kristen, dan sepuluh Muslim, sebuah miniatur dunia yang mungkin mewakili konflik
yang paling berkepanjangan dalam peradaban Barat. Isu utama yang membayangi kami
adalah, "Bisakah orang-orang dengan pernyataan kebenaran yang secara fundamental
berbeda hidup bersama tanpa saling membunuh?"
Kami berkumpul di pusat retreat Katolik pada akhir pekan
menjelang Mardi Gras. Selama tiga hari kami membicarakan, yah, apa saja yang
ingin kami bicarakan.
Perbedaan-perbedaan kebudayaan tertentu langsung muncul ke
permukaan. Scott Peck menjalankan lokakarya pembangunan komunitasnya menurut
formula yang menuntut pernyataan introspektif "saya" ("Saya merasa..." atau
"Saya pikir...") dan sharing pribadi, dan kaum Yahudi menyambut hangat
pendekatan ini.
"Jangan lupa, kami yang menemukan psikoterapi," canda seorang
rabi. Namum partisipan Muslim hanya menunjukkan sedikit antusiasme. Seorang imam
mencoba menjelaskan, "Kami memiliki keengganan kultural terhadap psikoterapi.
Anda akan jarang mendengar seorang Muslim mengungkapkan masalah-masalah pribadi.
Hal seperti itu memang tidak dilakukan.
Kami menyaksikan kelompok Muslim menanggapi perenungan
introspeksi kelompok orang Yahudi dengan membuat lebih banyak pernyataan tegas
tentang kebenaran absolut.
Terus terang lebih enak rasanya menjadi penonton; orang
Kristen tidak memiliki sejarah yang terlalu harmonis dengan kedua agama ini, dan
saya jauh lebih suka peran baru kami sebagai mediator daripada kelompok
pembantai Yahudi atau prajurit Perang Salib di masa lalu.
Saya mempelajari kata baru di New Orleans, super-sesionisme,
pemikiran bahwa yang baru mengantikan yang lama. Ini membantu saya memahami
kepercayaan diri yang kuat pada kaum Muslim yang tampak jelas. Kelompok Yahudi
tidak menyukai pemikiran bahwa iman Kristen menyempurnakan Yudaisme. "Saya
merasa seperti obyek keingin-tahuan sejarah, seakan agama saya harus dimasukkan
ke rumah jompo," kata salah seorang. "Saya merasa terganggu mendengar istilah
Tuhan Perjanjian Lama atau bahkan kata Perjanjian Lama itu sendiri."
Saya harus mengakui bahwa Kekristenan memang memiliki aspek
supersionis yang terang-terangan. Yesus memperkenalkan "perjanjian baru" ketika
Ia mengubah Paskah Yahudi Seder menjadi apa yang dikenal orang Kristen sebagai
"Perjamuan Kudus". Belakangan, rasul Paulus menyebut Hukum Perjanjian Lama
sebagai "pembimbing" atau "guru" yang mengantar kita kepada Kristus.
Namun saya tidak menyadari bahwa Muslim memandang kedua agama
ini dengan sikap super-sesionis. Dalam pandangan mereka, seperti Kekristenan
tumbuh dari Yudaisme dan mencakup bagian-bagiannya, Islam tumbuh setelah kedua
agama itu dan mencakup bagian-bagiannya. Abraham adalah nabi, Yesus adalah
nabi, tetapi Muhammad adalah Nabi Besar. Perjanjian Lama memiliki tempatnya,
begitu juga Perjanjian Baru, tetapi Al Qu'ran adalah "wahyu terakhir."
Mendengar kepercayaan saya dibicarakan dengan pemikiran
demikian memberi saya bayangan seperti apa mungkin perasaan orang Yahudi selama
dua ribu tahun.
Ironisnya, kesamaan bahasa kepedihanlah yang kelihatannya bisa
menyatakan ketiga kelompok ini. Banyak partisipan Yahudi kehilangan anggota
keluarganya dalam Holocaust, dan beberapa juga pernah menjadi sukarelawan dalam
perang Israel melawan tetangga-tetangga Arabnya.
Di sisi Muslim, seorang wanita menceritakan kengerian yang
melanda lingkungannya yang tadinya indah di Beirut, Lebanon. Seorang Muslim yang
lainnya menceritakan penuturan yang membuat bergidik tentang pembantaian Deir
Yassin tahun 1948, ketika anggota geng Israeli Stern membunuh 250 penduduk
desanya dan melemparkan jenazah mereka ke dalam sumur. Ia, yang waktu itu
berumur sepuluh tahun, cukup gesit untuk meloloskan diri.
Penderitaan kadang-kadang menjadi jurang pemisah dan
kadang-kadang menjadi jembatan. Bertahun-tahun kemudian, rekan Muslim yang
berhasil lolos dari prajurit di Deir Yassin itu mengalami kecelakaan mobil di
Amerika Serikat. Yang berhenti untuk menolongnya adalah seorang perawat Yahudi.
Wanita ini memasang torniket dengan saputangannya yang wangi, dan dengan teliti
mencabuti pecahan kaca dari wajahnya. Pria Muslim ini percaya perawat itu telah
menyelamatnya hidupnya.
Istri pria Muslim ini, yang adalah seorang dokter, menyambung
dengan berkata ia pernah merawat seorang pasien dengan tato aneh di pergelangan
tangannya. Ketika ia bertanya tentang itu, pasiennya bercerita tentang
Holocaust, kejadian sejarah yang tidak pernah ia dengar di sekolahnya di negara
Arab. Untuk pertama kalinya ia mengerti kepedihan orang Yahudi.
Mengapa manusia terus saling melakukan hal itu? Yugoslavia,
Irlandia, Sudan, Tepi Barat - apakah tidak ada akhir dalam lingkaran kepedihan
atas nama agama? Menurut pengamatan Gandhi, logika "mata bayar mata, gigi bayar
gigi" tidak bisa bertahan selamanya; akhirnya kedua pihak akan menjadi buta dan
ompong semuanya.
Kemungkinan besar, pertemuan kami di New Orleans tidak akan
mengubah keadaan di Timur Tengah, atau membuat kemungkinan perdamaian antara
tiga agama utama ini menjadi lebih besar. Tetapi itu mengubah kami. Sekali ini
kami memusatkan pada titik-titik temu dan hubungan, bukan pada batas-batas
pemisah. Kami menjadi mengneal, Hillel, Daud dan Bob, wajah-wajah manusia di
balik label Yahudi, Muslim dan Kristen.
Selama akhir pekan itu, setiap agama melakukan ibadahnya -
Muslim pada hari Jum'at, Yahudi pada hari Sabtu, dan Kristen pada hari Minggu -
kelompok-kelompok yang lain diundang sebagai pengamat.
Ibadah Yahudi terdiri dari pembacaan Mazmur dan Taurat dan
beberapa nyanyian yang menghangatkan hati. Ibadah Muslim terutama terdiri dari
doa sembahyang kepada yang Mahakuasa. Kami yang Kristen merayakan Perjamuan
Kudus, dan memberitahu bagaimana hal itu membantu kami mengenang kembali
kematian Kristus, menanti kedatangan-Nya, dan hidup saat ini di bawah kasih
karunia yang dimungkinkan oleh tubuh-Nya, yang dipecah-pecahkan untuk kita.
Ketiga ibadah itu memiliki kesamaan yang mengejutkan, dan
mengingatkan kami betapa banyak persamaan antara ketiga agama ini. Mungkin
intensitas perasaan antara ketiga tradisi ini disebabkan oleh akar warisan yang
sama: pertengkaran keluarga selalu paling keras kepala dan perang saudara
biasanya paling berdarah.
Seorang rabi memberikan respons berikut tentang akhir pekan
ini: "Tadinya saya tidak ingin datang ke sini. Saya hampir membatalkannya.
Sepuluh hari yang lalu saya mengunjungi Auschwitz. Saya berdiri di tempat ribuan
orang mati - dan kejahatan mereka hanyalah karena mereka berkebangsaan Yahudi.
Di Auschwitz, beberapa orang Katolik meminta saya berdoa bersama mereka.
Bagaimana saya bisa? Saya tahu bahwa gereja Katolik tetap diam ketika
anggota-anggota keluarga saya dipaksa untuk menggali kubur mereka sendiri.
"Saya tidak siap untuk bertemu orang-orang Kristen dan Muslim
secepat ini. Saya tidak bisa melewati kepedihan saya sendiri. Akhir pekan ini
berat bagi saya, namun sekarang saya bisa berkata saya senang bahwa saya datang.
Yang saya rasakan adalah kepedihan penyembuhan, bukan kepedihan luka baru.
"Beberapa dari kita sekarang telah saling mendengar kisah
masing-masing. Itu memberi pengaruh bagi kita. Namun lembaga-lembaga yang kita
wakili tetap saling membenci, tetap saling membunuh. Bisakah apa yang terjadi
akhir pekan ini menghasilkan sesuatu yang lebih daripada sekadar pengalaman
indah bagi kita yang telah berkumpul? Apakah ada cara bagi sistem itu sendiri
untuk berubah, untuk memutuskan siklus kebencian itu?"
Rabi itu telah membawa kami kembali pada pertanyaan awal dalam
pertemuan akhir pekan ini: "Bisakah orang-orang dengan pernyataan kebenaran yang
secara fundamental berbeda hidup bersama tanpa saling membunuh?" Menyedihkannya,
pertanyaan itu tidak bisa dijawab dengan satu akhir pekan di New Orleans.